Thursday, September 4, 2014

PERSPEKTIF ILMU, SENI, DAN AGAMA DALAM KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN, BUDAYA, DAN PERADABAN (Bab 13)

Bab 13
PERSPEKTIF ILMU, SENI,
DAN AGAMA DALAM KHAZANAH
ILMU PENGETAHUAN, BUDAYA, DAN PERADABAN


A. PENDAHULUAN

Ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan ilmu, tercakup telaah filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Dan segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Dalam hal mi menyangkut semua yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman indriawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif.
Secara umum banyak orang yang mengemukakan pengertian seni sebagai keindahan. Pengertian seni adalah produk manusia yang mengandung nilai keindahan bukan pengertian yang keliru, namun tidak sepenuhnya benar. Jika menelusuri arti seni melalui sejarahnya, baik di Barat, sejak Yunani Kuno, hingga ke Indonesia, nilai keindahan menjadi satu kriteria yang utama. Sebelum memasuki tentang pengertian seni, ada baiknya dibicarakan lebih dahulu apakah keindahan itu.
Dalam karya seni dapat cligali berbagai persoalan objektif. Contohnya persoalan tentang susunan seni, anatomi bentuk, atau pertumbuhan gaya. Penelaahan dengan metode perbandingan dan analisis teoretis serta penyatupaduan secara kritis menghasilkan sekelompok pengetahua ilmiah yang dianggap tidak tertampung oleh nama estetika sebagai filsafat tentang keindahan.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, agama telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain, budaya lokal yang ada di masyarakat tidak otomatis hilang dengan kehadiran agama di Indonesia. Budaya lokal mi sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna. Perkembangan mi kemudian melahirkan “akulturasi budaya,” antara budaya lokal dan agama.
Peradaban sebenarnya muncul setelah adanya masa kolonialisasi di mana ada semangat untuk menyebarkan dan menanamkan peradaban bangsa kolonial dalam masyarakat jajahannya, sehingga pada masa itu antara masyarakat yang “beradab” dan “kurang beradab” dapat digeneralisasikan sebagai corak kehidupan Barat versus corak kehidupan bukan Barat. Unsur lain yang terkandung dalam makna peradaban yaitu kemajuan sistem kenegaraan yang jelas dapat dikaitkan dengan pengertian civitas. Implikasinya yaitu bahwa penyebaran sistem politik Barat dapat merupakan sarana yang memungkinkan penyebaran unsur-unsur peradaban lainnya. Corak kehidupan kota atau kehidupan yang beradab pada hakikatnya berarti tata pergaulan sosial yang sopan dan halus, yang seakan-akan mengikis dan melicinkan segi-segi kasar.
Pengetahuan yang ada belum menjamin adanya kemampuan untuk dapat digunakan bagi tujuan praktis, karena antara teori dan praktik terdapat sisi antara (interface) yang harus diteliti secara tuntas dan pengetahuan yang diperoleh lebih lanjut dan peneiftian yang dilakukan, konsekuensi dalam penerapan praktis dapat dikendalikan secara ketat. Dengan demikian, akan didapat pemahaman tentang prinsip dan konsep dasar yang melandasi pandangan teoretis tentang kebudayaan.

B. HAKIKAT ILMU

Menurut Beni Ahmad Saebeni (2009), istilah ilmu dalam bahasa Arab dikenal dengan “iluiz” yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan kata, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah sosial, dan lain sebagainya. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus di mana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dan satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dan luar maupun bentuknya dan dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus’diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari yaitu ke benaran, yakni persesuaian antara tahu dan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif, bukan subjektifberdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Ilmu bersifat metodis yaitu upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dan upaya ini yaitu harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dan kata Yunani “metodos,” yang berarti cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah. Ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Endang Saefuddin Ashori (2009) memahami, kebenaran yang hendak dicapai dalam ilmu yaitu kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh, semua segitiga bersudut 180°. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan iln:u social menyadari kadar keumuman (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu alam, mengingat objeknya yaitu tindakan manusia. Karena itu, untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu sosial harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Dari definisi tersebut, Sudarsono menarik beberapa sifat ilmu yang menurutnya merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang terdiri atas:
1.   Berdiri secara satu kesatuan.
2.   Tersusun secara sisternatis.
3.   Ada dasar pernbenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data).
4.   Mendapat legalitas bahwa ilmu itu hasil pengkajian atau riset.
5.   Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
6.   Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
7.   Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan dan pepemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran yang Iebih berkembang dan sebelumnya.

Fuad Ikhsan (2010) memberikan pengertian ilmu adalah suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Ilmu merupakan produk dan proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah. Pertama, logis, yaitu pikiran kita harus konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada. Keduci, harus didukung fakta empiris, yaitu telah teruji kebenarannya yang kemudian memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematik dan kumulatif.
Kebenaran ilmiah tidak bersifat mutlak, tetapi terbuka bagi koreksi dan penyempurnaan, mungkin saja pernyataan sekarang logis kemudian bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru. Dan hakikat berpikir iimiah itu, dapat disimpulkan beberapa karakteristik dan ilmu, yaitu:
1.   Memercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
2.   Alur jalan pikiran yang logis dan konsisten dengan pengetahuan yang telah ada.
3.   Pengujian empiris sebagai kriteria kebenaran objektif.
4.   Mekanisme yang terbuka terhadap koreksi.

Selanjutnya Sudarsono menegaskan (2008), secara umum ilmu merupakan pengetahuan, di antara para filsuf dan berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dan pengetahuan atau pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah. Pengetahuan hanyalah produk/hasil dan suatu kegiatan yang dilakukan manusia, Pengertian ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, atau metode bila ditinjau Iebih dalam sesungguhnya tidak saling bertentangan, tetapi merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan.
Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu dan akhirnya aktivitas akan mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dan interaksi di antara aktivitas, metode, dan pengetahuan yang boleh dikatakan menyusun din menjadi ilmu.
Dengan demikian, pengertian ilmu selengkapnya berarti aktivitas penelitian, metode ilmiah, dan pengetahuan sistematis. Ketiga pengertian ilmu itu saling bertautan logis dan berpangkal pada satu kenyataan yang sama bahwa ilmu hanya terdapat dalam masyarakat manusia, dimulai dan segi pada manusia yang menjadi pelaku fenomena yang disebut ilmu. Hanyalah manusia (dalam hal mi ilmuwan) yang memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif dan mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu.
Menurut The Liang Gie (2007), ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematik mengenai kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, atau melakukan penerapan. Dengan demikian, ilmu dapat dipandang sebagai keseluruhan pengetahuan kita dewasa mi atau sebagai suatu aktivitas penelitian, atau sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan yang tidak dapat lagi dipandang sebagai suatu kumpulan pengetahuan atau suatu metode khusus untuk memperoleh pengetahuan, ilmu harus dilihat sebagai suatu aktivitas kemasyarakatan pula.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ilmu adalah seperangkat atau kumpulan pengetahuan yang teratur yang memiliki prosedur yang sistematis dan memiliki logika atau rasionalitas yang didukung oleh fakta empiris secara objektif dan teruji kebenarannya serta bersifat terbuka terhadap kritik. Ilmu memiliki suatu norma sebagai nilai perekat atasnya, hal ini dimaksudkan agar ilmu tidak disalah gunakan dalam penggunaannya bagi pembangunan budaya dan peradaban manusia.

