Thursday, September 4, 2014

ASPEK ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN (Bab 8)

Bab 8
ASPEK ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN

A. ORIENTASI KE ARAH ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN
Socrates menggambarkan akal merupakan segalanya, dan merupakan pokok serta satu-satunya jalan yang dapat menuntun manusia mencari kebenaran. Ia berfilsafat untuk hidup, karena dengan berpikir maka eksistensinya sebagai manusia dapat dipertahankan. Filsafat jika ditinjau lebih mendalam lagi bukan sekadar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafat merupakan pondasi awal dan segala macam disiplin keilmuan yang ada. Adapun ilmu merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dan waktu ke waktu. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu, seperti agama, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi.
Ilmu yaitu suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah, empiris, dan logis. Theo Marc dalam Atang Munaja (1988) menyatakan, ilmu adalah segala sesuatu yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta dapat dipertanggung jawabkan dengan bukti yang konkret. Dan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam bentuk yang baku haruslah mempunyai paradigma (positivistic paradigm) serta metode yang jelas (scientific method) yang juga dikorelasikan dengan bukti yang empiris yang mampu diterapkan secara gamblang (transparan).
Filsafat ilmu yaitu bagian dan filsafat pengetahuan atau serjng juga disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni episcmc yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier pada 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni epistemologi dan ontologi (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontologi (teori tentang apa). Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu yaitu dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah yaitu yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedernikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan
secara prosedural, metodologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikfan teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan Adapun pengetahuan tak ilmiah yaitu yang masih tergolong pra-ilmiah.
Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan indriawi yang Secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh Nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Adapun pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu.
Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis disebut sebagai pengetahuan “naluriah”. Ahrnad Tafsir (2006) mengemukakan perbandingan ilmu pengetahuan manusia ini sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:


PENGETAHUAN MANUSIA








Selanjutnya menurut Sirajuddin Zar pengetahuan terdiri dua hal, yaitu: Pertamci, pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan ini diperoleh manusia lewat wahyu Allah SWT. Manusia menerima kebenaran wahyu lewat keimanan dalam hatinya. Kedua, pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan indra, yaitu pengetahuan yang peroleh berdasarkan pengalaman sehari-hari, seperti air yang mengalir ke tempat yang rendah, gaya gravitasi Bumi, dan lain sebagainya. Lebih jauh Zar mengatakan, secara terminologi pengetahuan memiliki beberapa definisi Pertama, pengetahuan yaitu apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu ini merupakan hasil dari kenal, sadar, dan mengerti. Pengetahuan itu yaitu semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian, pengetahuan merupakan hasil proses dan usaha manusia untuk tahu. Kedua, pengetahuan yaitu proses kehidu pan yang diketahui manusia secara langsung dan kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif, sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Ketiga, pengetahuan yaitu segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu, seni, dan agama. Pengetahuan ini merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak langsung memperkaya kehidupan kita.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indra maupun lewat akal, dapat juga objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan. Pengetahuan yaitu keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan yaitu informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat, cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji, karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cenderung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.
Amsal Bakhtiar (2009) mengatakan, ilmu memiliki ciri khusus yang membedakan dengan bidang non-ilmu, ciri ilmu utamanya antara lain: Pertama, ilmu yaitu sebagian pengetabuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan Serta pengalaman pribadi. Kedna, berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis Karena itu koherensi sisternatik yaitu hakikat ilmu. Prinsip objek dan hubungannya yang tercermin dalam kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip prinsip metafisis objek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi rohani terhadap realitas tetapi oleh berpikir. Ketiga, ilmu tidak rnernerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu termuat di dalam dirinya sendiri hipotesis dan teori yang belurn sepenuhnya diman. tapkan. Keein pat, ciri hakiki lainnya dan ilmu yaitu metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dan banyak pengamatan ide yang terpisabpisah. Sebaliknya, ilmu rnenuntut pengamatan dan berpikir metodis, tentata rapi. Alat bantu metodologis yang penting yaitu terminologi ilmiah; yang disebut belakangan ml mencoba konsep ilmu. Ciri-ciri ilmu demikjan yang akan menandai tingkat keilmiahan suatu bidang. Ilrnu pengetahuan itu jelas ada tanda-tanda keilmiahan,
Selanjutnya Amsal mengatakan, ilmu sebagai pengetahuan ilmiah berbeda dengan pengetahuan biasa, dia memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
Pertaina, siternatis; para filsuf dan ilmuwan sepaham bahwa ilmu merupakan pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Ciri sisternatis ilrnu rnenunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai keterangan, dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu rnernpunyai hubungan saling ketergantungan yang teratur (pertalian tertib). Pertalian tertib dirnaksud disebabkan, adanya suatu asas tata tertib tertentu di antara bagian yang merupakan pokok soalnya.
Kedua, empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengamatan serta percobaan secara terstruktur di dalam bentuk pengalarnan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu mengamati, menganalisis, menalar, rnembuktikan, dan menyimpulkan hal-hal ernpiris yang bersifat faktawi (faktual), baik berupa gejala maupun kebatinan, gejala-gejala alani, gejala kejiwaan, gejala kemasyarakatan, dan sebagainya. Sernua hal fakta dimaksud dihimpun serta dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan persediaan bagi ilmu. Ilmu dalam hal ini bukan sekadar fakta, melainkan fakta yang diamati dalam suatu aktivitas ilmiah melalui pengalaman. Fakta bukan pula data, berbeda dengan fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi indriawi.
Ketiga, objektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengetahuan yang bebas dan prasangka perorangan (personal bias), dan perasaan subjektif berupa kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung pernyataan serta data yang menggambarkan secara terus terang atau mencerminkan secara tepat gejala yang ditelaahnya. Objek tivitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan pengetahuan itu haruslah sesuai dengan objeknya (baik objek material maupun objek formalnya), tanpa diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subjektif dari penelaanya
Keempat, analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan membedakan pokok soalnya ke dalarn bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian bagian itu. Upaya pemilahan atau penguraian suatu kebulatan pokok soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu bidang keilmuan senantiasa tersekat-sekat dalam cabang yang lebih sempit sasarannya. Melalui itu, masing-masing cabang ilmu itu membentuk aliran pemikiran keilmuan baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus dikembangkan secara khusus menuju spesialisasi ilmu.
Kelima, verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran yang terbuka untuk diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan disampaikan kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi) dimaksudlah yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar dapat diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau diverifikasi dari berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui benar. Gin verifikasi ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleb manusia untuk menemukan suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran ilmiah. Kebenaran ini dapat berupa asas-asas atau kaidah yang berlaku umum atau universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan.
Melalui itu, manusia berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa mendatang dan menerangkan atau menguasai alam sekelilingnya. Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit mengerti dan meramalkan, serta menguasai gejala atau peristiwa alam, seperti hujan, banjir dan gunung meletus. Orang, karena itu, lari kepada takhayul atau mitos yang gaib. Namun demikian, setelah adanya ilmu, seperti vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa itu serta meramalkan hal-hal yang akan terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat menguasainya untuk kemanfaatan diri atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itulah, orang cenderung mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan Yang teratur dan telah disahkan secara baik, yang dirumuskan untuk maksud menemukan kebenaran umum, serta tujuan penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran ilmu demi kepentingan pribadi atau masyarakat dan alam lingkungan
Selain kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan lainnya, misalnya ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu dalam hal ini sukar, namun, juga sangat, muda dalam arti, senantiasa merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide- ide baru. Ilmu berciri faktual, dalam arti ilmu tidak memberikan penilaian baik atau buruk terhadap apa yang ditelaahnya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi si pengguna. Pandangan terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolak, karena menurut mereka ilmu sebagai suatu hasil budaya manusia selalu bertautan atau berhubungan dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai dan selalu harus bertanggung jawab atasnya.
Dilihat dari sudut pertanggungjawabannya, ilmu pengetahuan ilmiah dapat dilihat dari tiga sistem, yaitu: Pertama, sistem aksiomatis, artinya sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu-ilmu formal, misalnya matematika. Kedua, sistem empiris, sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi, bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu statistik. Urnumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu pengetahuan alam dan sosial. Ketiga, sistem semantik atau linguistik, dalam sistem kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu bahasa . (linguistik)
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) melainkan merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah. Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, melainkan merupakan teori, prinsip atau dalil yang berguna bagi perkembangan teori, prinsip atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan merupakan rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut. Pengertian percobaan di sini yaitu pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Definisi tersebut memberi tekanan pada makna dan manfaat ilmu pengetahuan. Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru akan diukur hasilnya, yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, tetapi sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang ber
kesinambungan.
Dilihat dari sudut sejarah perkembangannya, ilmu pengetahuan di zaman dahulu bermula dari tingkat berpikir yang lazim disebut tahap mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuan yang berlaku juga untuk objeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua objek tampil
dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segalanya. Fenomena ini sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan.
Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang pejabat pernikahan. ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya yaitu tahap ontologis, Yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dan objek di sekitarnya, dan dapat menelaah nya.Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis objek metafisika pasti tidak akan mengakui status ilmiah dan ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah objek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah Yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif yaitu menarik kesimpulan khusus dan yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian
kebenaran. Dengan kata lain kesimpulan itu praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan itu sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dan dukungan data empins melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dan yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukkan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, tetapi lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu itu secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspek aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu napas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman indriawi.
Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diveriflkasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan kata lain, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. kedua, dari segi epistemologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode, dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Ketiga dan segi aksiologi, sebagaimana telah disinggung di atas, terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Jujun S. Suriasumantri (1983), memberikan gambaran ketiga aspek ini seperti tergambar dalam
tabel di halaman 174.

B. HAKIKATONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN

Ontologi yaitu cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir (2011) menjelaskan bahwa ontologi itu ilmu yang membicarakan tentang the being; yang dibahas ontologi yaitu hakikat realitas. Dalam penelitian kuantitatif, realitas tampil dalam bentuk jumlah. Adapun dalam penelitian kualitatif, ontologi  muncul dalam bentuk aliran, misalnya idealisme, rasionalisme, materialisme. Keterkaitan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif memang tidak perlu diragukan. Jadi, ontologi itu yaitu ilmu yang membahas seluk beluk ilmu.
Secara etimologi ilmu dalam bahasa Inggris berarti science. Pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan, bahwa deflnisi pengetahuan yaitu kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief,). Ontologi itu ilmu yang menelusuri tentang hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu penge

TAHAPAN DAN ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI DALAM ILMU PENGETAHLJAN

Tahapan
Aspek
Ontologi (Hakikat
 Ilmu)
-      Objek apa yang telah ditelaah ilmu?
-      Bagaimana wujud yang hakiki dan objek tersebut?
-      Bagaimana hubungan antara objek tadi dan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
-      Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?
-      Bagaimana prosedurnya?
Epistemologi
(Cara Mendapatkan
Pengetahuan)
-      Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?
-      Bagaimana prosedurnya?
-      Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?
-      Apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri?
-      Apa kriterianya?
-      Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Aksiologi
(Guna Pengetahuan)
-      Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
-      Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah moral?
-      Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
-      Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma- norma moral/profesional?

