Bab 8
ASPEK ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN
A. ORIENTASI KE ARAH ONTOLOGI ILMU
PENGETAHUAN
Socrates menggambarkan akal merupakan segalanya, dan merupakan pokok
serta satu-satunya jalan yang dapat menuntun manusia mencari kebenaran. Ia
berfilsafat untuk hidup, karena dengan berpikir maka eksistensinya sebagai
manusia dapat dipertahankan. Filsafat jika ditinjau lebih mendalam lagi bukan
sekadar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafat
merupakan pondasi awal dan segala macam disiplin keilmuan yang ada. Adapun ilmu
merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dan
waktu ke waktu. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu,
seperti agama, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi.
Ilmu yaitu suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah, empiris,
dan logis. Theo Marc dalam Atang Munaja (1988) menyatakan, ilmu adalah segala
sesuatu yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta dapat
dipertanggung jawabkan dengan bukti yang konkret. Dan pengertian ini dapat
disimpulkan bahwa ilmu dalam bentuk yang baku
haruslah mempunyai paradigma (positivistic paradigm) serta metode yang jelas
(scientific method) yang juga dikorelasikan dengan bukti yang empiris yang
mampu diterapkan secara gamblang (transparan).
Filsafat ilmu yaitu bagian dan filsafat pengetahuan atau serjng juga
disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni episcmc
yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos yang berarti teori. Istilah ini
pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier pada 1854 yang membuat dua cabang
filsafat, yakni epistemologi dan ontologi (on = being, wujud, apa + logos =
teori ), ontologi (teori tentang apa). Secara
sederhana dapat
dikatakan bahwa filsafat ilmu yaitu dasar yang menjiwai dinamika proses
kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat
pengetahuan yang ilmiah dan tak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah yaitu yang
disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan
yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedernikian rupa, sehingga memenuhi
asas pengaturan
secara
prosedural, metodologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikfan teruji
kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau
secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan Adapun pengetahuan tak ilmiah yaitu
yang masih tergolong pra-ilmiah.
Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan indriawi yang Secara sadar
diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk
yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi,
wangsit, atau wahyu (oleh Nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh
secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan
teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji
kebenaran (validitas) ilmiahnya. Adapun pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun
sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif namun bersifat acak, yaitu tanpa
metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu.
Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara
sistematis-metodologis disebut sebagai pengetahuan “naluriah”. Ahrnad Tafsir
(2006) mengemukakan perbandingan ilmu pengetahuan manusia ini sebagaimana
terlihat dalam tabel berikut:
PENGETAHUAN
MANUSIA
Selanjutnya menurut Sirajuddin Zar pengetahuan terdiri dua hal, yaitu:
Pertamci, pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif manusia.
Pengetahuan ini diperoleh manusia lewat wahyu Allah SWT. Manusia menerima kebenaran
wahyu lewat keimanan dalam hatinya. Kedua, pengetahuan yang berdasarkan hasil
usaha aktif manusia. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan indra, yaitu
pengetahuan yang peroleh berdasarkan pengalaman sehari-hari, seperti air yang mengalir
ke tempat yang rendah, gaya
gravitasi Bumi, dan lain sebagainya. Lebih jauh Zar mengatakan, secara
terminologi pengetahuan memiliki beberapa definisi Pertama, pengetahuan yaitu
apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu ini merupakan
hasil dari kenal, sadar, dan mengerti. Pengetahuan itu yaitu semua milik atau
isi pikiran. Dengan demikian, pengetahuan merupakan hasil proses dan usaha
manusia untuk tahu. Kedua, pengetahuan yaitu proses kehidu pan yang diketahui manusia
secara langsung dan kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui
(subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian
aktif, sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya
sendiri dalam kesatuan aktif. Ketiga, pengetahuan yaitu segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu, seni, dan agama.
Pengetahuan ini merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak
langsung memperkaya kehidupan kita.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu,
atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan
dapat berwujud barang-barang baik lewat indra maupun lewat akal, dapat juga
objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan
masalah kejiwaan. Pengetahuan yaitu keseluruhan pengetahuan yang belum
tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan
pengetahuan yaitu informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode dan
mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi
kebiasaan dan pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat,
cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji, karena kesimpulan
ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian
pengetahuan lebih cenderung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.
Amsal Bakhtiar (2009) mengatakan, ilmu memiliki ciri khusus yang membedakan
dengan bidang non-ilmu, ciri ilmu utamanya antara lain: Pertama, ilmu yaitu
sebagian pengetabuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan
dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan
kepada yang gaib dan penghayatan Serta pengalaman pribadi. Kedna, berbeda
dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu
putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu
ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis Karena
itu koherensi sisternatik yaitu hakikat ilmu. Prinsip objek dan hubungannya
yang tercermin dalam kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa
prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip prinsip metafisis
objek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara
lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan
oleh visi rohani terhadap realitas tetapi oleh berpikir. Ketiga, ilmu tidak
rnernerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran
perorangan, sebab ilmu termuat di dalam dirinya sendiri hipotesis dan teori
yang belurn sepenuhnya diman. tapkan. Keein pat, ciri hakiki lainnya dan ilmu
yaitu metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan
penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dan banyak pengamatan ide yang
terpisabpisah. Sebaliknya, ilmu rnenuntut pengamatan dan berpikir metodis,
tentata rapi. Alat bantu metodologis yang penting yaitu terminologi ilmiah;
yang disebut belakangan ml mencoba konsep ilmu. Ciri-ciri ilmu demikjan yang
akan menandai tingkat keilmiahan suatu bidang. Ilrnu pengetahuan itu jelas ada
tanda-tanda keilmiahan,
Selanjutnya Amsal mengatakan, ilmu sebagai pengetahuan ilmiah berbeda
dengan pengetahuan biasa, dia memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
Pertaina, siternatis; para filsuf dan ilmuwan sepaham bahwa ilmu
merupakan pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis. Ciri sisternatis ilrnu rnenunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai
keterangan, dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu rnernpunyai
hubungan saling ketergantungan yang teratur (pertalian tertib). Pertalian
tertib dirnaksud disebabkan, adanya suatu asas tata tertib tertentu di antara
bagian yang merupakan pokok soalnya.
Kedua, empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan pengamatan serta percobaan secara terstruktur di dalam bentuk
pengalarnan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu mengamati,
menganalisis, menalar, rnembuktikan, dan menyimpulkan hal-hal ernpiris yang
bersifat faktawi (faktual), baik berupa gejala maupun kebatinan, gejala-gejala
alani, gejala kejiwaan, gejala kemasyarakatan, dan sebagainya. Sernua hal fakta
dimaksud dihimpun serta dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan persediaan
bagi ilmu. Ilmu dalam hal ini bukan sekadar fakta, melainkan fakta yang diamati
dalam suatu aktivitas ilmiah melalui pengalaman. Fakta bukan pula data, berbeda
dengan fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal
yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi indriawi.
