Bab 9
KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI
ILMUPENGETAHUAN
A. HAKIKAT
EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN
Manusia pada dasarnya ialah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak
pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari
kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban.
Namun setiap jawaban itu juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud di sini bukanlah
kebenaran yang bersifat semu, melainkan kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu
kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah. Perkembangan pengetahuan
yang semakin pesat sekarang ini, tidak lah menjadikan manusia berhenti untuk
mencari kebenaran. Justru seba liknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus
mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori yang sudah ada sebelumnya
untuk menguji suatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian yang bersifat ilmiah
untuk mencari solusi dan setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu
bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik,
tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa
keingintahuannya terhadap dunianya.
Jujun S. Suriasumantri (2010) mengatakan pengetahuan merupakan khazanah
kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya
kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dan berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dan suatu pertanyaan diharapkan
mendapatkan jawaban yang benar. Maka dan itu muncullah masalab, bagaimana cara
kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang pada ilmu filsafat
disebut dengan epistemologi.
Lahirnya epistemologi pada hakikatnya yaitu karena para pemikjr melihat
bahwa pancaindra manusia merupakan satu-satunya alat peng. hubung antara
manusia dengan realitas eksternal. Dalam memahami dan memaknai realitas
eksternal mi kadang kala dan bahkan senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan
kekeliruan, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra
lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional.
Namun pada sisi lain para pemikir sendiri berbeda pendapat dalarn banyak
persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang
saling kontradiksi dalam masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran
aliran sofisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala
bentuk eksistensi eksternal.
B. SEJARAH
KONSTRUKTIVISME EPISTEMOLOGI
Jujun S. Suriasumntri (2010) mengatakan epistemologi merupakan cabang
filsafat yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab
pertanyaan mendasar: apa yang membedakan pengetahuan yang benar dan pengetahuan
yang salah? Secara praktis, pertanyaan mi ditranslasikan ke dalarn masalah
metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya, bagaimana kita bisa mengembangkan suatu
teori atau model yang lebih baik dan teori yang lain? sejalan dengan mi,
Littlejohn (2005) mengatakan sebagai salah satu komponen dalam fllsafat ilmu,
epistemologi difokuskan pada telaah tentangbagaimana cara ilmu pengetEihuan
memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang
benar, atau bagaimana seseorang itu tahu apa yang mereka ketahui. Jadi, di sini
tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” di balik
kemunculan konsep teoretis dalam suatu teori komunikasi. Sesungguhnya banyak
cara yang dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dan kata “how” tadi.
Salah satunya yang paling utama menurut sejarah epistemologi itu sendiri.
Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu
kecenderungan yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan
kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya
banyak kekacauan perspektif yang posisinya saling bertentangan. Misalnya, teori
pertama pengetahuan dititikberatkan pada keabsolutannya, dan karakternya yang
permanen. Adapun teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitasan
atau situation
(keadaan)
dependence (ketergantungan).
Kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara terus menerus atau
berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan
subyek maupun. objeknya. Secara keseluruhan cenderung bergerak dan suatu
kestatisan, pandangan pasif pengetahuan bergerak secara aktif ke arah
penyesuaian demi penyesuaian. Menurut Plato, pengetahuan yaitu suatu kesadaran
mutlak, universal Ideas or forms, keberadaan bebas suatu subjek yang perlu
dipahami. Sementara itu, pemikiran muridnya Aristoteles Iebih menaruh penekanan
pada metode logika dan empiris bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih
menyetujui pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan suatu apprehension
of necessary and universal prin ciples (penangkapan prinsip yang diperlukan dan
universal). Pada masa Renaisans, tendapat dua epistemologikal utama yang
posisinya mendominasi adalah filsafat, yaitu empirism dan rationalism.
Einpirism (empirisme) yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan
itu sebagai produk persepsi indriawi.
Sedangkan rationalism (rasionalisme) melihat pengetahuan itu Sebagai
Adapun produk refleksi rasional. Pengembangan terbaru yang di lakukan empirisme
melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada berkembangnya
pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implisit hingga sekarang
masih dipedornani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu
reflection-correspondence theory. Menurut pandangan mi pengetahuan dihasilkan
dan sejenis pemetaan atau refleksi objek eksternal melalui organ indriawi kita,
yang dimungkinkan terbantu melalui alat pengamatan berbeda menuju ke otak atau
pikiran kita.
Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan priori, seperti dalam
konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, dalam arti bahwa
setiap bagian dari pengetahuan yang diusulkan seharusnya benar-benar baik
sesuai dengan bagian dan realitas eksternal. Meskipun dalam pandangannya tidak
pernah mencapai pengetahuan yang lengkap atau absolut, tetapi pengetahuan ml
tetap sebagai batas refleksi yang lebih tepat dan realitas. Ada teori penting yang dikembangkan pada periode
yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesis rasionalisme. dan
empirismenya para pengikut Kant. Menurut Kant, pengetahuan itu dihasilkan dan
diorganisasi dan persepsi berdasarkan struktur kogrljtif bawaan, yang
disebutnya kategori. Kategori mencakup ruang, waktu, ohjek, dan kausalitas.
Epistemologi tersebut menerima kesubjektivitasan konsep dasar, seperti
ruang dan waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau objektif dan sesuatu
yang ada dalam dirinya. Jadi, kategori apriori masib tetap bersifat stalls atau
given. Tahap berikutnya dan perkembangan epistemologi disebut pragmatis
(pragmatic,).
Bagian-bagian dan perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa
mendekati awal abad ke-20, misalnya seperti logika positivisme,
konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut Copenhagen interpretation filsafat masih
mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial
intelligence. Epistemologi pragmatis memandang pengetahuan terdiri atas model
yang mencoba merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan
secara maksjmal pemecahan masalah, secara maksimal menyederhanakan pemecahan
masalah.
Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang pernah
bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan. Sekalipun
model yang lengkap seperti itu ada, model itu mungkin akan sangat rumit untuk
digunakan dalam cara praktis apa pun. Karena itu, kita harus menerima
keberadaan kesejajaran model yang herbeda, sekalipun model dimaksud mungkin
terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah
yang akan dipecahkan. Ketentuan dasarnya yaitu bahwa model yang digunakan
sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau
approximate) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin.
Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan
mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun dan
bagian-bagian model lain, dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada
prinsip coba-coba-salah (trial and error) yang dilengkapi dengan beberapa
heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan oleh para
penganut constructivism. Kalangan mi mengasumsikan bahwa semua pengetahuan
dibangun dan goresan subjek pengetahuan. Tidak ada sesuatu yang “givens”, data
atau fakta empiris yang objektif, kategori bawaan sejak lahir, atau struktur-struktur
kognitif.