tahuan adalah keberadaan suatu fenomena kehidupan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan keflisafatan yang paling kuno. Awal pemikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dan segala yang ada. Pertama kali orang dihadapkan pada persoalan materi (kebenaran), dan kedua pada kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Kedua realitas mi, yaitu lahir dan batin, merupakan hakikat keilmuan manusia. Manusia memiliki dua sumber ilmu, yaitu (1) ilmu lahir yang kasatmata dan bersifat observable, tangible; dan (2) ilmu batin, metafisik yang tidak kasatmata.
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat yaitu realitas, artinya kenyataan yang sebenarnya. Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab pertanyaan “apa itu ada,” yang menurut Aristoteles merupakan the first philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda-benda (sesuatu). Sebenarnya bukan sekadar benda yang penting, melainkan fenomena di jagat raya ini, apa dan mengapa ada. Di alam Seimesta ini, kalau direnungkan banyak hal yang menimbulkan tanda tanya besar.
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, pengertian ontologi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontos = being atau ada, dan logos ilmu. Jadi, ontologi adalah the theory of being quq being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Atau bisa juga disebut sebagai ilmu tentang yang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya, satu pemikiran fisafat selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu yang bersifat
ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia. Tegasnya, bila suatu pemikiran tidak merniliki keberadaan (landasan ontologi) atau tidak mungkin pula untuk diadakan, maka pikiran itu hanya berupa khayalan, dorongan perasaan subjektif, atau kesesatan berpikir yang dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat ada atau realitas ada itu, bagi filsafat, selalu bersifat utuh (eksistensial). Misalnya, bila secara ilmu hukum kita berpikir tentang kebenaran atau keadilan, maka dapat ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa diadakan dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak (disangkal) kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan atau jiwa maka sekurang-kurangnya harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa Tuhan atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu hanya berupa suatu ide kosong atau khayalan yang mudah ditolak kebenarannya. Realitas ontologis itulah yang menjadi dasar pemikiran hukum, teologi, atau psikologi, sehingga pemikiran hukum, teologi, atau psikologi ini bias buktikan dan didukung (diafirmasi) atau difalsiflkasikan (ditolak), atau disingkirkan (dinegasi). Realitas ada yang menjadi objek pemikiran dan pembuktian suatu pemikiran flisafat selalu dipahami sebagai suatu kenyataan yang utuh, sempurna, dan dinamis, baik dari sisi materi maupun rohani, atas-bawah, hitarn-putih, dan sebagamnya. Ontologi terbagi atas dua, yaitu ontologi umurn yang disebut metafisika, dan ontologi khusus
seperti kosmologi, theodice, dan sebagainya.
Heidegger (1981) mengatakan, istilah ontologi pertama kali diperke nalkan oleh Rudolf Goclenius pada 1936 M, untuk menamai hakikat yang ada bersifat metafisis. Dalarn perkernbangannya, Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus. Metaflsika umum yaitu istilah lain dan ontologi. Dengan demikian, metafisika atau ontologi yaitu cabang filsafat yang membahas tentar prinsip yang paling dasar atau paling dalam dan segala sesuatu yang adal Adapun metaflsika khusus masih terbagi menjacli Kosmologi, Psikologj dan Teologi. Ontologi cenderung dekat dengan metafisika, yaitu ilmu tentang keberadaan di balik yang ada,
Dua pengertian ini merambah ke duniahakikat suatu ilmu. Ontologi membahas masalah ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal mulanya Ilmu itu ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Dengan berpikir ontologi, manusia akan memahami tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger eksistensi membicarakan masalah ada, misalnya cara manusia ada. Manusia ada ketika dia sadar diri, pada saat memahami tentang “aku”. Ada semacam ini menjadi wilayah garapan ontologi keilmuan.
Objek yang menjadi kajian dalam ontologi ini yaitu realitas yang ada. Ontologi yaitu studi tentang yang ada secara universal, dengan mencari pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya. Jadi, ontologi merupakan studi yang terdalam dan setiap hakikat kenyataan, misalnya; (a) dapatkah manusia sungguh-sungguh memilih sesuatu; (b) apakah ada Tuhan di dunia mi; (c) apakah nyata dalam hakikat material ataukah spiritual; (d) apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan; (e) apakah hidup dan mati itu dan sebagainya.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan usaha manusia dan proses berpikir kritis, Akal budi manusia yang melahirkan ilmu pengetahuan. Dalam fenomena hidup yang sangat sederhana pun akan terkait dengan ilmu pengetahuan. Orang yang gemar memelihara belut pun butuh ilmu pengetahuan. Orang yang gemar memelihara ular pun begitu. Tidak ada satu pun fenomena yang lepas dan ilmu pengetahuan. Maka, di jagat perguruan tinggi sudah lahir sekian banyak cabang ilmu pengetahuan yang mungkin kita tidak begitu mengenal. Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan yaitu pemikiran yang sungguh-sungguh, suatu cara berpikir yang penuh kedisiplinan. Seorang pemikir ilmuwan tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun semuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir keilmuan secara fliosofis, yaitu: (a) berpikir sungguh-sungguh; (b) disiplin; (c) metodis; dan (d) terarah kepada pengetahuan. Berpikir keilmuan, secara fllosofis, karenanya hendak mengatasi kekeliruan dan kesesatan pikir serta mempertahankan pemikiran yang benar terhadap kekuatan fantasi dan omong kosong.