Ketiga, objektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengetahuan yang bebas
dan prasangka perorangan (personal bias), dan perasaan subjektif berupa
kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung pernyataan
serta data yang menggambarkan secara terus terang atau mencerminkan secara
tepat gejala yang ditelaahnya. Objek tivitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan
pengetahuan itu haruslah sesuai dengan objeknya (baik objek material maupun
objek formalnya), tanpa diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subjektif
dari penelaanya
Keempat, analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan
membedakan pokok soalnya ke dalarn bagian-bagian yang terperinci untuk memahami
berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian bagian itu. Upaya pemilahan atau
penguraian suatu kebulatan pokok soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu
bidang keilmuan senantiasa tersekat-sekat dalam cabang yang lebih sempit
sasarannya. Melalui itu, masing-masing cabang ilmu itu membentuk aliran
pemikiran keilmuan baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus
dikembangkan secara khusus menuju spesialisasi ilmu.
Kelima, verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran yang terbuka untuk
diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan
disampaikan kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi)
dimaksudlah yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar dapat
diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau diverifikasi
dari berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui benar. Gin
verifikasi ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah
pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleb manusia untuk menemukan
suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran ilmiah.
Kebenaran ini dapat berupa asas-asas atau kaidah yang berlaku umum atau
universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan.
Melalui itu, manusia berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa
mendatang dan menerangkan atau menguasai alam sekelilingnya. Contohnya, sebelum
ada ilmu maka orang sulit mengerti dan meramalkan, serta menguasai gejala atau
peristiwa alam, seperti hujan, banjir dan gunung meletus. Orang, karena itu,
lari kepada takhayul atau mitos yang gaib. Namun demikian, setelah adanya ilmu,
seperti vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara
tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa itu serta meramalkan hal-hal yang
akan terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat menguasainya untuk kemanfaatan
diri atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itulah, orang cenderung
mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan Yang teratur dan telah
disahkan secara baik, yang dirumuskan untuk maksud menemukan kebenaran umum,
serta tujuan penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran ilmu demi kepentingan pribadi
atau masyarakat dan alam lingkungan
Selain kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan
lainnya, misalnya ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental
dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk melakukan
sesuatu hal. Ilmu dalam hal ini sukar, namun, juga sangat, muda dalam arti,
senantiasa merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang
mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide- ide baru. Ilmu berciri faktual, dalam
arti ilmu tidak memberikan penilaian baik atau buruk terhadap apa yang
ditelaahnya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi si pengguna.
Pandangan terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolak, karena menurut mereka
ilmu sebagai suatu hasil budaya manusia selalu bertautan atau berhubungan
dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri
dari nilai dan selalu harus bertanggung jawab atasnya.
Dilihat dari sudut pertanggungjawabannya, ilmu pengetahuan ilmiah dapat
dilihat dari tiga sistem, yaitu: Pertama, sistem aksiomatis, artinya sistem ini
berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai
dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori
umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya
yang menggunakan metode ini yaitu ilmu-ilmu formal, misalnya matematika. Kedua,
sistem empiris, sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai
dari gejala/fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi, bersifat
induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu statistik. Urnumnya
yang menggunakan metode ini yaitu ilmu pengetahuan alam dan sosial. Ketiga,
sistem semantik atau linguistik, dalam sistem kebenaran didapatkan dengan cara
menyusun proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu
bahasa . (linguistik)
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak
(intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan
milik perorangan (subjektif) melainkan merupakan konsensus antar subjek
(pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan ilmiah itu harus
ditopang oleh komunitas ilmiah. Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan
semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain,
melainkan merupakan teori, prinsip atau dalil yang berguna bagi perkembangan
teori, prinsip atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan merupakan
rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah
berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk
percobaan lebih lanjut. Pengertian percobaan di sini yaitu pengkajian atau
pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian
(pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Definisi tersebut memberi tekanan pada makna dan manfaat ilmu
pengetahuan. Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau
juga penemuan penelitian baru akan diukur hasilnya, yaitu hasil dalam kaitan
dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, tetapi sebagai penyelidikan yang
berhasil hanya sampai pada tingkat yang ber
kesinambungan.
Dilihat
dari sudut sejarah perkembangannya, ilmu pengetahuan di zaman dahulu bermula
dari tingkat berpikir yang lazim disebut tahap mistik, tidak terdapat perbedaan
di antara pengetahuan yang berlaku juga untuk objeknya. Pada tahap mistik ini,
sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua
objek tampil
dalam
kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas
batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan itu mempunyai
implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam
pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segalanya.
Fenomena ini sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal
berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya
diversifikasi pekerjaan.
Seorang
pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja antara lain sebagai
kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang pejabat pernikahan. ini
berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai
dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya
yaitu tahap ontologis, Yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan
kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dan objek di sekitarnya, dan
dapat menelaah nya.Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis objek
metafisika pasti tidak akan mengakui status ilmiah dan ilmu tersebut. Itulah
mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu.
Dalam hal ini subyek menelaah objek dengan pendekatan awal pemecahan masalah,
semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah
satu ciri pendekatan ilmiah Yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi
metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan
sintesis.
Dalam
proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif yaitu menarik
kesimpulan khusus dan yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu
perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut
premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada
gilirannya otomatis mempunyai kepastian
kebenaran.
Dengan kata lain kesimpulan itu praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis
yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan itu sudah memiliki kepastian kebenaran,
namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional abstrak, maka
harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti
teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dan
dukungan data empins melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum
dan yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukkan tahap akhir
yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas
dari kepungan kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah
secara empiris, tetapi lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu itu
secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia
dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses
aspek aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta
profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara
itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu
napas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai
hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di
mana yang hendak dicapai ilmu. ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan
dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam
dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman indriawi.
Dengan
demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga
datanya dapat diolah, diinterpretasi, diveriflkasi, dan ditarik kesimpulan.
Dengan kata lain, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau
neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. kedua, dari segi epistemologi,
yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara
ilmiah, di samping aspek prosedural, metode, dan teknik memperoleh data empiris.
Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkah pokok dan
urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan
sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Ketiga dan segi aksiologi,
sebagaimana telah disinggung di atas, terkait dengan kaidah moral pengembangan
penggunaan ilmu yang diperoleh. Jujun S. Suriasumantri (1983), memberikan
gambaran ketiga aspek ini seperti tergambar dalam
tabel di halaman
174.
B. HAKIKATONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN
Ontologi yaitu cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat
ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir (2011) menjelaskan bahwa ontologi itu ilmu
yang membicarakan tentang the being; yang dibahas ontologi yaitu hakikat
realitas. Dalam penelitian kuantitatif, realitas tampil dalam bentuk jumlah.