Gagasan korespondensi atau refleksi realitas eksternal menjadi sesuatu
hal yang ditolak, karena kekurangan hubungan di antara model dan hal yang
mereka representasikan in maka bahayanya bagi constructivism yaitu bahwa mereka
mungkin cenderung menjadi relativisme. Sebab dengan keyakinan mereka, bahwa
sernua pengetahuan dibangun dan scratch by the subject of knowledge, maka cara
untuk membedakan pengetahuan memadai atau “sebenarnya” dan pengetahuan yang
tidak cukup atau “palsu” menjadi tiada. Kita bisa membedakan dua pendekatan
yang mencoba menghindari “kemutlakan relativisme.” Pendekatan yang pertama
disebut konstruktivisme individual (individual constructivism,); dan kedua,
konstruktivisme sosial (social constructivisin). Konstruktivisme individual mengasumsikan
bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan potongan-potongan
pengetahuan itu. Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan
mayoritas pengetahuan lain akan menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya.
Pengkonstruksian yang berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan
pengetahuan yang sebelumnya, tidak bertautan (incoherent) akan dipelihara. Konstruktivisme
sosial memahami mufakat antara subjek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk
menilai pengetahuan. Kebenaran atau kenyataan hanya akan diberikan terhadap
pengkonstruksian yang diseber- tujui kebanyakan orang dan suatu kelompok
masyarakat. Dalam filsafat ini, pengetahuan tampak sebagai suatu hipotesis
realitas eksternal yang sangat independen.
Satu-satunya kriteria dasar yaitu bahwa perbedaan mental entitas atau
perbedaan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu Sebaiknya
menjangkau semacam keseimbangan. Melalui pendekatan kondap struktivis tampak
penekanannya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relatif dan
pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan kesepakatan sosial atau
koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap
masih memiliki ciri yang absolut. Dengan kata lain, keabsolutan mi ditandai
oleh keyakinan para konstruktivis bah‘isin. wa pandangan sintetis yang
ditawarkan oleh bentuk-bentuk yang berbeda atau epistemologi evolusioner.
Melalui cara mi dianggap bahwa pengetaatau huan itu dikonstruksikan oleh subjek
atau kelompok subjek dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan mereka dalam
artian luas.
Pengkonstruksian itu merupakan suatu proses yang terus berkelan. jutan
pada tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psjko logis atau
sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui variasi potongan pengetahuan, dan
retensi selektif kombinasi baru dan mereka yang entab bagaimana berkontribusi
untuk kelangsungan hidup reproduksi dan subjek di dalam lingkungan mereka.
Heylighen mengatakan, pengetahuan pada dasarnya masih merupakan alat pasif
yang dikembangkan oleh organisme dalam rangka untuk membantu mereka dalam
pencarian mereka untuk bertahan hidup. Sekalipun pengetahuan itu menyebabkan
din individu pengangkut mana pun, kemungkinan sama sekali tidak mampu dan juga
berbahaya bagi kelang-. sungan hidupnya. Dalam pandangan mi, sepotong
pengetahuan mungkin succesful sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali,
sejauh pengetahuan itu cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan
sebagai penggagas pengetahuan baru. Di sini tampak gambaran di mana subjek
pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi
kekuatan yang membangun dirinya sendiri.
Pendekatan konstruktivis sangat menutup din atas pengetahuan yang
merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak
ke pendekatan memetik, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu
yang dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui suatu proses evolusi yang
terus-menerus dan fragmentasi independen pengetahuan yang berkompetisi derni dominasi.
Dan riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan)
sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya
masingmasing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya
menemukan kebenaran pada objek ilmu.
C. PENGERTIAN
EPISTEMOLOGI PENGETAHUAN
Menurut Kattsoff (1992), bahwa ontologi dan epistemologi merupakan
hakikat kefilsafatan, artinya keduanya membicarakan mengenai kenyataan yang
terdalam dan bagaimana mencari makna dan kebenaran. Adapun aksiologi berbicara
mengenal masalah nilai-nilai atau etika dalam kaitannya dengan mencari
kebahagiaan dan kedamaian bagi umat manusia,
Imam Wahyudi (2007) memahami, secara etimologis, epistemologi berasal dan
bahasa Yunani, yaitu epistelne dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos
biasanya clipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa epistemologi yaitu pengetahuan sistematik tentang
pengetahuan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier pada 1854,
yang membuat dua cabang filsafat sekaligus sebagai pembeda keduanya, yakni
epistemology dan ontology. Selanjutnya Kattsoff dan Wahyudi mengatakan, secara
sederhana dapat dipahami bahwa filsafat ilmu merupakan dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. ini berarti
bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong
ilmiah yaitu yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu
akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian
rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan Secara prosedural, metologis, teknis,
dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga
memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu,
atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat
yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain,
epistemologi merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh
pengetahuan tentang pengetahuan. Adapun pengetahuan yang tidak ilmiah masih
tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan basil serapan indriawi
yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di
samping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti
ilharn, intuisi,wangsit, atau wahyu (oleh Nabi). Dengan kata lain, pengetahuan
ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas proing- sesnya secara
prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemuaya- dian diakhiri
dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.
Adapun
pengetahuan yang pra-ilmiah sesungguhnya diperoleh Secara sadar dan aktif,
namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga
tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena
tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya
sebagai pengetahuan “naluriah”, Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu
yang lazim disebut tahap mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetaumat
huan yang berlaku juga untuk objeknya. Pada tahap mistik, sikap manusia seperti
dikepung oleb kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua objek tampil dalam
kesemestaan dalam artian satu sama lain herdifusi menjadi tidak jelas
batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara penge. tahuan itu mempunyai
implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam
pengetahuan untuk dipandang sebagaj pemimpin yang mengetahui segalanya.
Fenomena
ini sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai
organisasi kemasyarakatan sebagai implikasi belum adanya diversifikasi
pekerjaan. Seorañg pemimpin dipersepsjkan dapat rfierangkap fungsi apa saja,
antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, dan
pejabat pernikahan. mi berarti bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala
masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Selanjutnya
Kattsoff mengatakan, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu napas, tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut
pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dan segi ontologis, yaitu tentang
apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. mi berarti sejak awal kita
sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai
eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, serta terjangkau oleh pengalaman
indriawi. Sampai fenomena dapat diobservasi, dapat diukur, dan datanya dapat
diolah, diinterpretasi, diverifikasi, kemudian ditarik kesimpulan. Dengan kata
lain, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang
menjadi garapan ilmu keagamaan. Kedua, dan segi epis- temologi, yaitu meliputi
aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di
samping aspek prosedural, metode, dan teknik dalam memperoleh data empiris,
Epistemologi
juga disebut sebagai cabang fllsafat yang relevan dengan sifat dasar dan ruang
lingkup pengetahuan, pra-anggapan, dan dasar-dasarnya, serta rehabilitas umum
dan tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara sederhana dapat
dideflnisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji asal mula, struktur,
metode, dan validitas pengetahuan. Berdasarkan berbagai deflnisi itu dapat
diartikan, bahwa epistemologi yang berkaitan dengan masalah kata Kattsoff
meliputi: Pertama, filsafat yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari
hakikat dan kebenaran pengetahuan. Kedua, metode sebagai metode bertujuan
mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan. Ketiga, sistem sebagai suatu
sistern bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.