C.     HAKIKAT SENI DAN ESTETIKA

Amsal Bakhtiar (2007) seni adalah suatu produk budaya dan suatu peradaban manusia, suatu wajah dan suatu kebudayaan yang diciptakan oleh suatu bangsa atau sekelompok masyarakat. Secara teoretis, seni atau kesenian dapat didefinisikan sebagai manifestasi budaya (priksa atau pikiran dan rasa; karsa atau kemauan; karya atau hasil dan perbuatan) manusia yang memenuhi syarat-syarat estetik. Hal mi disebabkan oleh karena ditopang oleh serangkaian nilai yang ditinggikan, seperti agama atau norma-norma lain.
Koentjaraningrat yang dikutip Andi Hakim Nasution (2007) menjelaskan, bahwa dalam budaya terdapat tujuh unsur yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia mi (dalam kehidupan manusia), yaitu:
1.   Bahasa.
2.   Sistem pengetahuan.
3.   Oranisasi sosial.
4.   Sistem peralatan hidup dan teknologi.
5.   Sistem mata pencaharian hidup.
6.   Sistem religi.
7.   Kesenian.

Lebih jauh Koentjaraningrat menjelaskan bahwa suatu unsur universal kesenian dapat berwujud gagasan, ciptaan, pikiran, cerita, dan syairsyair yang indah. Namun, kesenian juga dapat berwujud tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen basil kesenian; tetapi kecuali itu semua kesenian juga berupa benda-benda indah, candi, kain tenun yang indah, benda-benda kerajinan dan sebagainya.
Berkaitan dengan penjelasan Koentjaraningrat di atas, oleh Surajiyo (2008) memaparkan bahwa secara praktis, seni sebagai suatu kebudayaan yang diciptakan manusia dapat dibedakan atas:
1.   Seni sastra, seni dengan alat bahasa.
2.   Seni musik, seni dengan alat bunyi atau suara.
3.   Seni tari, seni dengan alat gerakan.
4.   Seni rupa, seni dengan alat garis, bentuk, warna, dan lain sebagainya.
5.   Seni drama atau teater, seni dengan alat kombinasi sastra, musik, tan atau gerak, dan rupa.

Seni pada mulanya yaitu proses dan manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonirn dan ilmu. Dewasa mi, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dan kreativitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni yaitu proses dan produk dan rnemilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, maupun perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu.
Menurut The Liang Gie (2007), seni adalah suatu hal yang merujuk kepada keindahan (estetika). Keindahan atau indah merupakan suatu kata yang sepadan dengan kata beauty dalam bahasa Inggris (dalam bahasaPerancis “beau”, bahasa Italia dan Spanyol “bello”). Dilihat dan sudut pandang kebahasaan, kata indah (beauty atau beau atau hello) yaitu kata yang merupakan turunan dan kata bellwn, yang akar katanya bonwn, dan memiliki arti kebaikan. Kata bellum yaitu dua kata dalam hahasa Latin. Berdasarkan asal kata mi, dapat kita simpulkan bahwa keindahan sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang dikenal sebagai sesuatu yang baik atau dalam Islam dikenal dengan istilah ‘ma’ruf’. Kata ma’ruf yaitu kata yang memiliki arti dikenal, terkemuka, makbul, yang diakui. Dalam bahasa Inggris, ina’rufdiartikan sebagai kindness atau kebaikan. Berdasarkan teori umum yang berkembang tentang keindahan, dapat dikategorikan kepada tiga besar, yakni: Pertaina, hal yang indah dan baik, keindahan sebagai suatu jenis keserasian atau ketertiban. Kedua, keindahan dan kebenaran, hal yang indah sebagai sutau sasaran perenungan. Ketiga, unsur-unsur keindahan, kesatuan, perimbangan, kejelasan.
Selanjutnya, Hamdani (2011) memberikan definisi tentang keindahan mi dengan merujuk kepada pandangan para ahli. Pertama, Mortimer Adler yang mengartikan keindahan (seni) yaitu sifat dan suatu benda yang memberi kita kesenangan yang tidak berkepentingan yang bisa kita memperolehnya semata-mata dan memikirkan atau melihat benda individual itu sebagaimana adanya. Kedua, Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan ketika dilihat. Ketiga, Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Keem pat, Charles J. Bushnell memberikan definisi keindahan sebagai kualitas yang mendatangkan penghargaan yang mendalam tentang berbagai nilai atau ideal yang membangkitkan semangat. Kelinia, Michelangelo, seniman besar berpendapat sederhana, bahwa keindahan yaitu penyingkiran hal-hal yang berlebihan.
Pandangan lain Monroe Beardsley, sebagaimana dikutip The Liang Gie (2007), dia seorang ahli estetika modern di abad ke-20, yang memaparkan bahwa terdapat tiga unsur yang menjadi sifat dasar membuat sesuatu yang baik dan indah dalam seni. Pertaina, kesatuan (unity), dimana suatu karya estetika (seni) tersusun secara baik dalam hal isi, keteraturan, dan keserasian dan bentuk, warna, corak, komposisi, dan Sebagainya. Kedua, kerumitan (complexity), dimana menegaskan bahwa suatu karya seni bukanlah karya yang sederhana, karena pasti di dalamnya terdapat suatu pertentangan dan masing-masing unsur dengan berbagai perbedaan yang sangat halus. Ketiga, kesungguhan (intensity), yang berarti bahwa suatu karya seni merupakan sesüatu yang memiliki kualitas tertenti yang menonjol dan bukan sebagai karya yang kosong. Di balik suatu karya seni, terdapat bongkaran makna yang sangat dalam dan luas.
Berbicara seni tentu kita tidak dapat melepaskan keberadaannya dengan estetika. Menurut Supranto (2011), estetika mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dan suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode- mode yang estetis dan suatu pengalaman ilmiah itu. Dalam banyak hal, satu atau lebih sifat dasar sudah dengan sendirinya terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila pengetahuan itu sudah lengkap mengandung sifat dasar pembenaran, sistemik, dan intersubjektif. Ada tiga sifat estetika (seni), universal, komunikatif, dan progresif.
Estetika (seni) memiliki sifat yang universal, berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu atau pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu itu harus berlaku umum, lintas ruang dan waktu, dengan beberapa catatan misalnya kondisi yang relevan di tempat dan waktu yang dibandingkan itu sama. Sifat universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan sifat mi lebih nyata lagi pada ilmu sosial, misalnya sejarah, antoropologi budaya, ilmu hukum dan ilmu pendidikan. Tampaknya keterbatasan mi tidak dapat dilepaskan dan hakikat ilmu sosial sebagai ilmu mengenai manusia. Jadi, harus lebih banyak lagi catatan yang dipertimbangkan dalam menerapkan sifat universal ilmu sosial, misalnya yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian.
Keterbatasan sifat universal berkaitan erat dengan karakter universalnya. Ada perbedaan antara karakter universal ilmu sosial dan karakter universal ilmu eksakta, misalnya anatar ilmu sejarah dengan mekanika. Fenomena dalam ilmu sejarah sangat terkait dengan ruang dan waktu, sedangkan fenomena mekanika boleh dikatakan terbebas dari ruang dan waktu. Karena itu, karakter universal ilmu sejarah berbeda dengan uni— versal mekanika. Orang dengan mudah akan menilai, seakan-akan tidak ada universalitas dalarn ilmu sejarah, jelas hal mi merupakan tindakan yang keliru.
Estetika bersifat komunikatif, artinya dia dapat dikomunikasikan, maksudnya bahasa dan estetika tidak merupakan kendala dalam pengetahuan ilmiah, dia bukan saja untuk dimengerti melainkan juga dapat dipahami makñanya dengan baik. Dengan demikian, ketika seseorang memberikan ilmu pengetahuan yang akan didistribusikan kepada orang lain harus dimengerti dengan baik dan dan dipahami secara benar. Terpenuhinya dengan baik sifat intersubjektif suatu pengetahuan sangat membantu dalam mengomunikasikannya dengan orang lain secara estetis.
Aspek progresif dapat diartikan adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan. Sifat mi merupakan salah satu tuntutan modern Untuk ilmu. Sifat mi sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis, menyeluruh, mendasar, kritis, dan analitis, yang menyatu dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah. Adanya ciri-ciri mi yang mula-mula didominasi oleh sikap skeptis terhadap segala sesuatu yang dianggap berat, akan mendorong seseorang untuk terus-menerus mempertanyakan semua pengetahuan, kemudian ciri-ciri yang lain akan membawanya ke imajinasi dan penalaran filosofis ilmiah, yang kemudian berlanjut ke pengembangan pengetahuan, dan berujung pada penemuan pengetahuan baru. Dengan demikian, maka berlangsunglah progresivitas ilmu pengetahuan.
Dari pembahasan ini dapat dipahami bahwa seni yaitu sesuatu yang abstrak yang memiliki nilai estetika (seni) atau keindahan, baik yang datang dan dalam din manusia sebagai produk pemikiran secara logis, rasional, maupun empiris serta kreasi hati manusia yang bersih dan baik ‘rna’ruf” sehingga keindahan ilmu pengetahuan dapat dinikmati secara serasi, selaras, dan seimbang bagi kemaslahatan hidup manusia.