Adapun dalam penelitian kualitatif, ontologi
muncul dalam bentuk aliran, misalnya idealisme, rasionalisme,
materialisme. Keterkaitan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif memang tidak
perlu diragukan. Jadi, ontologi itu yaitu ilmu yang membahas seluk beluk ilmu.
Secara etimologi ilmu dalam bahasa Inggris berarti science. Pengetahuan
berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of
philosophy dijelaskan, bahwa deflnisi pengetahuan yaitu kepercayaan yang benar
(knowledge is justified true belief,). Ontologi itu ilmu yang menelusuri
tentang hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu penge
TAHAPAN DAN ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI,
DAN AKSIOLOGI DALAM ILMU PENGETAHLJAN
Tahapan
|
Aspek
|
Ontologi
(Hakikat
Ilmu)
|
-
Objek apa yang telah ditelaah ilmu?
-
Bagaimana wujud yang hakiki dan objek tersebut?
-
Bagaimana hubungan antara objek tadi dan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan
pengetahuan?
-
Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan
yang berupa ilmu?
-
Bagaimana prosedurnya?
|
Epistemologi
(Cara
Mendapatkan
Pengetahuan)
|
-
Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya
pengetahuan yang berupa ilmu?
-
Bagaimana prosedurnya?
-
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan dengan benar?
-
Apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri?
-
Apa kriterianya?
-
Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
|
Aksiologi
(Guna
Pengetahuan)
|
-
Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
-
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan
kaidah moral?
-
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral?
-
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma- norma moral/profesional?
|
tahuan adalah
keberadaan suatu fenomena kehidupan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan
keflisafatan yang paling kuno. Awal pemikiran Yunani telah menunjukkan
munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam ontologi orang menghadapi
persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dan segala yang ada. Pertama
kali orang dihadapkan pada persoalan materi (kebenaran), dan kedua pada
kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Kedua realitas mi, yaitu lahir dan
batin, merupakan hakikat keilmuan manusia. Manusia memiliki dua sumber ilmu,
yaitu (1) ilmu lahir yang kasatmata dan bersifat observable, tangible; dan (2)
ilmu batin, metafisik yang tidak kasatmata.
Pembicaraan
tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada.
Hakikat yaitu realitas, artinya kenyataan yang sebenarnya. Pembahasan tentang
ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab pertanyaan “apa itu ada,”
yang menurut Aristoteles merupakan the first philosophy dan merupakan ilmu
mengenai esensi benda-benda (sesuatu). Sebenarnya bukan sekadar benda yang
penting, melainkan fenomena di jagat raya ini, apa dan mengapa ada. Di alam
Seimesta ini, kalau direnungkan banyak hal yang menimbulkan tanda tanya besar.
Selanjutnya
dikatakan Muhadjir, pengertian ontologi menurut bahasa berasal dari bahasa
Yunani, yaitu ontos = being atau ada, dan logos ilmu. Jadi, ontologi adalah the
theory of being quq being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Atau
bisa juga disebut sebagai ilmu tentang yang ada atau keberadaan itu sendiri.
Maksudnya, satu pemikiran fisafat selalu diandaikan berasal dari kenyataan
tertentu yang bersifat
ada atau yang
sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia. Tegasnya, bila suatu pemikiran
tidak merniliki keberadaan (landasan ontologi) atau tidak mungkin pula untuk
diadakan, maka pikiran itu hanya berupa khayalan, dorongan perasaan subjektif,
atau kesesatan berpikir yang dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat
ada atau realitas ada itu, bagi filsafat, selalu bersifat utuh (eksistensial).
Misalnya, bila secara ilmu hukum kita berpikir tentang kebenaran atau keadilan,
maka dapat ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa diadakan
dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak (disangkal)
kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan atau jiwa maka
sekurang-kurangnya harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa Tuhan atau
jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu hanya berupa suatu ide kosong atau
khayalan yang mudah ditolak kebenarannya. Realitas ontologis itulah yang
menjadi dasar pemikiran hukum, teologi, atau psikologi, sehingga pemikiran
hukum, teologi, atau psikologi ini bias buktikan dan didukung (diafirmasi) atau
difalsiflkasikan (ditolak), atau disingkirkan (dinegasi). Realitas ada yang
menjadi objek pemikiran dan pembuktian suatu pemikiran flisafat selalu dipahami
sebagai suatu kenyataan yang utuh, sempurna, dan dinamis, baik dari sisi materi
maupun rohani, atas-bawah, hitarn-putih, dan sebagamnya. Ontologi terbagi atas dua,
yaitu ontologi umurn yang disebut metafisika, dan ontologi khusus
seperti
kosmologi, theodice, dan sebagainya.
Heidegger
(1981) mengatakan, istilah ontologi pertama kali diperke nalkan oleh Rudolf
Goclenius pada 1936 M ,
untuk menamai hakikat yang ada bersifat metafisis. Dalarn perkernbangannya,
Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika
umum dan khusus. Metaflsika umum yaitu istilah lain dan ontologi. Dengan
demikian, metafisika atau ontologi yaitu cabang filsafat yang membahas tentar
prinsip yang paling dasar atau paling dalam dan segala sesuatu yang adal Adapun
metaflsika khusus masih terbagi menjacli Kosmologi, Psikologj dan Teologi.
Ontologi cenderung dekat dengan metafisika, yaitu ilmu tentang keberadaan di
balik yang ada,
Dua
pengertian ini merambah ke duniahakikat suatu ilmu. Ontologi membahas masalah
ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal mulanya Ilmu itu ada yang tampak
dan ada yang tidak tampak. Dengan berpikir ontologi, manusia akan memahami
tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger eksistensi membicarakan
masalah ada, misalnya cara manusia ada. Manusia ada ketika dia sadar diri, pada
saat memahami tentang “aku”. Ada
semacam ini menjadi wilayah garapan ontologi keilmuan.
Objek
yang menjadi kajian dalam ontologi ini yaitu realitas yang ada. Ontologi yaitu
studi tentang yang ada secara universal, dengan mencari pemikiran semesta
universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan
atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya. Jadi, ontologi merupakan
studi yang terdalam dan setiap hakikat kenyataan, misalnya; (a) dapatkah
manusia sungguh-sungguh memilih sesuatu; (b) apakah ada Tuhan di dunia mi; (c)
apakah nyata dalam hakikat material ataukah spiritual; (d) apakah jiwa sungguh
dapat dibedakan dengan badan; (e) apakah hidup dan mati itu dan sebagainya.
Jadi,
ilmu pengetahuan merupakan usaha manusia dan proses berpikir kritis, Akal budi
manusia yang melahirkan ilmu pengetahuan. Dalam fenomena hidup yang sangat
sederhana pun akan terkait dengan ilmu pengetahuan. Orang yang gemar memelihara
belut pun butuh ilmu pengetahuan. Orang yang gemar memelihara ular pun begitu.