Masalah
epistemologi berkaitan dengan pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat
menjawab pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana
apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas
pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada
akhirnya tidak dapat diketahui. Seienarnya kita baru dapat menganggap mempunyai
suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi.
Kita mungkin erpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau
mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan
kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas
antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak, dengan
bidang-bidang yang tidak memungkinkannya. Manusia tidaklah memiliki pengetahuan
yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan bagaiinanakah
caranya kita ,nemperoleh pen getahuan?, pertanyaan mendasar inilah yang harus
dijawab di dalam epistemologi pengetahuan.
D. METODE UNTUK MEMPEROLEH PENGETAHUAN
1. Metode Empirisme
Empirisme yaitu suatu cara atau metode dalam filsafat
yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John
Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan
akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku
catatan itulah dicatat pengalaman indriiuan. awi. Menurut Locke, seluruh sisa
pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan
ide-ide yang diperoleh dan pengindraan serta refleksi yang pertama-pertama dan
sederhana tersebut. Ta memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang
secara pasif menerima basil pengindraan itu. mi berarti semua pengenar- tahuan
kita, betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman
indriawi yang pertama-tama dapat diibaratkan sebagai atom yang menyusun objek
material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dindiri. lacak kembali secara
demikian itu bukanlab pengetahuan, atau setidaknge- nya bukanlah pengetahuan
mengenai hal-hal yang faktual.
2. Metode Rasionalisme
Rasionalisme yaitu satu cara atau metode dalam
memperoleh sum ber pengetahuan yang berlandaskan pada akal. Bukan karena
rasionalis me mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para
penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide
kita, dan bukannya di dalam dan barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
dan mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal
budi.
3. Metode Fenomenalisme
Fenomenalisme yaitu satu cara atau metode dalam
memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan rnenggali pengalaman dan dalam
dirinya sendiri. Tokoh yang terkenal dalam metode mi ialah Immanuel Kant. Kant
membuat uraian tentang pengalaman sesuatu sebagaimana terdapat clalam dirinya
sendiri, dengan merangsang alat indriawi kita dan diterima oleh akal kita dalam
bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena
itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti
keadaanya sendiri, tetapi hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, artinya pengetahuan tentang gejala (phenomenon).
Bagi Kant, para penganut empirisme benar bila
berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman, meskipun benar
hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal
memaksakan bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4. Metode Intuisionisme
Intuisionisme yaitu satu cara atau metode dalam
memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana intuisi untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Analisis, atau pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil
pengenalan secara langsung dan pengetahuan intuitif. Tokoh yang terkenal dalam
aliran mi ialah Bergson. Salah satu di antara unsur-unsur yang berhanga dalam
intuisionisme menurut Bergson, dimungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di
samping pengalaman yang dihayati oleh indra.
Dengan demikian, data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan
bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan i. oleh pengindraan.
Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada
pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman
indriawi maupun pengalaman intuitif.
E. PROBLEM DAN JUSTIFIKASI KEBENARAN DALAM
EPISTEMOLOGI
Menurut Titus dalam Imam Wahyudi (2007), ada tiga problem pokok
epistemologi yang harus dirumuskan sebagai penyelidikan filsafat terhadap
epistemologi pengetahuan, antara lain: Pertama, menyangkut watak pengetahuan,
dengan pertanyaan pokok: apakah ada dunia yang benarbenar berada di luar
pikiran kita, dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya?. Kedua, menyangkut
sumber pengetahuan, dengan pertanyaan pokok: dan manakah pengetahuan yang benar
itu datang? Atau apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah
cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Apakah yang merupakan
bentuk pengetahuan itu? Corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah cara
kita memperoleh pengetahuan? Ketiga, menyangkut kebenaran pengetahuan, dengan
pertanyaan pokok apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan itu?
Apakah pengetahuan kita benar? Dan bagaimana kita dapat membedakan antara
pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah?
Dalam membahas masalah epistemologi dipakai pendekatan secara terpadu,
baik pola kefilsafatan maupun pola ilmiah, sebab dalam perkembangan
epistemologi terjadi integrasi antara kegiatan kefilsafatan dan kegiatan
ilmiah, meskipun sulit untuk merientukan metodologi tunggal dalam meneliti
episternologi. Dengan kata lain pendekatan espitemologi mesti secara
multidisipliner, integrated, dan interkoneksi.
Dengan memahami problem kebenaran dalam epsitemologi kita diantarkan
kepada metodologi dalam penggalian ilmu secara lebih mendalam. Demikian juga
dengan memahami bahwa epistemologi tidak bisa hanya ,didekati dan satu sudut metodologi
tunggal, terlebih dalam studi yang memerlukan terapan sosial dan keagamaan
seperti historis, hermeneutika, al-turats, dan penelitian kualitatif sosial dan
budaya seperti pendidikan, manajemen, psikologi, hukum, dan ekonomi sangat
dibutuhkan keterkaitan dan integrasi dengan disiplin ilmu lainnya. Karena
dengan cara itulah peneliti dapat memberikan justifikasi objektif dan kebenaran
ilmiah dalam espitemlogi pengetahuan.
Imam Wahyudi (2007) memberikan beberapa cara untuk melakukan justifikasi
epistemologi pengetahuan, yakni: Pertama, evidensi. Evjdensi yaitu cara
bagaimana kenyataan ml dapat hadir atau “perwududan dan yang ada bagi akal.”
Konsekuensi dan pengertian itu yaitu, bahwa evidensi sangatlah bervariasi.
Akibat lebih lanjut yaitu persetujuan yang dijamin oleh kehadiran ada yang
bervariasi mi juga akan bervariasi. Seorang positivis mungkin menyatakan
pengandalan bahwa masa depan mirip dengan masa lampau. Namun evidensi yang
menjamin kepastiannya bukanlah kepastian yang sedemikian rupa sehingga kejadian
sebaliknya tidak terbayangkan.