D. HAKIKAT AGAMA

Amsal Bakhtiar (2007) memahami kata agama berasal dan bahasa Sanskerta dan kata “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Kedua kata mi jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi, fungsi agama dalam pengertian mi memelihara integritas dan seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dan seseorang atau sekelom. pok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya tidak kacau. Ketidakkacauan mi disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas, nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai, dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dan kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religlo termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus memesonakan. Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam din, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons. Dalam kaitan mi ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali ke belakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan yang harus diresponsnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Orang umumnya meyakini bahwa milenium ketiga mi ditandai dengan bangkitnya kembali kehidupan religius. Maka abad mi sering disebut sebagai abad post-sekuler, abad di mana sekularisme ateistik dianggap tak lagi meyakinkan sebagai kerangka pandang.
Ada berbagai unsur yang telah mengangkat religiusitas kembali menjadi primadona, dan umumnya bukanlah karena daya tank agama itu sendiri. Religiusitas bangkit sebagian karena ideologi besar ambruk, sebagian lagi karena dunia sains sendiri akhirnya sampai pada fenomena yang berkaitan dengan eksistensi suatu inteligensi kosmik transenden, sebagian lain karena kehidupan modern sekuler akhirnya mengakibatkan gejala umum kekosongan batin mendalam, dan sebagainya. Bersama dengan naiknya religiusitas, justru agama tampil sebagai penuh persoalan. ini memang ironis.
Agama bagaimanapun merupakan produk dan perkembangan kesadaran bangsa manusia. Mengikuti Eliade dan Huston Smith, yang meskipun terasa simplistik ada gunanya untuk melihat peta besar, babakan awal kehidupan agama bisa disebut sebagai periode “arkliaik”, yaitu ketika agama berfokus pada realitas Ilahi yang metafisik dan mengatur perilaku umatnya dalam ritual dan mitos yang ketat. Babakan kedua yaitu periode “axial,” yang bersama dengan munculnya para nabi macam di Israel, Persia, India, China, hingga Arab fokus bergeser ke arah nilai etis.
Dedi Supriadi dan Juhaya S. Praja (2010) mengungkapkan, kesalehan vertikal dalam ritual dan pengakuan doktrin tidak cukup, religiusitas menuntut komitmen nilai dalam hubungan manusiawi horizontal. Babakarfketiga yaitu periode “modern,” ketika bersama dengan penyebaran ajaran, agama mengalami pembakuan doktrin dan pembentukan jaringan institusi. Pada tahap mi agama banyak berfokus pada perkara struktur. Struktur ajaran dalam rupa pernyataan (proposisi) verbal maupun Wacana menjadi penting, tapi juga struktur organisatoris mengalami perluasan dan perumitan. Agama menjadi “logosentris” alias sangat nyinyir dalam soal kalimat atau konsep, dan akrab dengan struktur kekuasaan.
Etos yang menghidupinya yaitu etos “tanggung jawab” sebagai “pemegang kebenaran paling murni,” tanggung jawab atas keselamatan bangsa manusia. Tapi persis karakter yang terakhir itulah yang juga menyebabkan agama saat mi menyandang banyak persoalan, yang tersingkap kini justru ketika situasi zarnan menyeret agama ikut menjadi salah satu primadona juga.
Yaitu idealisme tentang “tanggung jawab” itu yang juga telah sempat melahirkan kolonialisme serta berbagai tendensi ke arah penindasan dan kekerasan (perang, perbudakan, terorisme, dan sebagainya). Ketika proposisi tertentu “disucikan” sebagai doktrin, agama otomatis mendefinisikan tentang apa yang secara moral benar dan apa yang salah, apa yang dianggapnya “kodrat” apa yang bertentangan dengan kodrat. mi dengan mudah membawa konsekuensi bahwa segala ajaran lain yang bertentangan dengannya akan dicap sebagai tidak sesuai dengan “kodrat” kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan, maka umat pengikutnya pun bisa dianggap sebagai setan, ancaman berbahaya terhadap kemurnian, dan akhirnya perlu ditaklukkan, dibasmi, atau dianggap saja warga kelas dua. Semua itu justru karena rasa “tanggung jawab” itu.
Berbagai peperangan dan kekerasan religius selama mi merupakan manifestasi paling grafis dan tendensi tersebut. Semakin bersikukuh mencanangkan “kernurnian” kebenaran dan tanggung jawab, semakin besar tendensi agama kearah ke kerasan. Dan, konsekuensinya justru semakin tak meyakinkanlah konsep mereka tentang Tuhan bagi inteligensi zaman.