Tidak ada satu pun fenomena yang lepas dan ilmu pengetahuan. Maka, di jagat perguruan
tinggi sudah lahir sekian banyak cabang ilmu pengetahuan yang mungkin kita
tidak begitu mengenal. Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa.
Pemikiran keilmuan yaitu pemikiran yang sungguh-sungguh, suatu cara berpikir
yang penuh kedisiplinan. Seorang pemikir ilmuwan tidak akan membiarkan ide dan
konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun semuanya itu akan
diarahkannya pada suatu tujuan tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir
keilmuan secara fliosofis, yaitu: (a) berpikir sungguh-sungguh; (b) disiplin;
(c) metodis; dan (d) terarah kepada pengetahuan. Berpikir keilmuan, secara
fllosofis, karenanya hendak mengatasi kekeliruan dan kesesatan pikir serta
mempertahankan pemikiran yang benar terhadap kekuatan fantasi dan omong kosong.
C. CARA BERPIKIR ONTOLOGIS DALAM ILMU PENGETAHUAN
Menurut Muhadjir (2011), cara berpikir ontologis dapat berbenturan dengan
suatu agama. Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman atau keyakinan.
Filsafat ilmu ontologi tidak mengajak berdebat antara ilmu dan iman. Ontologi
hendak meletakkan dasar keilmuan. Dalam filsafat ilmu Jawa, misalnya ada
pemikiran ontologi: benarkah Tuhan itu tidak tidur. Jawaban atas realitas
abstrak ini perlu dijawab secara ontologisme melalui perenungan ilmiah. Masalahnya
ketika orang memberiarkan hasil renungannya tentang Tuhan dan tidur, berarti
Tuhan itu mengenal lelah dan kantuk. Jika hal mi benar, berarti Tuhan itu apa
bedanya dengan manusia. Jika manusia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan,
muncul lagi pertanyaan bagaimana wujud yang hakiki dan Tuhan? Bagaimana
hubungan antara Tuhan dan daya tangkap manusia seperti berpikir, merasa, dan
mengindra yang membuahkan pengetahuan? Lebih lanjut, apa sebenarnya yang
disebut dengan dengan ilmu pengetahuan, apa saja jenis-jenis ilmu pengetahuan?
Dan mana sumbernya? Banyak prtanyaan yang menggelitik tentang hakikat
kesemestaan. Semakin kritis seseorang berpikir tentang ada, maka dunia mi
seolaholah semakin rumit dan semakin menarik dikaji.
Hal-hal tersebut semakin memperjelas ontologi sebagai cabang filsafat
ilmu yang mencoba mencermati hakikat keilmuan. Membahas ilmu dan dasar keilmuan
itu ada, bentuk ilmu, wajah ilmu, serta perbandingan satu ilmu dengan yang lain
akan menuntun manusia berpikir ontologis. Ontologi menjadi pijakan manusia
berpikir kritis tentang keadaan alam semesta yang sesungguhnya. Itulah esensi
dan peta jagat raya yang misterius penuh dengan teka-teki. Ilmu itu telah
tertata sistematis dengan pengalaman metodologi yang rapi. Sebelum menjadi ilmu,
sebenarnya masih berupa pengetahuan. Pengetahuan yaitu keseluruhan yang
diketahui yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik.
Pengetahuan yaitu informasi yang berupa common sense masih terserak dan umum.
Pengetahuan itu juga pengalaman manusia, pengalaman yang mantap akan menjadi
ilmu pengetahuan. Ilmu seperti lidi yang sudah diraut dan telah menjadi
sekumpulan sapu lidi, sedang pengetahuan sepertilidi yang masih berserakan di
pohon kelapa, di pasar, dan di tempat lain yang belum tersusun dengan baik.
Dengan ontologi, orang akan mampu membedakan mana ilmu dan mana pengetahuan,
mana ilmu pe-. ngetahuan dan mana non ilmu.
Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan menjadi
lebih jelas bila dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain. Filsafat
dalam hal ini lebih merupakan suatu pemikiran yang universal, menyeluruh, dan
mendasar, sementara ilmu lainnya lebih merupakan pemikiran yang lebih spesifik
atau khusus, karena dibatasi pada objek dan sudut pandang pemikirannya yang khas.
Objek penelitian flisafat mencakup segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh
pikiran manusia. Filsafat berusaha menyimak dan menyingkap seluruh kenyataan
dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dan segala sesuatu. Filsafat, karenanya
ingin mengkritisi dan menembusi berbagai sekat pemikiran ilmu lainnya, serta
berusaha mencapai sebab terakhir dan mutlak (absolut) dan segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama yaitu kegiatan manusia, dalam hal
ini secara khusus kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang merupakan
kegiatan pertama yang secara langsung dialami oleh manusia. Manusia, di dalarn
kegiatannya yang pertama dimaksud, menjadi sadar akan eksisteflsiflya sendiri
dan eksistensi orang atau hal lainnya. Filsafat, karena itu, berusaha mendalami,
rnenyingkap, dan menjelaskan kesadaran eksistensi din manusia dan sesama yang
lain, secara luas dan mendalam sampai ke akar-akar realitasnya yang
fundamental. Proses penelitian filsafat itu mulai dan bentuk pengetahuan biasa
yang dimiliki individu dalam kehidupan sehari-harinya, warisan budaya masa
lalu, dan juga hasil penelitian dan pemikiran ilmu Iainnya yang bersifat
khusus. Jenis pengetahuan khusus mi sungguh membantu filsafat, tetapi juga
membantu bentuk-bentuk pengetahuan khusus dan ilmu lain itu untuk makin
memantapkan dan menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan karenanya,
filsafat lebih merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan “kebijaksanaan Ilahi”
yang sempurna dan mutlak abadi. Maka itu filsafat berbeda dengan ilmu teologi.
Teologi berusaha melihat Allah dan kegiatannya di dalam dunia berdasarkan wahyu
adikodrati. Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia tetap
bukan ciptaan rasio semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan
bagian integral dan keutuhan eksistensi manusia yang terkait dengan aspek-aspek
lainnya dan tatanan eksistensi manusia itu sendiri yang bersifat “monopluralis”
(satu di dalam banyak dan banyak di dalam satu). Filsafat tidak hanya berupaya
memuaskan pencarian manusia akan kebenaran, tetapi ia juga berusaha
menerangi dan
menuntun arah atau orientasi kehidupan manusia secara kritis dan jelas, bukan
dengan spekulasi yang absurd, hambar, dan penuh khayalan yang sia-sia.