Evidensi dan perilaku manusia tentu berbeda dengan hal yang Semata-mata
bersifat fisik, sebab kepastian manusiawi bersifat hipotesis. Misalnya saya
yakin secara moral bahwa apabila supir bus itu normal maka ia tidak akan
menabrakkan mobilnya ke pohon. Kesaksian adalah salah satu sumber dan keyakinan
moral kepastiannya agak diremehkan. Namun banyak orang yang lebih yakin pada
pernyataan pernyataan yang bersumber dan kesaksian daripada tentang hukum
gravitasi. Kedua, kepastian. Kepastian dalam hal mi memuat kebenaran dasar atau
yang disebut sebagai kebenaran primer. Prinsip pertama yaitu suatu “kepastian
dasar yang mengungkapkan eksistensi subjek.” Subjek yang mengetahui tidak mesti
identik dengan kegiatannya, ada perbedaan subjek dan aktivitasnya.
Kepastian dasar mi tidak saja merupakan jawaban yang mendasar terhadap
berbagai macam sikap dan ajaran seperti skeptisisme dan relativisme, tetapi
karena kepastian dasar merupakan dasarnya segala kepastian. Ketiga, keraguan. Ada dua bentuk aliran yang
mempertanyakan kepastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap
sebagal aliran yang mempermasaiahkan, meragukan, dan mempertanyakan kebenaran
dan adanya kebenaran, yaitu: (a) Aliran skeptisisme-doktriner yang berkeyakinan
bahwa pengetahuan dan kebenaran itu tidak ada, yang kurang ekstrem mengatakan
sesungguhnya tidak ada cara untuk menetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan.
Misainya, ajaran ini menganirukan agar orang tidak meiibatkan din dalam
kegiatan intelektual tertentu karena mempunyai pendapat tentang sesuatu, maka
hal itu mengandung kontradiksi, sebab ajaran untuk tidak meiibatkan ml secara
intelektuai sudah merupakan kegiatan inteiektual. (b) aliran
skepetisisme-metodik menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada, tidak
sebagai doktrin tetapi sebagai metode untuk menemukan kebenaran dan kepastian.
Aliran ini merupakan jalan untuk menemukan kepastian kebenaran.
F. PARADIGMA DALAM EPISTEMQLOGI PENGETAHUAN
Menurut Mohamad Musilih (2005), persoalan epistemologi tidak perepan nah
berhenti sampai kapan pun dikarenakan manusia hidup senantiasa berhajat kepada
ilmu pengetahuan. limu pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi
semua tantangan di alam semesta, dan sampai saat mi telah banyak penemuan dalam
berbagai bidang ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut
saja di bidang ilmu sosial, kedokteran, biologi, farmasi, psikologi, dan lain
sebagainya. Penemuan dan iahirnya disiplin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan
hidup manusia.
Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana rancang bangun dan pemikiran dan
ilmu pengetahuan itu. Bagaimana kesinambungan satu teori dengan teori lainnya
sehingga menjadikan pengetahuan yang iebih utuh. Setidaknya persoalan mi telah
mengilhami dan mewarnai kajian filsaat baik di dunia Barat maupun di dunia
islam sendiri. Pemikiran epitemologis telah membentuk tata cara berpikir dan
melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemologi menjadi titik tolak maju
mundurnya laju ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-20 hingga abad ke-21, pengaruh positivisme dan neo Positivisme
telah memengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan (epistemology), Sehingga
menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada manfaat semu semata dan
mengabaikan tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif dan rasio manusia
(metafisika, bahkan agama).
Cara pandang manusia (paradigm) diarahkan kepada manfaat praktjs dan
sesaat saja, budaya konsumtif menjadikan manusia hanya menguta. makan din
sendiri. Menempatkan manusia sebagai satu—satunya makhluk yang hanya memiliki
hak untuk hidup. Ringkasnya semua makh— luk hanya diperuntukkan bagi
kelangsungan hidup manusia, sehingga menafikan eksistensi dan makhluk lainnya.
Dapat kita lihat misalnya dalam perkembangan ilmu alarn, bagaimana eksploitasi
terhadap alam dilakukan tanpa mengindahkan stabilitas dan susunan alam itu
sendiri. Lihat juga dalam perkembangan ilmu sosial, bagaimana prinsip-prinsip
hidup bersama hanya untuk rnenaikkan satu golongan dan mendiskreditkan golongan
lainnya. Pada dasarnya berawal dan persoalan epistemologi yang mendasar, yaitu
perihal wujud bangun dan rancang bangun ilmu pengetahuan.
1. Paradgma Popper
Di awal abad ke-20 muncul seorang filsuf, Karl Raimund Popper, yang
mengajukan kritik terhadap arus neopositivisme yang bercorak deduktif-veriflkatif.
Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemologi yang dikenal dengan konjektur
dan falsifikasi. Sebelum masuk kepada memahami teori falsiflkasi yang
dikembangkan oleh Karl Popper, hendaknya terlebih dahulu membahas mengenai
induksi dan verifikasi. Pada dasarnya teori falsifikasi yang dibangun oleh
Popper merupakan bantahan dan sanggahan dan induksi dan verifikasi yang banyak
dikembangkan oleh para fllsufsebelumnya. Sebut saja Francis Bacon (1561-1626),
yang disebut sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat mengandalkan metode induksi
dalam menerima kebenaran suatu teori, kemudian metode mi dikemas ulang oleh
Ihon Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja akan dianggap benar dengan cara
penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode induksi. Metode induksi berarti
juga metode ‘proses generalisasi’. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan
yang bertitik pangkal pada perneriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten
mengenai data- data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu
penafsiran atas alam.
Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuwan dan hampir
tidak pernah diperdebatkan. Noeng Muhadjir (2001) mengatakan, metode induksi mi
menjadi karakter dalam ilmu pengetahuan utamanya sosial dengan melakukan
generalisasi dan hal-hal yang partikular, atau dikatakan juga metode induksi
berangkat dan beberapa kasus particular kemudian dipakai untuk menciptakan
hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan pengamatan terhadap beberapa
angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan melakukan induksi dapat dibuat
teoni yang lebih urnum bahwa semua angsa berwarna putih. Metode induksi mi
terus mengalami penguatan oleh para filsuf, di antaranya Jhon. S. Mill yang
lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif sebagai metode ilmiah yang valid.
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, Popper juga dihadapkan oleh metode
verifikasi, balk yang dikembangkan oleh filsuf dalam lingkaran WIna maupun di
luar Wina sendiri. Verifikasi telah memproklamasikan din sebagai satu-satunya
metode untuk menguji ilmiah atau tidaknya suatu teori. Atau, dikatakan juga
apakah sesuatu itu ineaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless
(tidak berarti), juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu
sejati (true science, atau ilmu Seai : mu ‘pseudo science,). Artinya, jika
suatu pernyataan epistemologi atau dugaan dapat diverifikasi maka ia berarti
bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti Ia tidak
bermakna.
Prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu proposisi bermakna jika ia dapat
diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi).