Namun yang lebih mengaburkan idealisme “tanggung jawab,” yaitu aliansi antara yang suci dan kekuasaan. Dalam masyarakat pramodern dahulu kekuasaan sekuler tergantung pada penyuciannya (sancitification). Dengan konsekuensi, kekuasaan sekuler merupakan semacam sarana bagi yang suci. Dalam masyarakat modern sebaliknya, yang suci sering kali tergantung pada kekuasaan sekuler. Konsekuensinya, yang suci menjadi sarana bagi kekuasaan sekuler, terutama bagi kekuasaan politik’ataupufl bisnis. Pada kedua kemungkinan itu, tendensi korup dan kesewenangannya sama saja. Sisi tragis dan itu yaitu bahwa korbannya tak lain kewibawaan dan kehormatan agama itu sendiri.
Semakin agresif dan kuat persekongkolan antara kekuasaan dan agama, sebenarnya semakin kehormatan agama-agama itu sendiri terancam merosot dan rusak. Sayang mi tak mudah disadari. Benar bahwa aliansi dengan kekuasaan sekuler itu telah memungkinkan agama membangun peradaban manusia yang dahsyat dan mengagumkan.
Namun aliansi dan tendensi yang sama jugalah yang kini menjadikan agama bertendensi patologis dan menjadikannya potensi paling destruktif yang mampu menghancurkan peradaban manusia, lebih dan senjata pemusnah massal apa pun. Semua fenomena itulah yang mengakibatkan kini muncul tendensi baru, yaitu di satu pihak religiusitas memang bangkit, namun pada saat yang sama berkembang pula justru kecenderungan sikap sangat kritis-berjarak terhadap agama sebagai doktrin, sistem ritual maupun institusi; semacam tendensi post-dogmatis yang lebih berfokus pada pengalaman eksistensial dan transendental, “religion without religion”, kata John D. Caputo. Tentu mi sekaligus beniringan dengan kutub lain yang persis kebalikannya, yaitu tendensi ke arah fundamentalisme yang dengan membabi buta memeluk sistem doktrin, ritual, maupun institusi, sering kali karena panik dan tidak mampu menghadapi kemelut dunia yang sedang berkecamuk dalam aneka perubahan yang memang membingungkan. Makin terasa kacau dunia mi, makin kuatlah tendensi ke arah fundamentalisme, makin kerdil martabat agama. Zaman mi memang ditandai dengan demikian banyak paradoks.
Agama-agama besar, bila hendak dianggap masih berarti bagi peradaban, perlu menghadapi berbagai persoalan multidimensi itu. Diperlukan semacam redefinisi, pemahaman din baru dipahami sebagai apa sebenarnya agama itu. Jika tidak isu kebangkitan agama hanya akan merupakan ilusi egosentris yang kosong dan naif.

E. HAKIKAT BUDAYA

Ayi Sofyan (2010) memahami tentangbudaya atau kebudayaan, berasal dan bahasa Sanskerta yaitu buddliayah, yang merupakan bentuk jarnak dan buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dan kata Latifl colere, yaitu mengolah atau menerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya dalam pengertian yang luas yaitu pancaran daripada budi dan daya. Seluruh apa yang dipikir, dirasa, dan direnung diamalkan dalam bentuk daya menghasilkan kehidupan. Budaya adalah cara hidup suatu bangsa atau umat. Budaya tidak lagi dilihat sebagai pancaran ilmu dan pemikiran yang tinggi dan murni dan suatu bangsa untuk mengatur kehidupan berasaskan peradaban.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu yaitu cultural-determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai Sesuatu yang turun-temurun dan satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial, religius, dan lainlain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Selanjutnya Ayi Sofyan mengemukakan pandangan Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Adapun menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan merupakan sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Koentjaraningrat dalam Nasution (2007) memahami budaya adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan basil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan be-. lajar. Jadi, budaya diperoleh rnelalui belajar. Tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalarn masyarakat merupakan budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis, tapi dalam gagasan yang terdapat dalam pikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, etos kerja, dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang imateriel bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiranterhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepacla bagaimana mereka memikirkan Tuhan, rnenghayati dan membayangkan Tuhan.
Dalam konteks kebudayaan nasional Indonesia Koentioroningrat mengatakan, dia merupakan hasil karya putra Indonesia dan suku bangsa mana pun asalnya, yang penting khas dan bermutu sehingga sebagian besar orang Indonesia bisa mengidentifikasikan din dan merasa bangga dengan karyanya. Kebudayaan Indonesia yaitu satu kondisi majemuk karefla ia bermodalkan berbagai kebudayaan, yang berkembang menu- rut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan daerah ito memberikan jawaban terhadap masing-masing tantangan yang memberi bentuk kesenian, yang merupakan bagian dan kebudayaan. Apaapa saja yang menggambarkan kebudayaan, misalnya ciri khas:
1.      Rumab adat daerah yang berbeda satu dengan daerah lainnya, Sebagai contoh ciri khas. rurnah adat di Jawa menggunakan joglo, Sedangkan rumah adat di Sumatera dan rumah adat Hooi berbentuk panggung.
2.      Alat musik di setiap daerah pun berbeda dengan alat musik di daerah lainnya. Jika dilihat dan perbedaan jenis bentuk serta motif ragam hiasnya, beberapa alat musik sudah dikenal di berbagai wilayah, pengetahuan kita bertambah setelah mengetahui alat musik seperti grantang, tifa, dan sampai seni tan, seperti tan saman dan Aceh dan tan merak dan Jawa Barat.
3.      Kriya ragam hias dengan motif-motif tradisional, dan batik yang sangat beragam dan daerah tertentu, dibuat di atas media kain dan kayu.
4.      Properti kesenian Indonesia merniliki beragam bentuk selain seni musik, seni tan, seni teater, kesenian wayang golek dan topeng merupakan ragam kesenian yang kita miliki. Wayang golek merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan teater yang menggunakan media wayang, sedangkan topeng merupakan bentuk seni pertunjukan tan yang menggunakan topeng untuk pendukung.
5.      Pakaian daerah. Setiap provinsi memiliki kesenian, pakaian, dan benda seni yang berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya.
6.      Benda seni. Karya seni yang tidak dapat dihitung ragamnya merupakan identitas dan kebanggaan bangsa Indonesia. Benda seni atau souvenir yang terbuat dan perak yang berasal dan Kota Gede di Yogyakarta merupakan salah satu karya seni bangsa yang menjadi ciri khas daerah Yogyakarta, karya seni dapat menjadi sumber mata pencaharian dan objek wisata. Kesenian khas yang mempunyai nilainilai filosofi, misalnya kesenian Ondel-ondel dianggap sebagai boneka raksasa yang mempunyai nilai filosofi sebagai pelindung untuk menolak bala, nilai filosofi dan kesenian Reog Ponorogo mempunyai nilai kepahiawanan, yakni rombongan tentara kerajaan Bantarangin (Ponorogo) yang akan melamar Putri Kediri dapat diartikan Ponorogo menjadi pahiawan dan serangan ancaman musuh, selain hal-hal itu, adat istiadat, agama, mata pencaharian, sistem kekerabatan dan sistem kemasyarakatan, makanan khas, juga merupakan bagian dan kebudayaan.
7.      Adat istiadat. Setiap suku mempunyai adat istiadat masing-masing, seperti suku Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Bali yaitu adat istiadat Ngaben. Ngaben adalah upacara pembakaran mayat, khususnya oleh mereka yang beragama Hindu, di mana Hindu yaitu agama mayoritas di Pulau Seribu Pura i. Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga. Tak sen3barangan orang bisa menindik dir hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping, sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting pembeat untuk memperbesar daun telinga, menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga semakin cantik, dan semakin tinggi status sosialnya di masyarakat.