Filsafat
tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoisme
keilmuan, atau pardangan kepribadian yang bersifat ihdividual semata. Justru
filsafat berusaha menguji, mengkritisi, dan berusaha mengajukan pertanyaan
secara baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan
tuntutan dinamika perkembangan yang dihadapi. Filsafat, karena itu, tidak akan
pernah menjadikan dirinya sebagai kebenaran ideologis yang serba sempurna dan
serba oke, yang membelenggu manusia. Justru filsafat tetap yaitu suatu program
pencerahan dalam rangka otonomi, emansipasi, dan perkembangan manusia. Immanuel
Kant, dalam Kunto Wibisono (1997) mengatakan, untuk membedakan jenis
pengetahuan yang satu dengan yang lainnya memang tidaklah mudah. Khazanah
kehidupan manusia yang begitu luas memang memungkinkan menguasai berbagai
pengetahuan. Seseorang dapat memiliki berbagai pengetahuan mulai dari yang
sederhana sampai yang kompleks. Setiap pengetahuan tentu memiliki ciri khasnya,
hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada Seperti ilmu
pengetahuan, seni, dan agama, serta meletakkan mereka pada tempatnya
masing-masing sehingga memperkaya kehidupan kita. Orang dapat mengenal hakikat
bahasa, sastra, dan budaya menurut katagori tertentu. Tanpa mengenal katagori dan
ciri khas setiap pengetahuan dengan benar, maka kita tidak dapat menggunakannya
secara maksimal bahkan dapat menjerumuskan kita. Untuk mengatasi gap antara
ilmu yang satu
dan ilmu yang
lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi
perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu
mengatasi hal itu.
Selanjutnya
dikatakan Kant dalam Kunto, bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.
Francis Bacon menyebut filsafat Sebagai ibu agung dan ilmu (the great mother of
the sciences). Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena
pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge,” maka
lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan.
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: ilmu
(pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen
yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffl (dalam The Liang Gie,
1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mecari pengetahuan umum tentang ilmu
atau tentang dunia sebagaima ditunjukkan oleh ilmu.
pngetahuan
(knowledge) yaitu sesuatu yang diketahui langsung dan pengalaman, berdasarkan
pancaindra dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pengetahuan masih pada
tataran indriawi dan spontanitas belum ditata melalui metode yang jelas.
Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara
pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek. Namun
kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih belum tertata dengan
rapi, belum teruji secara metodologis. Orang melihat kebakaran, itu pengetahuan
orang melihat tsunami lan ke tempat yang tinggi, itu pengetahuan. Pengetahuafl
masih sering bercampur dengan insting.
Ilmu
(sains) berasal dan bahasa Latin, scientia, yang berarti knowledge. Ilinu
dipahami sebagai proses penyelidikan yang memiliki disipun tertentu. Ilmu
bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala alam. Meramalkan tidak lain
suatu proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsmran. Ilmu sebenarnya juga
suatu pengetahuan, namun telah melalui proSeS penataan yang sistematis. Ilmu
telah memiliki metodologi yang andal. Ilmu dan pengetahuan sering kali
dikaitkan sehingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan pengetahuan selalu
terjadi di ranah penelitian apa PUfl. HI-flu tanpa pengetahuan tentu sulit
terjadi. pengetahuan yang disertai ilmu jelas akan lebih berarti.
Ilmu
pengetahuan yaitu pengetahuan yang telah diolah kembali dan disusun secara
metodis, sistematis, konsisten, dan koheren. Metodis, berarti dalam proses
menemukan dan mengolah pengetahuan menggunakan metode tertentu tidak
serampangan. Sistematis, berarti dalam usaha menemukan kebenaran dan
menjabarkan pengetahuan yang diperoleh rnenggunalcan langkah-langkah tertentu
yang terarah dan teratur sehingga menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.
Selain tertata, tersistem, dan terpadu pengetahuan perlu disintesiskan secara
koheren. IKoheren, berarti setiap bagian dan jabaran ilmu pengetahuan itu
merupakan rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian. Konsistensi
(conistence) merupakan ciri dari ilmu pengetahuan yang disebut ilmiah. Iimiah
yaitu kadar berpikir, berakal budi yang disertai penataan.
Wilayah
ontologi yaitu ruang penataan eksistensi keilmuan. dan ciri-ciri ilmu
pengetahuan seperti inilah yang membedakan dengan pengetahuan biasa. Agar
pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan itu harUs dipilah (menjadi suatu
bidang tertentu dan kenyataan) dan disusun secara metodis, sistematis, dan
konsisten. Melalui metode ilmiah suatu pengalaman bisa diungkapkan kembali
secara jelas, perinci, dan akurat. Penataan pengetahuan secara metodis dan
sistematis membutuhkan proses.
Thales,
Plato, dan Aristoteles ialah tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dan meletakkan dasar ilmu pengetahuan. Sebagaimana pengetahuan,
hakikat maupun sejarah perkembangan ilmu ito sendiri merupakan suatu problem di
dalam filsafat. Pada zaman Yuflani Kuno, ilmu dipandang sebagai bagian dan
filsafat; pada saat lain, terpisah dan filsafat. Ilmu dahulu dipandang sebagai
disiplin tunggal (bersifat monistik), dan sekarang dipandang sebagai
seperangkat disipun yang dinamis dan terlepas-lepas berdasarkan spesialisasi
ilmu atau keahlian. Dahulu ilmu dipandang sebagai hal yang berurusan dengan
kenyataan (fakta) fisik, sekarang ilmu dianggap bergumul dengan fenomena
(gejala fisik dan nonfisik). Karenanya, ilmu kemudian dikategorikan ke dalam
tipe deduktif dan induktif.
Pada
zaman Yunani Kuno, filsafat (yang dipahami sebagai ilmu). Filsafat dan ilmu
bersifat saling menjalin dan orang tidak memisahkan keduanya sebagai hal yang
berbeda. Filsafat dan ilmu berusaha mene liti dan mencari unsur-unsur dasariah
alam semesta. Usaha ini sekarang disebut usaha keilmuan (usaha ilmiah).
Thales
(640-546 SM) merupakan pemikir pertama, yang dalam sejarah filsafat disebut the
Father of Philosophy (Bapak Filsafat). Banyak sarjana kemudian mengakui Thales
sebagai ilmuwan yang pertama di dunia. Bangsa Yunani rnenggolongkan Thales
sebagai salah seorang dan seven wise men of greece (tujuh orang arif Yunani).
Thales mengembangkan filsafat alam (kosmologi) yang mempertanyakan asal mula,
sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Thales, dalam penyelidikan
keilmuannya, menyimpulkan bahwa penyebab utama (causa prima) dan semua alam itu
adalah “air” sebagai materi dasar dan kosmis. Sebagai ilmuwan, Thales mengembangkan
fisika, astronomi, dan matematika, dengan antara lain mengemukakan beberapa
pendapat keilmuannya: bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya matahari,
menghitung terjadinya gerhana matahari, dan membuktikan dalil-dalil geometri.
Prestasi Thales dalam sejarah keilmuan, ditunjukkannya dalam hal pembuktian
dalilnya bahwu kedua sudut alas dari satu segitiga sama kaki, sama besarnya.