Sebagai akibat dan prinsip itu maka filsafat tradigkan sional seperti
pembahasan mengenai “ada yang absolute,” haruslah ditoyang lak. Karena
ungkapannya melampaui pengalaman dan tidak dapat untuk diamati terlebih lagi
untuk diuji, termasuk juga hal-hal yang berkenaan dengan teologi maupun
metafisika.
Bisa jadi prinsip yang dibangun dengan metode verifikasi telah mengepada
antarkan ilmu pengetahuan sampai pada kemajuannya saat ini Ilmu peralisa
ngetahuan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan dengan metode
verifikasi memuclahkan manusia untuk memperoleh jawaban dan solusi terhadap
persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Sehingga posisi ilmu dengan
veriflkasinya telah menjadi komponen tenpenting dalam menjaga kehidupan manusia
di alam. Ilmu yang telah meanlalui verifikasi dipandang sebagai kebenaran yang
absolut, sedangkan selainnya hanyalah dianggap sebagai pernyataan semu yang
menipu.
Selanjutnya terkait konjektur, dalam kaitan membangun hipotesis untuk
objektiV1ta5 mi menjadi suatu tagihan dalam epistemologi deduktif. Konjektur
secara bahasa berarti dugaan, prakonsepsi, atau dapat juga disebut dengan
aSUmSi. Konjektur dipandang oleh Popper sesuatu Yang harus ada sebelum
seseorang melakukan analisis terhadap suatu objek permasalahaan..
Dalam memberika atau melakukan atau mencari jawaban terhadap satu
masalah, Bergson & Wettersten memberikan pemaham an, bahwa seseorang mesti
memiliki konjektur (dugaan) dalam hipotesisnya (sebelum penelitian dilakukan).
Sehingga Popper menyusun dna asas dalam teorinya. Pertaima, penyelidikan tidak
boleh dimulai dengan usaha observasi yang tidak memihak, tetapi justru harus
fokus terhadap satu persoalan Peneliti harus bertanya: Apa masalahnya? Apa
solusi alternatifnya Bagaimana kekuatan dan kelemahannya? Kedria, usaha Untuk
menemuk suatu solusi tidak boleh merupakan usaha yang menghindari dan fakta
yang adahanya memilah fakta yang mendukung teori yang diyakifli, akan tetapi
mestilah berpegang pada prinsip penggabungan antara dugaafl yang berani dan
kritisisme yang tajam (bold colljecture and severe critic).
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, perkembangan ilmu pengetahuan pada
dasarnya berlandaskan kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti. menurut
Popper perkembangan ilmu dimulai dan usulan hipotesis yang imajinatif, yang
merupakan insight individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori.
Hipotesis imajinasi tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji
untuk menentukan layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiah.
Teori prakonsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang peneliti
akan terlepas dari sikap objektivitasnya. Dikarenakan dia telah terikat oleh
teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan memengaruhi proses dan hasil
penelitian yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karna Popper mengatakan
bahwa objektivitas seorang peneliti tidak harus terbebas dari prakonsepsi.
Malah sebaliknya objektivitas Justru diperoleh dengan membuat jelas prakonsepsi
dan secara kritis membandingkan dengan teori lain.
Prakonsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian, yaitu
sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengarttkulasi
persoalan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi
dan membangun kemapanan teori baru. Ring: kasflYa, manusia pada dasarnya
melakukan proses belajar dengan cara menduga dan melakukan penolakan. Proses
menduga yaitu upaya untuk inemunculkan jawaban sementara (konjektur), selanjutnya
melakukan usaha penolakan terhadap prakonsepsi atau dugaan (konjektur). Apabila
dugaan mi tidak tertolak, maka ia diyakini dapat dipandang sebagai teori
sementara yang tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji dan dibantah
dalam upaya menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran.
Lebih jauh Popper melihat ada jarak atau demarkasi antara true science
dan pseudo scince, sebagaimana dikatakan Muhadjir seperti telah disinggung di
atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode filsafat ilmu yang telah lama
berkembang sebelumnya. Di satu pihak ia bereaksi terhadap metode induksi yang
‘mempatenkan dirinya sebagai metode ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia
juga berhadapan dengan metode verifikasi yang dikembangkan oleh filsuf
positivisme, khususnya pengaruh yang ditebar oleh para filsuf di lingkaran
Wina.
Untuk membantah kedua metode tersebut, sebagaimana dijelaskan Bergson
& Wettersten, Karl Popper mengangkat fokus bahasan dalam membedakan atau
memisahkan antara pernyataan yang mengandung makna (meaningful) dan pernyataan
yang tidak bermakna (meaningless), atau antara sains sejati (true science) dan
sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan tradisional tentang perbedaan antara
sains sejati dan sains semu, bahwa sains sejati berisikan hukum yang kebenarannya
bisa dibuktikan melalui observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan).
Sebaliknya sains semu hanya berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta.
Pemisahan antara kedua macam sains di atas oleh Muslih dikenal dengan
istilah demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal mi
dipahami dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah suatu pengetahuan. Persoalan
demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi
pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang
dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa
ungkapan yang tidak bersifat ilmiah tidak dapat dibukitkan dengan observasi,
dan eksprimen memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak
inunculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam maupun
sosial, diawali oleh ungkapan yang imainatif tanpa di ajukan eksprimen.
Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight
individual bukan berasal dan pengamatan
partikular (observasi) yang ken dian berujung kepada proses generalisasi
induksi. Sebagai Contoh, kefl porn manusia untuk membangun peradaban dan
teknologj banyak lahir dan kemampuan yang tidak diperoleh dengan metode
induksi, aka tetapi muncul dalam tataran umum kemudian menjelma Secara lebTh
nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebjh nenyetujui
metode deduksi yang sejatinya merupakan metode induksi, akan tetapi muncul dalam tataran umum
kemudian menjelma Secara lebih nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan
demikian, Popper lebjh nenyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan
metode
endapatkan ilmu
pengetahuan.
Dengan
diketengahkannya metode deduksi kata Muslih, maka membuka kenal makna ilmiah
terhadap kajian yang selama ini disingkirkan
oleh meto
induksi-veriflkasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadapi kembali
dalam kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta me1ta seorang peneliti
menjustifikasi bahwa suatu teori tidak ilmiah ataupun ilmiah hanya dengan
berpatokan pada memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan Sejatinya
segala sesuatu memiliki arti karena ia dapat dipahami. lebih mendasar, kata
Muslih, Popper mengungkapkan dalam metode induksi dan veriflkasi, antara lain:
Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan
kebe hukum umum. Hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak
pernah dapat diveriflkasi.
Karena, seperti halnya metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam yang
sebagian besar terdiri dan hokum umum) yaitu tidak bermakna. Kedua, Berdasarkan
prinsip verifikasi, meta disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat
disaksikan bah acap kali ilmu pengetahuan lahir dan pandangan metafisis atau
bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna
tetapi bisa juga benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan
dites. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapm ataU teori,
lebih dahulu harus bisa dimengerti, sebab bagaimana bisa dimengerti jika tidak
bermakna.