Selanjutnya The Liang Gie mengatakan kebudayaan dibagi ke dalam tiga sistem: Pert nma, sistem budaya yang lazim disebut adat istiadat. Keduo, sisten3 sosial di mana merupakan suatu rangkaian tindakan yang berpola dan manusia. Ketiga, sistem teknologi sebagai modal peralatan manusia untuk menyambung keterbatasan jasmaniahnya. Berdasarkan konteks budaya, ragarn kesenian terjadi disebabkan adanya sejarah dan zanan ke zarnan. Jenis kesenian tertentu mempunyai kelompok pendukung yang memiliki fungsi berbeda. Aclanya perubahan fungsi dapat menimbulkan perubahan yang hasil seninya disebabkan oleh dinamjka masyarakat, kreativitas, dan pola tingkah laku dalam konteks kemasyarakatan.
Lebih tegas dikatakan Endang Saefuddin Ashori (2009), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya dalam bentuk budaya, yang menjadi sarana’individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya imateriel, melainkan juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
Soegiri D.S. (2008) mengemukakan pandangan Melville J. Herskovits yang menyebutkan kebudayaan memiliki empat unsur pokok, yaitu:
Alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala Sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu yaitu cultural-determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-ternurun dan satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Budaya yaitu suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur sosiobudaya mi tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Saussure dalam Bambang Sugiaharto (2008) merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam memahami kebudayaan, yaitu:
1.   Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (sign iflé, signified, petanda). Penanda yaitu citra bunyi, sedangkan petanda yaitu gagasan atau konsep. Hal mi menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen: (1) artikulasi kedua bibir; (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak; dan (3) pita suara yang tidak bergetar.
2.   Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure yaitu tidak adanya acuan ke realitas objektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu: pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dan semua tanda lainnya yang digunakan; dan kedua, karena merupakan unsur dan batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur tas objektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.
3.   Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleb semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.
4.   Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dan anggapan bahwa kebudayaan meru pakan sistem mental yang mengandung semua hal yang harus dike tahui individu agar dapat berperilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga ma syarakatnya.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Adapun perwujudan kebudayaan yaitu benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Budaya yang digerakkan agama timbul dan proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini serta keyakinannya terhadap Tuhan, sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama itu maka lahirlah beragam budaya yang dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya, dan beberapa kondisi yang objektif manusia.


F. HAKIKAT PERADABAN

Menurut Andi Hakim Nasution (2007) mengatakan, perihal kebudayaan dan peradaban hanya soal istilah. Istilah “peradaban” biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang “harus” dan “indah,” seperti kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Tetapi pada sisi lain, istilah peradaban juga dipakai Untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Peradaban berasal dan kata adab, yang artinya kesopanan, kehormatan, budi bahasa, etika, dan lain-lain. Lawan dan beradab yaitu biadab, tak tahu adab dan sopan santun. Menurut ahli antropologi De Haan, peradaban merupakan lawan dan kebudayaan. Peradaban yaitu seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan teknologi. Jadi, peradaban yaitu semua bidang kehidupan untuk kegunaan praktis. Sebaliknya, kebudayaan yaitu semua yang berasal dan hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni yang berada di atas tujuan praktis dalam hubungan masyarakat, misalnya musik, seni, agama, ilmu, dan filsafat. Jadi, lapisan atas yaitu kebudayaan, sedang lapisan bawah yaitu peradaban.
Lebih jauh dikatakan, kaurn humanis (pendukung De Haan) menganggap bahwa penguasaan kehidupan praktis (peradaban) atas kehidupan rohaniah hanya mementingkan penguasaan kehidupan seharihan atau kehidupan netral sernata-mata, sedangkan pihak lain hanya mernentingkan kehidupan rohaniah atau kebudayaan. Adapun Sedilot mengatakan, bahwa peradaban yaitu khazanah pengetahuan dan kecakapan teknis yang meningkat dan angkatan ke angkatan dan sanggup berlangsung terus. Hanya manusia yang selalu mencari, memperkaya, dan mewariskan pengetahuan atau kebudayaan.
Dan segi morfologi, peradaban berarti kebudayaan yang telah sarnpai pada tingkat jenuh, yang telah berlangsung secara terus-menerus. Beals dan Hoiyer, mengatakan bahwa peradaban (civilization) sarna dengan kebudayaan (culture) apabila dipandung dan segi kualitasnya, tetapi benbeda dalam kuantitas, isi, dan komplek polanya. Koentjaraningrat menyatakan, dalam dunia ilmiah juga ada kata “peradaban” di samping “kebudayaan.” Paham peradaban yaitu bagian dan kebudayaan yang mempunyai sistern teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistern kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang luas sekali. Untuk saat mi pengertian yang umum dipakai yaitu peradaban merupakan bagian dan kebudayaan yang bertujuan memudahkan dan menyejah terahkan hidup.
Untuk istilah peradaban, kata Nasution, digunakan untuk menyebut bagian dan unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, kebudayaan yang mempunyai sistern teknologi, dan masyarakat kota yang maju dan kompleks.
Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya terwujud: unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan itu dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Maka istilah peradaban sering dipakai untuk basil kebudayaan seperti kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, adat sopan santun, serta pergaulan. Selain itu juga kepandaian menulis, organisasi bernegara serta masyarakat kota yang maju dan kompleks. Peradaban merniliki kaitan erat dengan kebudayaan. Kebudayaan hakikatnya merupakan hasil cipta karsa dan rasa manusia.