Thales, melalui itu, menunjukkan bahwa ia ialah ahli matematika dunia yang
pertama dan Yunani. Para ahli dewasa mi,
justru itu, menyebut Thales sebagai ‘ the Father of Deductive Reasoning’ (Bapak
Penalaran Deduktif). Pythagoras (572-497 SM) ialah ilmuwan Yunani Kuno yang
muncul sebagai ilmuwan matematika.Ia mengajarkan bahwa bilangan merupakan
intisari dan semua benda serta dasar pokok dari sifat-sifat benda.
Dalil
Pythagoras tersebut “number rules the universe” (bilangan memerintahkan jagat
raya ini). ia berpendapat bahwa matematika merupakan salah satu sarana atau
alat bagi pemahaman filsafat. Plato (428-348 SM) ialah filsafat besar Yunani
dan ilmuwan spekulatif, yang menegaskan bahwa filsafat atau ilmu merupakan
pencarian yang bersifat perekaan (spekulatif) tentang seluruh kebenaran. Plato,
dalam hal mi memandang ilmu sebagai hal yang berhubungan dengan opini atau
ajaran (doxa). Ia mengajarkan bahwa geometri merupakan ilmu rasional
berdasarkan akal murni, yang berusaha membuktikan pernyataan (proposisi)
abstrak mengenai ide yang abstrak, misalnya segitiga sempurna, lingkaran
sempurna, dan sebagainya.
Aristoteles
(382-322 SM) lebih memahami ilmu sebagai pengetahuan demonstratif, tentang
sebab-sebab utama segala hal (causa prima). Ilmu dalam hal mi bersifat teoretis
(ilmu tertinggi), praktis (ilmu terapan), dan produktif (ilmu yang bermanfaat),
semuanya dalam kesatuan utuh (tidak bersifat ilmu majemuk). Aristoteles
mempelajari berbagai ilmu, antara lain biologi, psikologi, dan politik. Ta juga
mengembangkan ilmu tentang penalaran (logika), yang dalam hal mi disebutnya
dengan nama analitika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pada premis yang
benar; dan dialektika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pikir pada hal-hal
yang bersifat tidak pasti (hipotesis). Semua tulisan Aristoteles tentang ilmu
tentang penalaran (logika) itu ditulis dalam enam naskah yang masingmasingnya
berjudul Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics,
Topics, Sophistical Refitations. Jelasnya, perkembangan sejarah ilmu pada abad
Yunani Kuno telah berkembang dalam empat bidang keilmuan, yaitu filsafat
(kosmologi), ilmu biologi, matematika, dan logika, dengan ciri perkembangannya
masing-masing. Selama abad pertengahan, ilmu atau scientia dipahami sebagai
jenis pengetahuan yang dipunyai Allah tentang manusia. Ilmu, karenanya, dilihat
semata-mata dalam perspektif ilmu teologi, artinya ilmu memiliki kedudukan dan
peranan sebagai pelayanteologi. Triviwn,
yaitu gramatika, retorika, dan dialektika; dan quardriviwn, yaitu aritmatika, geomerti, astronomi, dan musik, di
pihak lain memuat sejumlah studi yang dianggap sebagai ilmu dalam arti yang kurang
ketat. Averroes menganggap being (yang ada) sebagai istilah yang seragam sama
persis (univok) untuk memandang ilmu sebagai pengetahuan abadi yang berurusan
dengan ke apaan semua hal.
Ilmu
mengalami perkembangan revolusioner pada abad modern. Muncul para tokoh pembaru
seperti Galileo Galilei, Francis Bacon, Roger Bacon, René Descartes, dan Ishak
Newton yang memperkenalkan matematika dan metode eksperimental untuk
mempelajari alam. Ilmu akhirnya berkembang dengan sifatnya yang eksperimental,
bercabang-cabang, dan partikular (saling terpisah), serta otonom. Bahkan,
sejarah keilmuan abad modern telah menampilkan spesialisasi sebagai ciri
keilmuan modern itu sendiri. Roger Bacon, sejak awal zaman modern telah
mengembangkan dasar-dasar keilmuannya yang bersifat ilmu eksperimental. Roger
Bacon, dalam hal ini berusaha mengembangkan ilmu dengan melibatkan kegiatan
pengamatan (observasi), prosedur metodik (induktif), maupun matematika yang
dianggap lebih tinggi dan ilmu-ilmu spekulatif (misalnya teologi), yang dikembangkan
sebelumnya pada Abad Pertengahan. Paham keilmuan mi kemudian lebih diperkuat
lagi oleh Francis Bacon, yang menandaskan peranan metode induktif di dalam
ilmu. Francis Bacon menunjukkan bahwa metode induktif merupakan jalan
satu-satunya menunju kebenaran ilmu, serta menunjukkan kegunaan ilmu itu
sendiri. Menurut Francis Bacon, ilmu bersifat majemuk karena mencermin yang kan aneka fakultas
(kemampuan) manusiawi. Misalnya, ilmu alam berawal dan kemampuan akal,
sementara sejarah berasal dari kemampuan ingatan. Thomas Hobbes, di kemudian
han, membagi ilmu ke dalam dua tipe, yaitu ilmu yang berasal dan fakta seperti
nyata dalam ilmu empiris eksperimental, dan ilmu yang berasal dan akal seperti
nyata dalam ilmu spekulatif. Galileo Galilei menjalankan sepenuhnya metode yang
digariskan oleh Roger Bacon. Menurut Galileo (ilmuwan besar dunia dan Itali)
ilmu berkembang dan filsafat alam yang lebih dikenal sebagai ilmu alam, melalui
pengukuran kecepatan cahaya sampai penimbangan obor udara Sebagai ilmuwan matematika,
ia mengajarkan suatu ucapannya yang sangat terkenal, yaitu “Filsafat ditulis
dalam sebuah buku besar, tetapi buku itu tidak dapat dibaca dan dimengerti bila
orang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan membaca huruf-huruf yang
dipa-kai untuk menyusunnya, yaitu matematika.”
Perkembangan
ilmu mencapai puncak kejayaannya di tangan Ishak Newton. Menurut Newton, inti
keilmuan yaitu pada pencarian pola data matematis, dan karena itu ia berusaha
membongkar rahasia alam dengan menggunakan matematika. Ilmuwan dunia dan
Inggris mi berhasil merumuskan suatu teori tentang “gaya berat” dan “kaidah
mekanika” yang semuanya tertulis melalui karyanya yang berjudul Philosophiae
Natural is Principia Mathematica (Asas-ascis Mateinatika dan Filsafat Alain),
diterbitkan pada 1687. Perkembangan pada kemudian han, ternyata Plillosophia
Naturalis memisahkan din dan filsafat dan para ahli menyebutnya dengan nama
fisika. Jelasnya, pandangan keilmuan abad modern yang berciri
empiris-eksperimental dengan pendekatan induktifnya yang ketat, telah
dikembangkan secara lebih progresif oleh Ishak Newton dalam suatu perspektif
keilmuan yang berciri positivistik. René Descartes, menunjukkan suatu
kecenderungan lain di dalam paham keilmuannya. Kenyataan mi makin menunjukkan
ciri perkembangan keilmuan modern yang bersifat majemuk dan partikular
(terpisah-pisah). Menurut Descartes, ilmu tidak memiliki basis lain kecuali
akal budi. Metode akal budi dapat diterapkan dalam problem apa pun. Ilmu
memiliki keterkaitan batiniah dengan kepastian dan sungguh-sungguh disejajarkan
dengan paham Abad Pertengahan tentang premis-premis ketuhanan dalam ilmu.