Ketiga
hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan sanggahan terhadap
verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiyah verifikasi hanya
berupaya untuk menunjukkan kelebihan dan satu teori sehingga mengaburkan sisi
keburukan dan kesalahan yang dikandung sebagai contoh tes atau uji terhadap
teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu teori dengan
mengedepankan contoh yang mendukung kebenaran teori tersebut proses ini
berlangsung dengan metode induksi generalisasi terhadap partikular yang ada
suatu. Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dan suatu teori
berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana.
Sikap
seperti mi merupakan karakter dan verifikasi induktif, di satu sisi yang paling
terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi sederhana,
seorang peneliti menyampaikan basil penelitiannya bahwa seluruh angsa berwarna
putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang berwarna putih dan
mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih. Sehingga dengan
demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih. Hasil seperti
ini tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu.
Melihat
hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah demarkasi (pemisahan
antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran ilmiah. Popper
menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang sejatinya
merupakan karakter ilmiah suatu teori.
Perihal
falsifikasi yang juga dipahami sebagai falsibilitas. Kata falsify itu sendiri
merupakan kata kerja jadian yang terbentuk, dan kata sifat false yang berarti
salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan “menjadi”.
Adapun falsification yaitu bentuk kata benda dan kata kerja falsify. Dengan
demikian, jelaslah bahwa kata sifat false diubah menjadi kata kerja dengan
menambahkan akhiran ify sehingga menjadi falsify dan dibendakan dengan
menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadi falsification yang
diindonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti hal peinbuktian salah.
Falsifikasi
yaitu lawan dan verifikasi. Istilah verifikasi dipakai oleh para ilmuwan dan
filsuf yang menjadi anggota lingkaran Wina yang memegang teguh metode induksi
dan yang semisal dengan mereka. Sebaliknya, Popper tidak percaya pada induksi
sama sekali meskipun dia benar-benar memercayai empirisme. Menurut Popper,
manusia dalam
memperoleh
pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan
pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip dasar dunia tertentu
yang diakul benar oleh manusia. Dan, prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi
yang ketat tentang dunia. Prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan
tidak dijabarkan
pengalaman,
bahkan apa yang dialami dalam pengaaman empiris bergantung pada prinsip ini.
Dengan
demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dan insight individual
(pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian, pengetahuan dalam
tataran teologis, metafisis, bahkan mistis sekalipun dapat dianggap sebagai
ungkapan (pengetahuan) Yang bermakna (meaningful). Persoalan selanjutnya yaitu
bagaimana untuk membuktikan pengetahuan itu, apakah ia merupakan teori ilmiah
atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah dan hanya merupakan pengetahuan semu belaka.
Untuk ini Popper mengajukan kritenia ilmiah tidaknya pengeta huan, yaitu
kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji dalam lingkup bisa diuji
(testability), bisa disalahkan (falsifihity) memiliki prinsip atau istilah
substansi, René Descartes menyebutnya dengan ide bawaan (innate ideas), Leibniz
menyebutnya dengan pusat kesadaran (manacle) dan bisa disangkal (refutability).
Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia menjawab persoalan demarkasi,
apabila teori dapat diuji dan memenuhi komponen untuk disangkal maka ia telah
memenuhi syarat keilmuan.
Perlu
ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi men- can pendukung
kebenaran suatu teori, melainkan tes dilakukan dengan prinsip falsifikasi,
yaitu upaya untuk membantah, menyangkal, dan menolak teori itu. Maka rangkaian
tes berisi komponen penolakan terhadap teori itu, maka Popper lebih memilih
hipotesis untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan ia akan selamanya hanya
berupa hipotesis (dugaan Sementara) yang akan terus-menerus diuji. lnilah
prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak akan takut untuk
menghadapi penolakan, bantahan, kritik terhadap hipotesis yang dikemukakannya.
Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk tercapai
kebenaran sejati.
Karakter
berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya dalam bidang ilmu alam,
di mana pada masanya kemapanan fisika Newton
dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan demikian, ilmu
mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan, secara sadar diakui bahwa
hal mi berawal dan pengetahuan terdalam manusia yang menjelma menjadi suatu
hipotesis, kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang masa sehingga
memunculkan hipotesis baru yang nantinya juga terbuka untuk terus dikritisi.
Pandangan
ini menunjukkan seperti kata Bergson dan Jhon (2003), bahwa proses pengembangan
ilmu bukanlah diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum diuji, dan
juga bukan dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti-bukti positif
untuk mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neopositivisme. Bagi Popper,
proses pengembangan ilmu yaitu dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan
kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Semakin suatu teori dapat
bertahan dan penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kukuh dalam keilmuan,
mi yang disebut Popper sebagai teori pengukuhan (the mu omy of corraboration).
Teori inilah yang kemudian mengantarkan Popper dipandang sebagai filsuf
sekaligus epistemolog rasional-kritis.
2. Paradigma Gerakan Zaman Baru Capra
Menurut Capra (1991), dalam sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa
fisika modern dimulai sejak Galileo, yang memilki ciri kombinasi antara
pengetahuan empiris dan matematika. Oleh karena itu, Capra melihat Galileo
sebagai bapak dan sains modern. Tetapi ia juga melihat bah wa akar dan
perkembangan sains bermula dan filsafat Gerika, khususnya dan arus pikir
Milesian, yang dapat dikatakan sangat mirip dengan konsep pikir monistis dan
organis, flisafat India
dan China Kuno. Paradigma inilah yang diimpor dan mewarnai pikiran Capra di
dalam meninjau seluruh perkembangan sains modern. Hal mi jelas, seperti yang
diakuinya, bahwa pikiran itu mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat Barat
sekitar 20 tahun terakhir, akibat masuknya mistisisme Timur ke Barat. Itu
alasan mengapa kemudian Capra menyoroti sains, khususnya sains modern, bukan
sebagai suatu permasalahan rasional, seperti paradigma yang dipegang selama mi
di kalangan ilmuwan, mencapai lainkan lebih melihatnya sebagai suatu “jalur
hati.” Penggabungan kedua problem besar i, menurut Capra haruslah dipandang
dengan terlebih dahulu menyelesaikan pengertian “mengetahui” dan bagaimana
pengetahuan itu diekspresikan. Sehingga kita sulit menyadari akan keterbatasan
dan relativitas pengetahuan konseptual kita. Kita akan sulit membedakan antara
realitas yang sesungguhnya dan konsep atau simbol realitas itu, yang diutarakan
oleh pengetahuan konseptual kita, di sinilah mistisisme Timur memberilcan jalan
keluar untuk kita tidak perlu bingung lagi. Untuk mi, paradigma pengetahuan
kita harus diubah, dan pengetahuan konseptual menuju kepada pengetahuan eksperimental,
agar kita dapat langsung bertemu dengan realitas itu sendiri. Pengetahuan
eksperimental ini melampaui pengetahuan intelektual. dan juga persepsi
indriawi.