C. CARA BERPIKIR ONTOLOGIS DALAM ILMU PENGETAHUAN

Menurut Muhadjir (2011), cara berpikir ontologis dapat berbenturan dengan suatu agama. Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman atau keyakinan. Filsafat ilmu ontologi tidak mengajak berdebat antara ilmu dan iman. Ontologi hendak meletakkan dasar keilmuan. Dalam filsafat ilmu Jawa, misalnya ada pemikiran ontologi: benarkah Tuhan itu tidak tidur. Jawaban atas realitas abstrak ini perlu dijawab secara ontologisme melalui perenungan ilmiah. Masalahnya ketika orang memberiarkan hasil renungannya tentang Tuhan dan tidur, berarti Tuhan itu mengenal lelah dan kantuk. Jika hal mi benar, berarti Tuhan itu apa bedanya dengan manusia. Jika manusia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan, muncul lagi pertanyaan bagaimana wujud yang hakiki dan Tuhan? Bagaimana hubungan antara Tuhan dan daya tangkap manusia seperti berpikir, merasa, dan mengindra yang membuahkan pengetahuan? Lebih lanjut, apa sebenarnya yang disebut dengan dengan ilmu pengetahuan, apa saja jenis-jenis ilmu pengetahuan? Dan mana sumbernya? Banyak prtanyaan yang menggelitik tentang hakikat kesemestaan. Semakin kritis seseorang berpikir tentang ada, maka dunia mi seolaholah semakin rumit dan semakin menarik dikaji.
Hal-hal tersebut semakin memperjelas ontologi sebagai cabang filsafat ilmu yang mencoba mencermati hakikat keilmuan. Membahas ilmu dan dasar keilmuan itu ada, bentuk ilmu, wajah ilmu, serta perbandingan satu ilmu dengan yang lain akan menuntun manusia berpikir ontologis. Ontologi menjadi pijakan manusia berpikir kritis tentang keadaan alam semesta yang sesungguhnya. Itulah esensi dan peta jagat raya yang misterius penuh dengan teka-teki. Ilmu itu telah tertata sistematis dengan pengalaman metodologi yang rapi. Sebelum menjadi ilmu, sebenarnya masih berupa pengetahuan. Pengetahuan yaitu keseluruhan yang diketahui yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Pengetahuan yaitu informasi yang berupa common sense masih terserak dan umum. Pengetahuan itu juga pengalaman manusia, pengalaman yang mantap akan menjadi ilmu pengetahuan. Ilmu seperti lidi yang sudah diraut dan telah menjadi sekumpulan sapu lidi, sedang pengetahuan sepertilidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat lain yang belum tersusun dengan baik. Dengan ontologi, orang akan mampu membedakan mana ilmu dan mana pengetahuan, mana ilmu pe-. ngetahuan dan mana non ilmu.
Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan menjadi lebih jelas bila dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain. Filsafat dalam hal ini lebih merupakan suatu pemikiran yang universal, menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainnya lebih merupakan pemikiran yang lebih spesifik atau khusus, karena dibatasi pada objek dan sudut pandang pemikirannya yang khas. Objek penelitian flisafat mencakup segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menyimak dan menyingkap seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dan segala sesuatu. Filsafat, karenanya ingin mengkritisi dan menembusi berbagai sekat pemikiran ilmu lainnya, serta berusaha mencapai sebab terakhir dan mutlak (absolut) dan segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama yaitu kegiatan manusia, dalam hal ini secara khusus kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang merupakan kegiatan pertama yang secara langsung dialami oleh manusia. Manusia, di dalarn kegiatannya yang pertama dimaksud, menjadi sadar akan eksisteflsiflya sendiri dan eksistensi orang atau hal lainnya. Filsafat, karena itu, berusaha mendalami, rnenyingkap, dan menjelaskan kesadaran eksistensi din manusia dan sesama yang lain, secara luas dan mendalam sampai ke akar-akar realitasnya yang fundamental. Proses penelitian filsafat itu mulai dan bentuk pengetahuan biasa yang dimiliki individu dalam kehidupan sehari-harinya, warisan budaya masa lalu, dan juga hasil penelitian dan pemikiran ilmu Iainnya yang bersifat khusus. Jenis pengetahuan khusus mi sungguh membantu filsafat, tetapi juga membantu bentuk-bentuk pengetahuan khusus dan ilmu lain itu untuk makin memantapkan dan menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan karenanya, filsafat lebih merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan “kebijaksanaan Ilahi” yang sempurna dan mutlak abadi. Maka itu filsafat berbeda dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat Allah dan kegiatannya di dalam dunia berdasarkan wahyu adikodrati. Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia tetap bukan ciptaan rasio semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan bagian integral dan keutuhan eksistensi manusia yang terkait dengan aspek-aspek lainnya dan tatanan eksistensi manusia itu sendiri yang bersifat “monopluralis” (satu di dalam banyak dan banyak di dalam satu). Filsafat tidak hanya berupaya memuaskan pencarian manusia akan kebenaran, tetapi ia juga berusaha
menerangi dan menuntun arah atau orientasi kehidupan manusia secara kritis dan jelas, bukan dengan spekulasi yang absurd, hambar, dan penuh khayalan yang sia-sia.
Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoisme keilmuan, atau pardangan kepribadian yang bersifat ihdividual semata. Justru filsafat berusaha menguji, mengkritisi, dan berusaha mengajukan pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan tuntutan dinamika perkembangan yang dihadapi. Filsafat, karena itu, tidak akan pernah menjadikan dirinya sebagai kebenaran ideologis yang serba sempurna dan serba oke, yang membelenggu manusia. Justru filsafat tetap yaitu suatu program pencerahan dalam rangka otonomi, emansipasi, dan perkembangan manusia. Immanuel Kant, dalam Kunto Wibisono (1997) mengatakan, untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan yang lainnya memang tidaklah mudah. Khazanah kehidupan manusia yang begitu luas memang memungkinkan menguasai berbagai pengetahuan. Seseorang dapat memiliki berbagai pengetahuan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Setiap pengetahuan tentu memiliki ciri khasnya, hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada Seperti ilmu pengetahuan, seni, dan agama, serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing sehingga memperkaya kehidupan kita. Orang dapat mengenal hakikat bahasa, sastra, dan budaya menurut katagori tertentu. Tanpa mengenal katagori dan ciri khas setiap pengetahuan dengan benar, maka kita tidak dapat menggunakannya secara maksimal bahkan dapat menjerumuskan kita. Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu
dan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal itu.
Selanjutnya dikatakan Kant dalam Kunto, bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Francis Bacon menyebut filsafat Sebagai ibu agung dan ilmu (the great mother of the sciences). Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge,” maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: ilmu (pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffl (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mecari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaima ditunjukkan oleh ilmu.
pngetahuan (knowledge) yaitu sesuatu yang diketahui langsung dan pengalaman, berdasarkan pancaindra dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pengetahuan masih pada tataran indriawi dan spontanitas belum ditata melalui metode yang jelas. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek. Namun kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih belum tertata dengan rapi, belum teruji secara metodologis. Orang melihat kebakaran, itu pengetahuan orang melihat tsunami lan ke tempat yang tinggi, itu pengetahuan. Pengetahuafl masih sering bercampur dengan insting.
Ilmu (sains) berasal dan bahasa Latin, scientia, yang berarti knowledge. Ilinu dipahami sebagai proses penyelidikan yang memiliki disipun tertentu. Ilmu bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala alam. Meramalkan tidak lain suatu proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsmran. Ilmu sebenarnya juga suatu pengetahuan, namun telah melalui proSeS penataan yang sistematis. Ilmu telah memiliki metodologi yang andal. Ilmu dan pengetahuan sering kali dikaitkan sehingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan pengetahuan selalu terjadi di ranah penelitian apa PUfl. HI-flu tanpa pengetahuan tentu sulit terjadi. pengetahuan yang disertai ilmu jelas akan lebih berarti.
Ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang telah diolah kembali dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten, dan koheren. Metodis, berarti dalam proses menemukan dan mengolah pengetahuan menggunakan metode tertentu tidak serampangan. Sistematis, berarti dalam usaha menemukan kebenaran dan menjabarkan pengetahuan yang diperoleh rnenggunalcan langkah-langkah tertentu yang terarah dan teratur sehingga menjadi suatu keseluruhan yang terpadu. Selain tertata, tersistem, dan terpadu pengetahuan perlu disintesiskan secara koheren. IKoheren, berarti setiap bagian dan jabaran ilmu pengetahuan itu merupakan rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian. Konsistensi (conistence) merupakan ciri dari ilmu pengetahuan yang disebut ilmiah. Iimiah yaitu kadar berpikir, berakal budi yang disertai penataan.
Wilayah ontologi yaitu ruang penataan eksistensi keilmuan. dan ciri-ciri ilmu pengetahuan seperti inilah yang membedakan dengan pengetahuan biasa. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan itu harUs dipilah (menjadi suatu bidang tertentu dan kenyataan) dan disusun secara metodis, sistematis, dan konsisten. Melalui metode ilmiah suatu pengalaman bisa diungkapkan kembali secara jelas, perinci, dan akurat. Penataan pengetahuan secara metodis dan sistematis membutuhkan proses.
Thales, Plato, dan Aristoteles ialah tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dan meletakkan dasar ilmu pengetahuan. Sebagaimana pengetahuan, hakikat maupun sejarah perkembangan ilmu ito sendiri merupakan suatu problem di dalam filsafat. Pada zaman Yuflani Kuno, ilmu dipandang sebagai bagian dan filsafat; pada saat lain, terpisah dan filsafat. Ilmu dahulu dipandang sebagai disiplin tunggal (bersifat monistik), dan sekarang dipandang sebagai seperangkat disipun yang dinamis dan terlepas-lepas berdasarkan spesialisasi ilmu atau keahlian. Dahulu ilmu dipandang sebagai hal yang berurusan dengan kenyataan (fakta) fisik, sekarang ilmu dianggap bergumul dengan fenomena (gejala fisik dan nonfisik). Karenanya, ilmu kemudian dikategorikan ke dalam tipe deduktif dan induktif.
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat (yang dipahami sebagai ilmu). Filsafat dan ilmu bersifat saling menjalin dan orang tidak memisahkan keduanya sebagai hal yang berbeda. Filsafat dan ilmu berusaha mene liti dan mencari unsur-unsur dasariah alam semesta. Usaha ini sekarang disebut usaha keilmuan (usaha ilmiah).