Dunia
keilmuan modern mengalarni perkembangan dengan munculnya cabang-cabang keilmuan
modern. Perkembangan mana terjadi karena berkat penerapan metode empiris yang
makin cermat serta pemakaian alat-alat keilmuan yang lebih lengkap. Bahkan,
perkembangan mi disebabkan pula oleh adanya arus komunikasi antar-ilmuawan yang
senantiasa meningkat. Hal mana lebih menonjol pada 1700-an. Setelah memasuki
usia dewasa, cabang-cabang ilmu mi memisahkan din dan flusafat, sebagaimana
yang terjadi dengan fisika. Pemisahan mi pertamatama dilakukan oleh biologi,
pada awal abad XIX, dan kernudian psikologi, yang kemudian disusul lagi oleh
sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi, dan politik. Ciri perkembangan dunia
keilmuan modern mi ditentukan oleh tokoh-tokoh berikut.
Auguste
Comte, di sisi lain, makin memantapkan iklim pertentangan (konflik dan
kontroversi) di dalam alam keilmuan modern. Comte mengonstatasi adanya kecenderungan
keilmuan yang makin mengarah dan spektrum keabstrakan, misalnya matématika yang
kian berkembang men1nju tahap positif dalam ilmu kemasyarakatan yang utuh dan
sempuma (sosiologi). Tahapan perkembangan ilmu dimaksud sesuai urutan
pemunculannya di dunia. “Positivisme” dalam keilmuan terletak pada pernyataan
bahwa penjelasan ilmiah (eksplanasi) merupakan unsur dominan dalam setiap
bidang pengalaman manusia. Tahapan perkembangan ilmu mi disebut hukum
perkembangan.
Hukum
tiga tahap tersebut mengingatkan pada pandangan Hegel dan Marx dengan ajaran
dialektikanya yang memandang perkembangan sebagai suatu gerak linier dan
“tertutup.” Artinya, mereka melihat proses perkembangan pemikiran atau
pengetahuan dan ilmu dalam tahap yang saling terpisahkan dan tidak secara utuh
(holistik) serta menyeluruh (komprehensif). Perkembangan ilmu pun cenderung
dilepaskan secara total dan keseluruhan realitas kemanusiaan yang merupakan
sumber utama pengetahuan dan ilmu itu sendiri. Perkembangan pengetahuan dan
ilmu hanya berusaha untuk memenggal dan mengambil sebagian saja dan realitas
itu, yaitu realitas fisik materialnya untuk menjadi objek atau dasar ontologis
dalam mengembangkan ilmunya.Ontologi materialistik ini telah melahirkan
pandangan keilmuan yang pincang tentang realitas serta menciptakan orientasi
kehidupan yang sangat materialistik dalam kehidupan manusia modern.
Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara pengetahuan yang memuat
penampakan dan kenyataan. Kedua hal mi dalam pandangan Thales sebagai filsuf pernah
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan
asal mula Se- gala sesuatu. Dia tampaknya melihat realitas dan sisi yang
tampak; yang tampak itulah realitas (kenyataan). Secara saksama, dia sebenarnya
telah berpikir ontologi tentang sangkaan peran alam semesta. Kita jarang
menyadari bahwa dalam tubuh kita berasal dan air. Namun yang lebih penting,
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dan satu substansi
belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Ada ketergantungan dalam
suatu ilmu pengetahuan me.mang sulit dielakkan. Ilmu pengetahuan apa pun,
secara ontologismn tentu berkait dengan sumber yang lain. Maka kemandirian
dalam ilmu atau otonomi ilmu pengetahuan itu hampir tidak mungkin. Oleh karena
itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakikat dan ilmu
pengetahuan itu, bahkan hingga implikasinya ke bidang kajian lain seperti ilmu
kealaman. Dengan demikian, setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan
kita untuk masuk ke dalam ka-
wasan filsafat.
Menurut
Kunto Wibisono (1984), filsafat dan suatu segi dapat dideflnisikan sebagai ilmu
yang berusaha untuk memahami hakikat dan sesuatu “ada” yang dijadikan objek
sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang
filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah
hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih
lanjut Koento Wibisono mengemukakan bahwa hakikat ilmu menyangkut masalah
keyakinan ontologis, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan
dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu.
Inilah awal mula, sehingga seseorang akan memilih pandangan yang
idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis, dan lain sebagainya,
yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu
cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak
dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi, yaitu nilai-nilai, ukuran mana yang akan
digunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan
memahami hakikat ilmu itu, menurut Poespoprodjo dalam Koento, dapatlah dipahami
bahwa perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar-ilmu,
simplifikasi dan artifisialitas ilmu, dan lain sebagainya, yang vital bagi
penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dan itu, dikatakan bahwa dengan filsafat
ilmu kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya,
prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam
konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa, sehingga seorang ilmuwan
dapat terhindar dan kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
D. KARAKTERISTIK
ILMU PENGETAHUAN SECARA ONTOLOGIS
Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas. Orang
yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelusuri realitas
secara cermat. Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati dan sisi
ontologi dengan dua macam sudut pandang kuantitatif dan kualitatif. Secara
sederhana, ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau
kenyataan konkret secara kritis. Realitas itu yang menarik perhatian para
ilmuwan. Tanpa realitas kitasulit menyebut apa yang ada di dunia dan hakikat
yang ada di dalamnya.
Ontologi
sebagai cabang filsafat ilmu telah melahirkan sekian banyak aliran ontologisme.
Tiap aliran ontologi biasanya memegang pokok pikiran yang satu sama lain saling
mendukung dam melengkapi. Beberapa aliran dalam bidang ontologi yakni realisme,
naturalisme, dan empirisme. Aliran ini yang membangun pemikiran para ahli
filsafat ilmu untuk memahami esensi suatu ilmu. Ilmu itu dapat ditinjau dan
tiga aliran itu untuk menemukan hakikat.
Atas
dasar ketiga aliran tersebut, ontologi selalu memiliki ciri-ciri khusus. Setiap
aliran memberikan gambaran luas suatu cabang keilmuan. Ciri-ciri khas
terpenting yang terkait dengan ontologi antara lain: Pertama, yang ada (being),
artinya yang dibahas eksistensi keilmuan. Kedua, kenyataan atau realitas
(reality), yaitu fenomena yang didukung oleh data-data yang valid. Ketiga,
eksistensi (existence), yaitu keadaan fenomena yang sesungguhnya yang secara
hakiki tampak dari tidak tampak. Keempat, esensi (essence), yaitU pokok atau
dasar suatu ilmu yang lekat dalam suatu ilmu. Kelima, substansi (sLbstance),
artinya membicarakan masalah isi dan makna suatu ilmu bagi kehidupan manusia.