Oleh karena itu, Capra mengusulkan untuk menggabungkan kedua sistem
pengetahuan. Kedua sistem mi saling tumpang-tindih di dua dunia (realism)
tersebut. Bahkan Iebih jauh, Capra mengargumentasjk bahwa the rational part of
research would, in fact, be useless if it were not complemented by the
intuition that gives scientist new insights and makes them creative.
Di sini Capra melangkah lebih jauh dengan meletakkan pengetahuan intuitif
(intuitive knowledge) di atas pengetahuan nasional, bahkan riset rasional.
Memang kemudian ia mengatakan bahwa wawasan intuitiftidak terpakai di dunia
fisika, kecuali ia bisa diformulasikan di dalam kerangka kerja matematis yang
didukung dengan suatu penafsiran dalam bahasa yang gamblang. Sebaiknya, ia juga
mengargumentasikan adanya elemen rasional di dalam mistisisme Timur. Memang
tingkatan pemakaian rasio dan logika berbeda-beda di setiap arus pikiran. Ta
melihat bahwa Taoist sangat mencurigai rasio dan logika. Dan di dalam dunianya,
mistisisme Timur didasarkan pada wawasan langsung ke dalam nature realitasnya,
sedangkan fisika didasarkan pada penelitian terhadap fenomena natural di dalam
pengujian ilmiah. Dan dalam hal mi keduanya masuk ke dalam dunia relatif.
Fisika baru ini dimulai dengan keharusan kita mengadopsi pandangan yang
lebih penuh, menyeluruh, dan ‘organik’ terhadap nature. Untuk itu kembali Capra
menekankan perlunya kita meninggalkan paradigma lama dan fisika kiasik. Pada
tingkat lanjut, Capra memasukkan konsep Panteisme dan mistisisme Timur sebagai
paradigma sains, yaitu memandang seluruh keberadaan sebagai keberadaan tunggal,
yang menyatu dan tidak perlu dan tidak bisa diperbedakan lagi.All things are
seen as interdependent and inseparable parts of this cosmic whole;as different
mnanifestations of the same ultimate reality. Capra mengacu bahwa manusia
sering tidak menyadari realitas seperti mi, karena manusia selalu membagi dunia
mi di dalam berbagai objek dan peristiwa. Capra mengakul perlunya pembagian ml
untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, tetapi itu semua bukanlah unsur
fundamental dan realitas.
Paradigma ini didukung oleh perkembangan fisika atom, di mana konstituen
setiap materi dan fenomena dasar atomik mi sangat berkaitan erat satu sama lain
dan saling bergantung satu dengan yang lain; sehingga mereka tidak lagi dapat
dimengerti sebagai suatu unsur yang berdiri sendiri, tetapi hanya bisa
dimengerti sebagai satu bagian integral dan suatu keseluruhan. Di dalam
komentar edisi keduanya ini, Capra melanjutkan bahwa sifat interkoneksi (saling
berelasi dan bergantung) di dalam sains berkembang ke berbagai bidang, sampai
ke parapsikologi. Maka, dengan mi Capra melihat seluruh fenomena dunia ini
bersifat semu, dan realitas dasar pada hakikatnya tunggal. Realitas sains bisa
ber satu dengan dunia paranormal.
Dengan penerimaan panteisme dan mistisisme merasuki dunia sains, maka
seluruh realitas materi kini dilihat sebagai realitas yang hidup. Pergerakan
elektron dalam molekul kayu diinterpretasikan sebagai kehidupan materi. Dengan
lebih tajam lagi, dapat dikatakan bahwa benda yang selama ini dianggap mati
kini dianggap hidup, bahkan setara dengan manusia. Gagasan ini memiliki
implikasi yang luas. Urbanus Weruin (2001) mengatakan, bahwa dalam memandang
alam sebagai benda mati telah berakibat fatal bagi ekologi. Manusia seolah-olah
boleh mengeksploitasi alam semaunya. Sebagai alternatifnya, ia menyodorkan
paradigma dan mistisisme Timur untuk melestarikan lingkungan hidup. Memandang alam
sebagai “makhluk hidup” bahkan setara dengan manusia, akan menjadikan manusia
menyayangi alam dan bisa menyatu dengan alam.
Karena semuas realitas pada dasarnya tunggal, maka tidak mungkin ada satu
pun fenomena yang bisa dipertentangkan. Semua dualisme, Seperti pagi dan
petang, hidup dan mati, haruslah dilihat hanya sebagai dua sisi dan satu
realitas tunggal. Di sini seluruh konsep pembagian, keteraturan, keterbatasan,
kekhususan, tidak boleh lagi membatasi perkembangan pemikiran sains dan cara
mengerti realitas dunia ini. Capra berargumen, justru karena pemikiran akan
struktur keteraturan, maka manusia tidak pernah bisa mengerti pergerakan
elektron, sampai manusia menerima bahwa pergerakan elektron memang pengerakan
yang tidak bisa diduga dan tidak pasti adanya. Capra menekankan bahwa di dalam
paradigma sains modern, keko songan dan kepenuhan (emptiness and form) bukan
dua hal yang berten tangan lagi, melainkan lebih merupakan satu realitas
tunggal. Akibatnya, jelaslah bahwa paradigma Newton tidak dapat lagi diterapkan di dalam paradigma
yang baru mi. Penggabungan antara kekosongan dan bentuk, menjadikan seluruh
realitas tidak dapat lagi dimengerti secara biasa, tetapi menuntut adanya pola
pandang yang baru.
Paradigma yang dikemukakan Capra telah mendapat sambutan ha- I nyak
orang, karena paling tidak ia memberikan beberapa hal yang dapat i dianggap
positifbagi dunia sains khususnya dan dunia luas pada urnumnya, beberapa di
antaranya: Pertarna, dukungan hipotesis relativitas Enstein. Paradigma Newton
dan Cartesian memang mendapatkan pukul- an berat dan jatuh dengan terbuktinya
beberapa bagian dan hipotesis Einstein. Hipotesis Einstein telah memaksa hukum
mekanika Newton
mengalami perbaikan jika ingin diterapkan kepada materi yang bergera dengan
kecepatan sangat tinggi (seperti gerak elektron atau gelombang
elektromagnetik).
Akibatnya, dimensi ruang dan waktu yang menjadi batasan di dalam
paradigma Newton ,
kini direlasikan menjadi suatu relasi relatif melalui hipotesis Einstein.