Thales (640-546 SM) merupakan pemikir pertama, yang dalam sejarah filsafat disebut the Father of Philosophy (Bapak Filsafat). Banyak sarjana kemudian mengakui Thales sebagai ilmuwan yang pertama di dunia. Bangsa Yunani rnenggolongkan Thales sebagai salah seorang dan seven wise men of greece (tujuh orang arif Yunani). Thales mengembangkan filsafat alam (kosmologi) yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Thales, dalam penyelidikan keilmuannya, menyimpulkan bahwa penyebab utama (causa prima) dan semua alam itu adalah “air” sebagai materi dasar dan kosmis. Sebagai ilmuwan, Thales mengembangkan fisika, astronomi, dan matematika, dengan antara lain mengemukakan beberapa pendapat keilmuannya: bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya matahari, menghitung terjadinya gerhana matahari, dan membuktikan dalil-dalil geometri. Prestasi Thales dalam sejarah keilmuan, ditunjukkannya dalam hal pembuktian dalilnya bahwu kedua sudut alas dari satu segitiga sama kaki, sama besarnya. Thales, melalui itu, menunjukkan bahwa ia ialah ahli matematika dunia yang pertama dan Yunani. Para ahli dewasa mi, justru itu, menyebut Thales sebagai ‘ the Father of Deductive Reasoning’ (Bapak Penalaran Deduktif). Pythagoras (572-497 SM) ialah ilmuwan Yunani Kuno yang muncul sebagai ilmuwan matematika.Ia mengajarkan bahwa bilangan merupakan intisari dan semua benda serta dasar pokok dari sifat-sifat benda.
Dalil Pythagoras tersebut “number rules the universe” (bilangan memerintahkan jagat raya ini). ia berpendapat bahwa matematika merupakan salah satu sarana atau alat bagi pemahaman filsafat. Plato (428-348 SM) ialah filsafat besar Yunani dan ilmuwan spekulatif, yang menegaskan bahwa filsafat atau ilmu merupakan pencarian yang bersifat perekaan (spekulatif) tentang seluruh kebenaran. Plato, dalam hal mi memandang ilmu sebagai hal yang berhubungan dengan opini atau ajaran (doxa). Ia mengajarkan bahwa geometri merupakan ilmu rasional berdasarkan akal murni, yang berusaha membuktikan pernyataan (proposisi) abstrak mengenai ide yang abstrak, misalnya segitiga sempurna, lingkaran sempurna, dan sebagainya.
Aristoteles (382-322 SM) lebih memahami ilmu sebagai pengetahuan demonstratif, tentang sebab-sebab utama segala hal (causa prima). Ilmu dalam hal mi bersifat teoretis (ilmu tertinggi), praktis (ilmu terapan), dan produktif (ilmu yang bermanfaat), semuanya dalam kesatuan utuh (tidak bersifat ilmu majemuk). Aristoteles mempelajari berbagai ilmu, antara lain biologi, psikologi, dan politik. Ta juga mengembangkan ilmu tentang penalaran (logika), yang dalam hal mi disebutnya dengan nama analitika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pada premis yang benar; dan dialektika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pikir pada hal-hal yang bersifat tidak pasti (hipotesis). Semua tulisan Aristoteles tentang ilmu tentang penalaran (logika) itu ditulis dalam enam naskah yang masingmasingnya berjudul Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, Sophistical Refitations. Jelasnya, perkembangan sejarah ilmu pada abad Yunani Kuno telah berkembang dalam empat bidang keilmuan, yaitu filsafat (kosmologi), ilmu biologi, matematika, dan logika, dengan ciri perkembangannya masing-masing. Selama abad pertengahan, ilmu atau scientia dipahami sebagai jenis pengetahuan yang dipunyai Allah tentang manusia. Ilmu, karenanya, dilihat semata-mata dalam perspektif ilmu teologi, artinya ilmu memiliki kedudukan dan peranan sebagai pelayanteologi. Triviwn, yaitu gramatika, retorika, dan dialektika; dan quardriviwn, yaitu aritmatika, geomerti, astronomi, dan musik, di pihak lain memuat sejumlah studi yang dianggap sebagai ilmu dalam arti yang kurang ketat. Averroes menganggap being (yang ada) sebagai istilah yang seragam sama persis (univok) untuk memandang ilmu sebagai pengetahuan abadi yang berurusan dengan ke apaan semua hal.
Ilmu mengalami perkembangan revolusioner pada abad modern. Muncul para tokoh pembaru seperti Galileo Galilei, Francis Bacon, Roger Bacon, René Descartes, dan Ishak Newton yang memperkenalkan matematika dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Ilmu akhirnya berkembang dengan sifatnya yang eksperimental, bercabang-cabang, dan partikular (saling terpisah), serta otonom. Bahkan, sejarah keilmuan abad modern telah menampilkan spesialisasi sebagai ciri keilmuan modern itu sendiri. Roger Bacon, sejak awal zaman modern telah mengembangkan dasar-dasar keilmuannya yang bersifat ilmu eksperimental. Roger Bacon, dalam hal ini berusaha mengembangkan ilmu dengan melibatkan kegiatan pengamatan (observasi), prosedur metodik (induktif), maupun matematika yang dianggap lebih tinggi dan ilmu-ilmu spekulatif (misalnya teologi), yang dikembangkan sebelumnya pada Abad Pertengahan. Paham keilmuan mi kemudian lebih diperkuat lagi oleh Francis Bacon, yang menandaskan peranan metode induktif di dalam ilmu. Francis Bacon menunjukkan bahwa metode induktif merupakan jalan satu-satunya menunju kebenaran ilmu, serta menunjukkan kegunaan ilmu itu sendiri. Menurut Francis Bacon, ilmu bersifat majemuk karena mencermin yang kan aneka fakultas (kemampuan) manusiawi. Misalnya, ilmu alam berawal dan kemampuan akal, sementara sejarah berasal dari kemampuan ingatan. Thomas Hobbes, di kemudian han, membagi ilmu ke dalam dua tipe, yaitu ilmu yang berasal dan fakta seperti nyata dalam ilmu empiris eksperimental, dan ilmu yang berasal dan akal seperti nyata dalam ilmu spekulatif. Galileo Galilei menjalankan sepenuhnya metode yang digariskan oleh Roger Bacon. Menurut Galileo (ilmuwan besar dunia dan Itali) ilmu berkembang dan filsafat alam yang lebih dikenal sebagai ilmu alam, melalui pengukuran kecepatan cahaya sampai penimbangan obor udara Sebagai ilmuwan matematika, ia mengajarkan suatu ucapannya yang sangat terkenal, yaitu “Filsafat ditulis dalam sebuah buku besar, tetapi buku itu tidak dapat dibaca dan dimengerti bila orang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan membaca huruf-huruf yang dipa-kai untuk menyusunnya, yaitu matematika.”