Keenam, perubahan (change), artinya ilmu itU cair, berubah setiap saat, menuju
ke suatu kesempurnaan. Ketujuh, tunggal (one) dan jamak (many), artinya keadaan
suatu ilmu dan fenomena itu terbagi menjadi dua. Ontologi akan mengungkap apa
dan seperti apa benda, sesuatu, dan fenomena itu ada. Ada dalam konteks mi masih boleh dibantah.
Ontologi
itu pantas dipelajari bagi orang-orang yang ingin memahami secara menyeluruh
tentang dunia mi dan berguna bagi studi-studi empiris, misalnya antropologi,
sosiologi, kedokteran, ilmu budaya, fisika, dan ilmu teknik. Orangyang belajar
ontologi akan paham tentang hakikat suatu ilmu. Tentu saja hakikat itu perlu
disadari, diresapi, dan dinikmati. Setiap aliran ontologi tentu memiliki objek
keilmuan yang berbeda-beda Objek telaah ontologi yaitu tentang ada. Ada dalam konteks ilmu,
perlu didukung oleh fakta dan konfirmasi. Studi tentang yang ada pada dataran
studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah
ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat
ilmu.
Ontologi
membahas tentang yang ada yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada dan bersifat universal, menampilkan
pemikiran yang universal. Setiap ilmu memiliki kekuatan universal yang berlaku
dalam konteks kesejagatan. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam
semua bentuknya. Realitas alam sernesta memang tidak mudah dijelaskan karena
memang sulit untuk dipahami. Tidak semua ilmu itu mudah dijelaskan jika tanpa
pemahaman yang tajam.
Dasar ontologi
ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia.
Jadi, rnasih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek
empiris dapat berupa objek material seperti ide, nhlai-nilai, tumbuhan,
binatang, batu-batuan, dan manusia itu sendiri. Ontologi merupakan salah satu objek
lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang
suatu objek ilmu, ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama,
suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi),
struktur atau komparasi, dan kuantitatif asumsi. Kedua, kelestarian relatif,
artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu
singkat). Ketiga, determinasi, artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak
terjadi secara kebetulan.
Objek
ontologi sama halnya dengan objek fllsafat seperti yang telah dibahas
sebelumnya, yakni: Pertaina, objek formal, yaitu objek formal ontologi sebagai
hakikat seluruh realitas. Objek formal mi yaitu cara memandang yang dilakukan
oleh peneliti terhadap objek materialnya. Objek formal dan suatu ilmu tidak
hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama mernbedakannya
dengan bidang yang lain. Satu objek formal dapat ditinjau dan berbagai sudut
pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Kedua, objek material,
yaitu sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki
atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencangkup hal konkret,
misalnya manusia, tumbuhan, batu, atau hal-hal yang abstrak seperti ide,
nilai-nilai, dan kerohanian. Kedua objek ini akan membingkai pada berbagai
penelitian. Penelitian akan menyangkut dua metode besar, yaitu metode
kualitatif dan kuantitatif.
Metode
kuantitatif merupakan suatu realitas yang tampil dalam kuantitas atau jumlah,
sedangkan kajiannya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi
aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau.hylomorphisme. Referensi
tentang kesemuanya itu banyak sekali. Hylomorphisme diketengahkan pertama kali
oleh Aristoteles dalam bukunya de anima. Dalam tafsiran para ahli selanjutnya
dipahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, melainkan menampilkan
aspek materialisme dan mental. Baik aspek mental maupun material, jika
dipadukan akan memunculkan abstraksi manusia. Abstraksi pula yang membangun
sejumlah ide dan jawaban terhadap keraguan ilmuwan. Jika direnungkan hampir
tidak ada ilmu pengetahuan yang lahir tanpa melewati proses abstraksi. Ada tiga tingkatan
abstraksi dalam ontologi, yaitu: Pertama, abstraksi fisik, menampilkan
keseluruhan sifat khas suatu objek. Kedua, abstraksi bentuk, mendeskripsikan
sifat umum yang menjadi cirri semua yang sejenis. Ketiga, abstraksi metafisik,
mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dan semua realitas. Abstraksi
yang dijangkau oleh ontologi yaitu abstraksi metafisik. Ketiga abstraksi ini
merupakan bagian dan berpikir ontologi, yaitu mernikirkan tentang hakikat suatu
fenomena. Abstraksi akan membangun kemampuan berpikir yang logis terhadap suatu
keadaan.
Dalam
pemahaman ontologi ada beberapa karakter pemikiran, di an taranya monoisme.
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan yaitu satu saja,
tidak rnungkin dua. Haruslah satu hakikat sebagai sumber asal, baik berupa
materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran: (a) Materialisme,
aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu mateni, bukan rohani. Aliran
ini sering disebut
naturalisme.
Menurut aliran ini zat mati merupakan kenyataan dari satu-satunya fakta yaitu
materi, sedangkan jiwa atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri
sendiri. (b) Idealisme, sebagai lawan dan materialisme yang dinamakan spiritualisme.
Idealisme berasal dari kata “ideal,” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran
ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal
dan roh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menempati ruang. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis dan penjelmaan
rohani, yang meliputi:
Pertama,
dualisme, aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat,
sebagai asal sumbernya yaitu hakikat materi dan rohani, benda dan roh, jasad
dan spirit. Materi bukan muncul dari benda, sama-sama hakikat, kedua macam
hakikat ini masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama abadi, hubungan
keduanya menciptakan kehidupan di alam mi. Tokoh dan paham mi ialah Descartes
(1596-1650 SM) yang dianggap sebagai Bapak Filsuf Modern.
Kedua,
pluralisme, paharn ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dan keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam
bentuk itu semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno ialah
Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu
terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Ketiga,
nihilisme, berasal dan bahasa Yunani yang berarti nothing atau tidak ada.
Istilah nihilisme dikenal oleh Ivan Turgeniev, novelis asal Rusia, doktrin
tentang nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, terbukti dalam
pandangan Grogias (48 3-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas:
(a) Tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. (b)
Bila sesuatu itu ada, maka hal itu tidak dapat diketahui karena disebabkan oleh
pengindraan itu tidak dapat dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi. (c)
Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, hal itu tidak akan dapat kita
beritahukan kepada orang lain.
Keempat,
agnotisisme, paham mi mengingkani kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat
benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani, kata agnotisisme berasal dan
bahasa Yunani. Ignotos berarti unknow, artinya not, Gno artinya Know. Timbulnya
aliran mi dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan
secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.
Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu
(Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)
No comments:
Post a Comment