G.  HAKIKAT PENGETAHUAN

Menurut Endang Saefuddin Ashori (2009), pemahaman ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran: Pertania, pada dimensi fenomenalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan din sebagai masyarakat, proses, dan produk. Kaidah-kaidah yang melandasinya, sebagaimana dikatakan oleh Robert Merton, yaitu universalisme, komunisme, disinterestedness, dan skeptisisme yang terarah dan teratur. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen, objek sasaran yang hendak diteliti, yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang basil ternuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem.
Pada saat kelahirannya ilmu pengetahuan yang identik dengan filsafat mempunyai corak mitologis di mana segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada diterangkan. Berbagai macam kosmogoni menjelaskan bagaimana kosmos dengan berbagai aturannya terjadi, dan dengan Theogoninya diuraikan peranan para dewa yang merupakan unsur penentu terhadap segala sesuatu yang ada.
Bagaimanapun corak mitologik mi telah mendorong upaya manusia untuk “berani” menerobos lebih jauh tanda dan gejala, untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap, abadi, di balik yang berubah, dan sementara. Barulah setelah dilakukan gerakan demitologisasi yang dipelopori para filsufpra-Socrates, filsafat setapak demi setapakberkat kemampuan rasionalitasnya telah mencapai puncak perkembangannya.
J. Sudarminta (2007) memberikan kiasifikasi ilmu pengetahuan sejalan dengan ajaran filsafat Aguste Comte yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi, suatu ensikiopedi telah disusun dengan meletakkan matematika sebagaidasar bagi semua cabang ilmu, dan di atas matematika, secara berurutan ia tunjukkan ilmu astronomi, fisika, kimia, dan fisika sosial atau sosiologi dalam suatu susunan hierarkis atas dasar kompleksitas gejala yang dihadapi oleh masing-masing cabang ilmu. Ia jelaskan bahwa hingga ilmu kimia suatu tahapan positif telah dapat dicapai, sedang hiologi dan fisika sosial masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai teologik dan metafisik. Kiasifikasi ala Comte mi hingga kini menjadi semakin aktual dan relevan untuk mendukung sikap pandang yang meyakmni bahwa masyarakat industri sebagai tolok ukur bagi tercapainya modernisasi harus disiapkan melalui penguasaan basic science, yaitu matematika, kimia, fisika, dan biologi, dengan penyediaan dana dan fasilitas dalam skala prioritas utama (Andreski).
Dilihat dan sudut kedudukan ilmu pengetahuan secara substantif (dan bukan lagi hanya sekadar sarana dalam kehidupan umat manusia), secara ekstensif ilmu pengetahuan telah menyentuh semua sendi dan segi kehidupan, yang pada giliranriya akan mengubah budaya manusia secara intensif.

H.  INTERKONEKSI ILMU PENGETAHUAN, SENI DAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF, BUDAYA, DAN PERADABAN


1.   Perspektif llmu dalam Khazanah Budaya

Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu penclidikan, dan ilmu kesehatan. Akal dan pikiran memproses setiap pengetahuan yang diserap oleh pancaindra yang dimiliki manusia.
Di lingkungan pendidikan terutama pendidikan tinggi, boleh dikatakan setiap waktu istilah “ilmu” diucapkan dan suatu ilmu diajarkan.
Tampaknya telah menjadi kelaziman bahwa sebutan yang digunakan ialah “ilmu pengetahuan.” Walaupun setiap saat diucapkan dan dan waktu ke waktu diajarkan, tampaknya tidak banyak dilakukan pembahasan mengenai ilmu itu sendiri. Apa pengertian ilmu dengan sendirinya dipahami tanpa memerlukan keterangan Iebih lanjut. Tetapi apabila harus memberikan rumusan yang tepat dan cermat mengenai perigertian ilmu barulah orang akan merasa bahwa hal itu tidaklah begitu mudah.
Hal ini terlihat dalam penyebutan istilah “ilmu pengetahuan” yang begitu lazim dalam masyarakat, demikian juga dunia perguruan tinggi yang merupakan penyebutan yang kurang tepat dan tidak cermat. Istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang bermakna ganda, karena itu dalam memakai istilah seseorang harus menegaskan atau menyadari arti makna yang dimaksud. Menurut cakupannya: Pertama, ilmu merupakan suatu istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan, jadi ilmu mengacu pada ilmu seumumnya (science in general). Kedua, ilmu menunjuk kepada masing-masing bidang pengetahuan ilrniah yang mempelajari suatu p0- kok tertentu, dalam hal mi cabang ilmu khusus seperti antropologi, biologi, dan geografi.
Pada hakikatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab banyak sekali sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi ilmu.
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, dan ilmu kesehatan. Akal dan pikiran memproses setiap pengetahuan yang diserap oleh pancaindra yang dimiliki manusia. Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.
Kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan sebagai ilrnu. Sebab pengetahuan itu sendiri sebagai segala sesuatu yang datang sebagai hasil dan aktivitas pancaindra untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dan pengetahuan.
Ilmu merupakan bagian dan pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling memengaruhi. Di satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dan kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan itu terpadu secara intim dengan seluruh struktur sosial dan tradisi kebudayaan.
Peranan ganda ilmu dalam pengembangan kebudayaan sebagai berikut:
a.   Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya perkembangan kebudayaan nasional.
b.   Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa.

Kedua hal ini terpadu satu sama lain dan sukar dibedakan. Pengkajian perkembangan kebudayaan nasional tidak dapat dilepaskan dan perkembangan ilmu.
Seiring perjalanan waktu, dewasa mi ilmu dan teknologi menjadi pengembangan utama bidang ilmu dan secara tidak langsung kebudayaan kita tak terlepas dan pengaruhnya, sehingga kita harus ikut memperhitungkan hal mi. Untuk itu dibicarakan peranan ilmu sebagai sumber nilai yang ikut mendukung pengembangan kebudayaan.
Ada tujuan nilai yang terkandung dalam hakikat keilmuan, yaitu knitis, rasional, logis, objektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Ketujuh sifat mi akan sangat konsisten untuk membentuk bangsa yang modern. Karena bangsa yang modern akan menghadapi banyak tantangan di segala bidang kehidupan. Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya yaitu perubahan kebudayaan konvensional ke arah yang lebih aspirasi.
Jika menurut kita benar bahwasanya ilmu bersifat mendukung budaya nasional, maka kita perlu meningkatkan peranan keilmuan dalam kehidupan kita. Beberapa langkah yang dapat kita gunakan yang pada pokoknya mengandung beberapa pemikiran sebagai berikut:
a.   Ilmu merupakan bagian kebudayaan, sehingga setiap langkah dalam kegiatan peningkatan ilmu harus memperhatikan kebudayaan kita.
b.   Ilmu merupakan salah satu cara menemukan kebenaran.
c.   Asumsi dasar dan setiap kegiatan dalam menemukan kebenaran yaitu percaya dengan metode yang digunakan.
d.   Kegiatan keilmuan harus dikaitkan dengan moral.
e.   Pengembangan keilmuan harus seiring dengan pengembangan filsafat.
f.    Kegiatan ilmiah harus otonom dan bebas dan kekangan struktur kekuasaan.

Keenam hal ini merupakan langkah-langkah untuk memberi kontrol bagi masyarakat terhadap kegiatan ilmu dan teknologi.