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya di tangan Ishak Newton. Menurut Newton, inti keilmuan yaitu pada pencarian pola data matematis, dan karena itu ia berusaha membongkar rahasia alam dengan menggunakan matematika. Ilmuwan dunia dan Inggris mi berhasil merumuskan suatu teori tentang “gaya berat” dan “kaidah mekanika” yang semuanya tertulis melalui karyanya yang berjudul Philosophiae Natural is Principia Mathematica (Asas-ascis Mateinatika dan Filsafat Alain), diterbitkan pada 1687. Perkembangan pada kemudian han, ternyata Plillosophia Naturalis memisahkan din dan filsafat dan para ahli menyebutnya dengan nama fisika. Jelasnya, pandangan keilmuan abad modern yang berciri empiris-eksperimental dengan pendekatan induktifnya yang ketat, telah dikembangkan secara lebih progresif oleh Ishak Newton dalam suatu perspektif keilmuan yang berciri positivistik. René Descartes, menunjukkan suatu kecenderungan lain di dalam paham keilmuannya. Kenyataan mi makin menunjukkan ciri perkembangan keilmuan modern yang bersifat majemuk dan partikular (terpisah-pisah). Menurut Descartes, ilmu tidak memiliki basis lain kecuali akal budi. Metode akal budi dapat diterapkan dalam problem apa pun. Ilmu memiliki keterkaitan batiniah dengan kepastian dan sungguh-sungguh disejajarkan dengan paham Abad Pertengahan tentang premis-premis ketuhanan dalam ilmu.
Dunia keilmuan modern mengalarni perkembangan dengan munculnya cabang-cabang keilmuan modern. Perkembangan mana terjadi karena berkat penerapan metode empiris yang makin cermat serta pemakaian alat-alat keilmuan yang lebih lengkap. Bahkan, perkembangan mi disebabkan pula oleh adanya arus komunikasi antar-ilmuawan yang senantiasa meningkat. Hal mana lebih menonjol pada 1700-an. Setelah memasuki usia dewasa, cabang-cabang ilmu mi memisahkan din dan flusafat, sebagaimana yang terjadi dengan fisika. Pemisahan mi pertamatama dilakukan oleh biologi, pada awal abad XIX, dan kernudian psikologi, yang kemudian disusul lagi oleh sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi, dan politik. Ciri perkembangan dunia keilmuan modern mi ditentukan oleh tokoh-tokoh berikut.
Auguste Comte, di sisi lain, makin memantapkan iklim pertentangan (konflik dan kontroversi) di dalam alam keilmuan modern. Comte mengonstatasi adanya kecenderungan keilmuan yang makin mengarah dan spektrum keabstrakan, misalnya matématika yang kian berkembang men1nju tahap positif dalam ilmu kemasyarakatan yang utuh dan sempuma (sosiologi). Tahapan perkembangan ilmu dimaksud sesuai urutan pemunculannya di dunia. “Positivisme” dalam keilmuan terletak pada pernyataan bahwa penjelasan ilmiah (eksplanasi) merupakan unsur dominan dalam setiap bidang pengalaman manusia. Tahapan perkembangan ilmu mi disebut hukum perkembangan.
Hukum tiga tahap tersebut mengingatkan pada pandangan Hegel dan Marx dengan ajaran dialektikanya yang memandang perkembangan sebagai suatu gerak linier dan “tertutup.” Artinya, mereka melihat proses perkembangan pemikiran atau pengetahuan dan ilmu dalam tahap yang saling terpisahkan dan tidak secara utuh (holistik) serta menyeluruh (komprehensif). Perkembangan ilmu pun cenderung dilepaskan secara total dan keseluruhan realitas kemanusiaan yang merupakan sumber utama pengetahuan dan ilmu itu sendiri. Perkembangan pengetahuan dan ilmu hanya berusaha untuk memenggal dan mengambil sebagian saja dan realitas itu, yaitu realitas fisik materialnya untuk menjadi objek atau dasar ontologis dalam mengembangkan ilmunya.Ontologi materialistik ini telah melahirkan pandangan keilmuan yang pincang tentang realitas serta menciptakan orientasi kehidupan yang sangat materialistik dalam kehidupan manusia modern.
Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara pengetahuan yang memuat penampakan dan kenyataan. Kedua hal mi dalam pandangan Thales sebagai filsuf pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula Se- gala sesuatu. Dia tampaknya melihat realitas dan sisi yang tampak; yang tampak itulah realitas (kenyataan). Secara saksama, dia sebenarnya telah berpikir ontologi tentang sangkaan peran alam semesta. Kita jarang menyadari bahwa dalam tubuh kita berasal dan air. Namun yang lebih penting, pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dan satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Ada ketergantungan dalam suatu ilmu pengetahuan me.mang sulit dielakkan. Ilmu pengetahuan apa pun, secara ontologismn tentu berkait dengan sumber yang lain. Maka kemandirian dalam ilmu atau otonomi ilmu pengetahuan itu hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakikat dan ilmu pengetahuan itu, bahkan hingga implikasinya ke bidang kajian lain seperti ilmu kealaman. Dengan demikian, setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam ka-
wasan filsafat.
Menurut Kunto Wibisono (1984), filsafat dan suatu segi dapat dideflnisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakikat dan sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono mengemukakan bahwa hakikat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologis, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal mula, sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis, dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi, yaitu nilai-nilai, ukuran mana yang akan digunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakikat ilmu itu, menurut Poespoprodjo dalam Koento, dapatlah dipahami bahwa perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar-ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu, dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dan itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa, sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dan kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.