2. Perspektif Budaya dan Pengetahuan dalam Khazanah Peradaban

Kebudayaan dapat digunakan untuk keperluan praktis, memperlancar pembangunan masyarakat, di satu sisi pengetahuan teoretis tentang kebudayaan dapat mengembangkan sikap bijaksana dalam menghadapi serta menilai kebudayaan yang lain dan pola perilaku yang bersumber pada kebudayaan sendiri. Pengetahuan yang ada belum menjamin adanya kemampuan untuk dapat digunakan bagi tujuan praktis, karena antara teori dan praktik terdapat sisi antara (interface) yang harus diteliti Secara tuntas agar dengan pengetahuan yang diperoleh lebih lanjut dan penelitian yang dilakukan, konsekuensi dalam penerapan praktis dapat dikendalikan secara ketat. Dengan demikian akan didapat pemahaman tentang prinsip dan konsep dasar yang melandasi pandangan teoretis tentang kebudayaan.
Kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Kajian mi lebih menekankan pada pandangan positivisme atau metodologi ilmu pengetahuan alam. Kebudayaan yang bersifat idealistis, yang memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal, kajian mi lebih dipengaruhi oleh pendekatan fenomenologi.
Terlepas dan itu semua, maka kebudayaan sebagai suatu fenomena sosial dan tidak dapat dilepaskan dan perilaku dan tindakan warga masyarakat yang mendukung atau menghayatinya. Sebaliknya, keteraturan, pola, atau konfigurasi yang tampak pada perilaku dan tindakan warga suatu masyarakat tertentu dibandingkan perilaku dan tindakan warga masyarakat yang lain, tidaklah dapat dipahami tanpa dikaitkan dengan kebudayaan.
Berbicara tentangkebudayaan, maka tidakbisa terlepas dan peradaban. Berikut mi beberapa dimensi dan peradaban, di antaranya: Pertarna, adanya kehidupan kota yang berada pada tingkat perkembangan yang lebib “tinggi” dibandingkan dengan keadaan perkembangan di daerah pedesaan. Kedua, adanya pengendalian oleh masyarakat dan dorongan elementer manusia dibandingkan dengan keadaan tidak terkendalinya atau pelampiasan dan dorongan itu. Selain menganggap corak kehidupan kota sebagai lebih maju dan lebih tinggi dibandingkan dengan corak kehidupan di desa, dalam pengertian peradaban terkandung pula suatu unsur keaktifan yang rnenghendaki agar “kemajuan” itu wajib disebarkan ke masyarakat dengan tingkat perkembangan yang lebih rendah, yang berada di daerah pedesaan yang terbelakang.
Peradaban sebenarnya muncul setelah adanya masa kolonialisasi di mana ada semangat untuk rnenyebarkan dan menanamkan peradaban bangsa kolonial dalam masyarakat jajahannya, sehingga pada masa itu antara masyarakat yang “beradab” dan “kurang beradab” dapat digeneralisasikan sebagai corak kehidupan Barat versus corak kehidupan bukan Barat. Unsur lain yang terkandung dalam rnakna “peradaban” yaitu kemajuan sistem kenegaraan yang jelas dapat dikaitkan dengan pengertian civitas. Implikasinyayaitu bahwa penyebaran sistem politik Barat dapat merupakan sarana yang rnemungkinkan penyebaran unsur-unsur peradaban lainnya. Corak kehidupan kota atau kehidupan yang beradab pada hakikatnya berarti tata pergaulan sosial yang sopan dan halus, yang seakan-akan mengikis dan melicinkan segi-segi kasar.

3. Perspektif Agama dalam Khazanah Budaya

Agama yang dibudayakan yaitu ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya, sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa mernbudayakan agarna berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan rnanusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakikat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra agarna apabila pernbudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya, dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
Adapun ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya yaitu suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaran
walau sebenarnya relatif atau dianggap benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan, dan lebih dan itu dipercayainya sebagai doktrin yang harus di-ikuti. Inilah proses lahirnya agama budaya atau agama ardli.
Maka dapat clijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan pencerminan dan suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan kebudayaan, dan dapat pula melahirkan suatu agama, yaitu agarna budaya.
Ditinjau dan sumbernya, agama yang dipeluk umat manusia di dunia mi dapat dikiasifikasi menjadi dua bagian, yaitu agama wahyu dan agama budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis, dan revealed relegion; yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Adapun agama budaya disebut juga sebagai agama Bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion, dan natural relegion; yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misalnya agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan Shinto, termasuk aliran kepercayaan.

4.   Agama sebagal Kritik Kebudayaan

Penting ditekankan bahwa agarna memiliki peran besar sebagai kritik kebudayaan. Maka, seorang agamawan di tengah krisis modernitas ditantang untuk menyajikan pada kehidupan modern dewasa mi, detail kearifan agamanya yang memang autentik ada dalam tradisi besar agama sejak masa lalu.
Di sinilah seorang teolog atau ahli agama, dituntut untuk bisa merumuskan suatu platform yang tidak hanya berisi legitemasi, tetapi justru memberikan kritik terhadap kebudayaan. Jelasnya agama harus berdimensi kritis terhadap kebudayaan manusia. Kebudayaan harus juga dinilai dalarn perspektifke arah mana ia akan membawa manusia.
Kalau dahulu, agama sekadar diasumsikan hanya mengurusi “dosa individu,” maka saatnya sekarang mi memfungsikan agama sebagai kritik terhadap kebudayaan manusia yang cenderung telah mengalami proses “sekularisasi.” Da]am konteks mi, berarti nilai-nilai masyarakat yang agamais harus berhadapan dengan nilai-nilai baru yang sangat menekankan rasionalitas. Dan, mi pun merupakan masalah serius yang menimbulkan ketegangan nilai. Oleh karena itu, agama harus meminimalisasi kecenderungan “sekularisasi kebudayaan,” sebagaimana sudah terjadi di Barat. Tentu saa, mi merupakan tugas berat kaum agamawan untuk merumuskan operasionalisasinya. Lagi pula, para teolog juga harus membuktikan bahwa agama yaitu asasi dalam suatu platform yang operasional.
Dan kesemua itu dapat dilakukan dengan: Pert cima, bahwa fungsi kritis agama harus dilakukan dengan menjauhi sikap yang sifatnya totaliter. Kedua, agama (agamawan) dalam menerangkan fungsi kritisnya secara konkret harus merniliki pengetahuan empiris yang tangguh. Ketiga, agama tidak bisa bersifat politis dalam pengertian hanya membatasi din pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlibat ke dalam proses transformasi sosial, sehingga fungsi kemanusiaan agama bisa tercapai. Keempat, perlunya mendefinisikan kernbali pertobatan dalam keberagamaan manusia.