D. KARAKTERISTIK ILMU PENGETAHUAN SECARA ONTOLOGIS

Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas. Orang yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelusuri realitas secara cermat. Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati dan sisi ontologi dengan dua macam sudut pandang kuantitatif dan kualitatif. Secara sederhana, ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Realitas itu yang menarik perhatian para ilmuwan. Tanpa realitas kitasulit menyebut apa yang ada di dunia dan hakikat yang ada di dalamnya.
Ontologi sebagai cabang filsafat ilmu telah melahirkan sekian banyak aliran ontologisme. Tiap aliran ontologi biasanya memegang pokok pikiran yang satu sama lain saling mendukung dam melengkapi. Beberapa aliran dalam bidang ontologi yakni realisme, naturalisme, dan empirisme. Aliran ini yang membangun pemikiran para ahli filsafat ilmu untuk memahami esensi suatu ilmu. Ilmu itu dapat ditinjau dan tiga aliran itu untuk menemukan hakikat.
Atas dasar ketiga aliran tersebut, ontologi selalu memiliki ciri-ciri khusus. Setiap aliran memberikan gambaran luas suatu cabang keilmuan. Ciri-ciri khas terpenting yang terkait dengan ontologi antara lain: Pertama, yang ada (being), artinya yang dibahas eksistensi keilmuan. Kedua, kenyataan atau realitas (reality), yaitu fenomena yang didukung oleh data-data yang valid. Ketiga, eksistensi (existence), yaitu keadaan fenomena yang sesungguhnya yang secara hakiki tampak dari tidak tampak. Keempat, esensi (essence), yaitU pokok atau dasar suatu ilmu yang lekat dalam suatu ilmu. Kelima, substansi (sLbstance), artinya membicarakan masalah isi dan makna suatu ilmu bagi kehidupan manusia. Keenam, perubahan (change), artinya ilmu itU cair, berubah setiap saat, menuju ke suatu kesempurnaan. Ketujuh, tunggal (one) dan jamak (many), artinya keadaan suatu ilmu dan fenomena itu terbagi menjadi dua. Ontologi akan mengungkap apa dan seperti apa benda, sesuatu, dan fenomena itu ada. Ada dalam konteks mi masih boleh dibantah.
Ontologi itu pantas dipelajari bagi orang-orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia mi dan berguna bagi studi-studi empiris, misalnya antropologi, sosiologi, kedokteran, ilmu budaya, fisika, dan ilmu teknik. Orangyang belajar ontologi akan paham tentang hakikat suatu ilmu. Tentu saja hakikat itu perlu disadari, diresapi, dan dinikmati. Setiap aliran ontologi tentu memiliki objek keilmuan yang berbeda-beda Objek telaah ontologi yaitu tentang ada. Ada dalam konteks ilmu, perlu didukung oleh fakta dan konfirmasi. Studi tentang yang ada pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada dan bersifat universal, menampilkan pemikiran yang universal. Setiap ilmu memiliki kekuatan universal yang berlaku dalam konteks kesejagatan. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Realitas alam sernesta memang tidak mudah dijelaskan karena memang sulit untuk dipahami. Tidak semua ilmu itu mudah dijelaskan jika tanpa pemahaman yang tajam.
Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia. Jadi, rnasih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide, nhlai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan, dan manusia itu sendiri. Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu, ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi, dan kuantitatif asumsi. Kedua, kelestarian relatif, artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Ketiga, determinasi, artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan.
Objek ontologi sama halnya dengan objek fllsafat seperti yang telah dibahas sebelumnya, yakni: Pertaina, objek formal, yaitu objek formal ontologi sebagai hakikat seluruh realitas. Objek formal mi yaitu cara memandang yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya. Objek formal dan suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama mernbedakannya dengan bidang yang lain. Satu objek formal dapat ditinjau dan berbagai sudut pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Kedua, objek material, yaitu sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencangkup hal konkret, misalnya manusia, tumbuhan, batu, atau hal-hal yang abstrak seperti ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Kedua objek ini akan membingkai pada berbagai penelitian. Penelitian akan menyangkut dua metode besar, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif.
Metode kuantitatif merupakan suatu realitas yang tampil dalam kuantitas atau jumlah, sedangkan kajiannya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau.hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu banyak sekali. Hylomorphisme diketengahkan pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya de anima. Dalam tafsiran para ahli selanjutnya dipahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, melainkan menampilkan aspek materialisme dan mental. Baik aspek mental maupun material, jika dipadukan akan memunculkan abstraksi manusia. Abstraksi pula yang membangun sejumlah ide dan jawaban terhadap keraguan ilmuwan. Jika direnungkan hampir tidak ada ilmu pengetahuan yang lahir tanpa melewati proses abstraksi. Ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: Pertama, abstraksi fisik, menampilkan keseluruhan sifat khas suatu objek. Kedua, abstraksi bentuk, mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua yang sejenis. Ketiga, abstraksi metafisik, mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dan semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi yaitu abstraksi metafisik. Ketiga abstraksi ini merupakan bagian dan berpikir ontologi, yaitu mernikirkan tentang hakikat suatu fenomena. Abstraksi akan membangun kemampuan berpikir yang logis terhadap suatu keadaan.
Dalam pemahaman ontologi ada beberapa karakter pemikiran, di an taranya monoisme. Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan yaitu satu saja, tidak rnungkin dua. Haruslah satu hakikat sebagai sumber asal, baik berupa materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran: (a) Materialisme, aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu mateni, bukan rohani. Aliran ini sering disebut
naturalisme. Menurut aliran ini zat mati merupakan kenyataan dari satu-satunya fakta yaitu materi, sedangkan jiwa atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. (b) Idealisme, sebagai lawan dan materialisme yang dinamakan spiritualisme. Idealisme berasal dari kata “ideal,” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dan roh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis dan penjelmaan rohani, yang meliputi:
Pertama, dualisme, aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat, sebagai asal sumbernya yaitu hakikat materi dan rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari benda, sama-sama hakikat, kedua macam hakikat ini masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam mi. Tokoh dan paham mi ialah Descartes (1596-1650 SM) yang dianggap sebagai Bapak Filsuf Modern.
Kedua, pluralisme, paharn ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dan keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno ialah Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Ketiga, nihilisme, berasal dan bahasa Yunani yang berarti nothing atau tidak ada. Istilah nihilisme dikenal oleh Ivan Turgeniev, novelis asal Rusia, doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, terbukti dalam pandangan Grogias (48 3-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas: (a) Tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. (b) Bila sesuatu itu ada, maka hal itu tidak dapat diketahui karena disebabkan oleh pengindraan itu tidak dapat dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi. (c) Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, hal itu tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Keempat, agnotisisme, paham mi mengingkani kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani, kata agnotisisme berasal dan bahasa Yunani. Ignotos berarti unknow, artinya not, Gno artinya Know. Timbulnya aliran mi dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.


Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)

No comments:

Post a Comment