5.   Produk Kebudayaan Manusia Menghasilkan Peradaban

Setiap masyarakat atau bangsa di mana pun selalu berkebudayaan, tetapi tidak semuanya memiliki peradaban, peradaban merupakan tahap tertentu dan kebudayaan masyarakat tertentu yang telah mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju.
Tingkat rendahnya peradaban suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan tingkat pendidikan. Kemampuan teknologi menjadikan bangsa itu dianggap lebih maju dan bangsa lain pada zamannya, kemajuan teknologi bisa dilihat dan infrastruktur bangunan, saran yang dibuat, lembaga yang dibentuk, dan lain-lain. Peradaban ditentukan pula oleh tingkat pendidikan salah satu ciri yang penting dalam defInisi peradaban, yaitu kebudayaan (cultured). Orang yang cultured yaitu mampu menghayati dan memahami hasil kebudayaan adiluhung yang hanya bisa didapatkan dengan pendidikan yang taraf tinggi. Bangsa yang beradab yaitu bangsa yang terdidik.
Manusia adalah makhluk yang berabad sebab dianugerahi harkat, martabat, serta potensi kemanusiaan yang tinggi. Dalam perkembangannya bisa jatuh dalam perilaku kebiadaban, karena tidak mampu menyeimbangkan atau mengendalikan cipta, rasa, dan karsa yang dimiliki manusia itu telah melanggar hakikat kemanusiaan.
Peradaban moral dan manusia merupakan nilai-nilai dalam masyarakat dalam hubungannya dengan kesusilaan. Aturan, ukuran, atau pedoman yang digunakan dalam menentukan sesuatu benar atau salah, baik atau buruk. Nilai dan norma moral tentang apa yang baik dan buruk yang menjadi pegangan dalam mengatur tingkah laku manusia. Bisa juga diartikan sebagai etika, sopan santun berhubungan dengan segala Sesuatu yang tercakup dalam keindahan, mencakup kesatuan (unity), keselarasan (balance), dan kebaikan (contrast).

6.   Seni sebagai Penggerak Budaya Peradaban

Akar pengalaman estetik sebenarnya merupakan pengalaman keseharian, terutama pengalaman tentang sisi dramatik dinamika gerak dan perubahan kehidupan. Kecemasan orang yang berkerumun saat melihat kecelakaan di jalanan. Ketegangan penonton saat mengikuti lompatan bola dalam permainan sepak bola. Keharuan seseorang saat melihat bunga pertama menyeruak dan tanaman yang selalu disiraminya. Perasaan aneh saat melihat api membesar ketika kita siramkan minyak ke atas bara.
Kepekaan atas medan bentuk serta pengalaman atas gerak denyut kehidupan macam itulah akar dan kesadaran estetik dan kecenderungan berkesenian. Itulah pengalaman yang membuka indra manusia pada kaitan halus terselubung antar-berbagai kejadian, yang menggiringnya pada perenungan lebih mendalam ihwal misteri alam dan kehidupan, yang menjebaknya pada keharuan tanpa alasan atas matahari, angin, tanaman, ataupun hujan, tapi juga yang mendorongnya sampai pada pemikiran paling imajinatif dan brilian.
Seni adalah segala upaya untuk memberi bentuk manusiawi pada hidup dan semesta, berbagai cara membiasakan aspirasi batin lewat penciptaan benda dan peristiwa. Dan, dunia yang diciptakannya itu diubahnya kembali setiap kali karena perubahan situasi dan kondisi, tapi juga karena hidup memang suatu proses menjadi’, proses pertumbuhan ke tingkat Iebih halus dan Iebih tinggi. Maka jingkrak-jingkrak spontan kebahagiaan yang tak terkoordinasi berubah menjadi tarian, gerak komunikasi tubuh tanpa bentuk menjadi perilaku santun terpolakan, seruan rasa yang kacau menjadi bahasa pelik sarat gagasan, pencerapan ukuran diberinya bentuk matematis-geometris demi penghitungan.
Sistem nilai pun ditata ulang kembali setiap kali. Kekerasan dan simbol kekuatan berubah menjadi isyarat kelemahan; sedang mereka yang lemah, awalnya dianggap sebagai pihak yang kalah, perlahan berubah menjadi pihak yang wajib dilindungi, bahkan wajah suci sapaan Ilahi. Kekejaman pedang harus berhenti di hadapan lawan yang tak berdaya. Memaafkan menjadi lebih mulia daripada balas dendam,
Demikianlah seni, sebagai tendensi kreatif umum untuk membentuk dunia manusia menjadi lebih manusiawi akhirnya menghasilkan rasa keberadaban’, suatu tolok ukur umum evolusi kemanusiaan. Seni akhirnya yaitu soal makin tajamnya kesadaran makna dan nilai di balik ‘bentuk’, bentuk alam semesta, bentuk perilaku manusia, tapi juga bentuk sistem dogma, bentuk kehidupan bersama, dan sebagainya. Imajinasi kreatif yang menggerakannya yaitu juga yang melahirkan ilmu dan teknologi, segala sistem kepercayaan, dan sistem gagasan, artinya yang membentuk seluruh gerak kebudayaan dan peradaban.

I.    INTEGRAS1 ILMU PENGETAHUAN, SENI, DAN AGAMA
Tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu, sebab pengetahuan itu sendiri sebagai segala sesuatu yang diketahui dan datang sebagai hasil dan aktivitas pancaindra untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalarn jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, Sedangkan ilmu menghendaki ebih jauh, luas, dan dalam dan pengetahuan.
Ilmu merupakan bagian dan pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling memengaruhi. Di satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dan kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan itu terpadu secara intim dengan seluruh struktur sosial dan tradisi kebudayaan.
Seni sebagai penggerak budaya peradaban, di mana seni sebagai tendensi kreatif urnum untuk membentuk dunia manusia menjadi ]ebih manusiawi akhirnya rnenghasilkan rasa ‘keberadaban’, suatu tolok ukur umum evolusi kemanusiaan. Seni sebagai sistem nilai, semakin mempertajam kesadaran makna dan nilai di balik ‘bentuk’, bentuk alam Semesta, bentuk perilaku manusia, tapi juga bentuk sistem dogma, bentuk kehidupan bersama.
Kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat, yang merupakan hasil dan manusia yang merupakan makhluk yang beradab sebab dianugerahi harkat, martabat, serta potensi kemanusiaan yang tinggi. Manusia memiliki padanan istilah yang dikenakan dengan masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society, nurcliolis iizadjid), masyarakat beradab atau berkeadaban, masyarakat madani (masyarakat yang teratur dan beradab), dan peradaban hanya terwujud dalam masyarakat teratur.
Agama dapat berfungsi sebagai kritik seni (budaya) sekaligus sebagai kritik ilmu, bahwa fungsi kritis agama harus dilakukan dengan menjauhi sikap yang sifatnya totaliter. Agama (agamawan) dalam menerangkan fungsi kritisnya secara konkret harus memiliki pengetahuan empiris yang tangguh. Agarna tidak bisa bersifat politis dalam pengertian hanya membatasi din pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlihat ke dalam proses transformasi sosial, sehingga fungsi agama bisa tercapai dalam konteks seni (budaya) dan ilmu pengetahuan.

Wujud peradaban moral dan agama merupakan nilai-nilai dalam masyarakat dalam hubungannya dengan kesusilaan. Aturan, ukuran, atau pedoman yang digunakan dalarn menentukan sesuatu benar atau salah, baik atau buruk yang dikembangkan dalam perspektif ilmu pengetahuan dan dikemas dalam nilai-nilai seni dan keindahan agar dia maslahat bagi kemanusiaan. Nilai dan norma moral tentang apa yang baik dan buruk yang menjadi pegangan dalam mengatur tingkah laku manusia mi harus terintegrasi dalam ilmu pengetahuan agar dia bernilai dan dapat memandu manusia menjadi berbudaya dan berperadaban.

Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)

1 comment:

  1. sangat bermanfaat, tp sayang tidak ada referensinya

    ReplyDelete