Suksesnya perkembangan hipotesis Einstein di dalam memperkembangkan ilmiah
nuklir (yang memang memiliki unsur pergerakan elektromagnetik dan gerak elektron
yang berkecepatan sangat tinggi), menjadikan hipotesis mi seolah-olah boleh
disahkan menjadi suatu teori mekanika baru yang dapat diterapkan di semua
bidang dan semua benda. Akibatnya, paradigma Newton dan Cartesian tidak mendapatkan tempat
sama sekali di percaturan sains modern.
Dalam memadang manusia, Capra mengatakan sebagai pusat. Artinya, dasar
utama pemikiran paradigma baru mi yaitu penolakan terhadap pandangan penciptaan
dunia mi oleh Tuhan yang berdaulat. Capra, menolak pandangan mi. Mereka berargumentasi
bahwa dengan melihat alam mi sebagai ciptaan, maka alam menjadi materi yang
mati yang terbatas dan terikat oleh hukum kausalitas. Sebagai alternatif,
mereka memilih melihat manusialah dengan intuisinya menjadi pusat dan segala
pemikiran sains dan interpretasi alam. Di sini semangat humanisme diangkat ke
puncaknya.
Pikiran ini sangat disenangi oleh masyarakat modern, yang memang pada
hakikatnya sudah menolak Tuhan dan ingin mengembangkan pemikiran humanisme
setinggi-tingginya. Paradigma Capra memungkinkan manusia mengembangkan sains
sambil mencapai tujuan humanismenya, di mana manusia tidak perlu mengakui Tuhan
sebagai pencipta alam semesta ataupun pengatur pergerakan sejarah manusia.
Paradigma Capra sekaligus menjunjung tinggi manusia ke posisi Tuhan. Manusialah
yang menjadi penentu segala sesuatu. Intuisi (yang didukung dengan mistisisme
Timur) diagungkan sebagai dasar penentu pergerakan dan perkembangan sains
(bahkan ke semua bidang ilmu).
Sejak manusia meninggalkan Tuhan dan menuju ke ateisme, maka tanpa sadar
manusia mengalami kekeringan rohani. Selama sekitar satu abad manusia mencoba
bertahan, tetapi pada akhirnya manusia mau tidak mau menyadari tidak
terhindarnya manusia bertemu dengan realitas metafisika. Namun manusia tidak
rela kembali kepada Tuhan, sehingga akhirnya mereka lebih cenderung untuk
mengadopsi mistisisme Timur, yang memberikan kepuasan metafisika tanpa perlu
mengakui Tuhan yang berdaulat dan manusia yang berdosa. Dengan menerima
mistisisme Timur yang berkembang pesat di tengah pikiran Barat, dan sejak
sekitar 1960-an paradigma sains Capra segera mendapatkan tempat pula. Bahkan
dapat dikatakan, Capra sendiri telah terlebih dahulu berpindah ke paradigma
mistisisme Timur, dan dengan paradigma ia merekonstruksi ulang seluruh teori sainsnya.
Itu alasan paradigma sains Capra tidak mengalami kesulitan penerimaan di tengah
masyarakat yang memang telah mempunyai paradigma yang sama. Di samping itu,
rusaknya ekosistem, meluasnya polusi, dan munculnya berbagai dampak negatif
perkembangan teknologi modern, menja dikan manusia dengan senang hati berpindah
ke paradigma Capra yang dilandasi pikiran mistisisme Timur. Pikiran mistisisme
Timur dianggap dapat membuat manusia lebih mencintai alam dan memperhatikan
lingkungan. Berbagai slogan, seperti “back to nature” mengajak masyarakat modern
memandang alam sebagai kesatuan dengan dirinya sendiri, sehingga manusia bisa
lebih memelihara kelestarian lingkungannya.
Namun, untuk menerima paradigma Capra, kita perlu mempertim bangkan
beberapa hal secara serius. Pendekatan Capra yang mengawinkan filsafat Barat
dengan mistisisme Timur dikenal saat mi sebagai perkembangan filsafat Barat
yang terbaru, yang berkembang sejak 1960-an hingga saat ini, yang diberi
julukan Gerakan Zaman Baru (New Age Move
pe- ment). Arus
ini merupakan kelanjutan dan perkembangan filsafat modernisasi dan
pascamodernisme, yang kecewa pada Barat selama ini.
Mereka berasumsi bahwa pendekatan Barat telah gagal membawa manusia
menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang seutuhnya. Oleh sebab
itu, mereka mulai beralih dan mencoba mengawinkan pikiran mereka dengan pikiran
Timur yang bersifat mistis (monistis dan panteis). Apabila ditelusuri secara
mendalam, justru di dalam
pembicaraan
paradigma Capra, persoalan bergeser justru menjadi masalah verifikasi religius.
Capra membawa dunia dan alam fisika ke dala format mistik dan panteistis, di
mana manusia akan dibawa melihat alam sebagai bagian atau diri Tuhan.
Alam dan dunia fisika tidak lagi dilihat sebagai ciptaan Tuhan, Yang
dicipta menurut rancangan dan kehendak Tuhan, dan harus dipertang..
gungjawabkan kembali kepada Tuhan, tetapi sebagai alam yang bergera bebas liar
semaunya sendiri tanpa perlu keterikatan pada Penciptanya (karena tidak ada
konsep pencipta dalam pikiran Capra). Alam juga tidak dilihat sebagai alam yang
bersifat materi dan mati, tetapi dilihat sebagaj “yang hidup,” sehingga alam
tidak lagi di posisi bawah dan tatanan semesta dan hubungan antara Tuhan,
manusia, dan alam, tetapi menjadj sejajar atau bahkan menggantikan posisi Tuhan
(karena posisi Tuhan ditiadakan). Jelas bahwa hal mi mendobrak total seluruh
paradigma dasar sains yang seharusnya.
Del Ratzsch, dalam bukunya Philosophy of Science mengatakan paradigma
Capra telah merusak definisi dan metodologi sains. Untuk itu, beberapa dasar
asumsi yang harus ditegakkan untuk membangun paradigma sains yang kukuh, yang
dapat memberikan aspek dasar pengetahuan perlu adanya: Pertaina, merupakan
disiplin ilmu yang berunsur teoretis. Kedua, bersifat rasional; memiliki penjelasan
natural. Ketiga, bersifat objektif dan terbukti secara empiris. Dengan mi,
pendekatan ilmu pengetahuan alam (natural) haruslah dibatasi di wilayah yang
empiris dan natural. Namun jika diperhatikan secara saksama, paradigma Capra
yang sudah diwarnai mistisisme Timur telah mencampurkan beberapa aspek yang
sulit dikatakan ilmiah lagi.
Capra telah mencampur dunia fisika dengan dunia metafisika, dan ia juga
mencampur antara hasil pengujian empiris dan dugaan metafisik (antara ilmiah
sejati dan ilmiah semu). Paham mi sebenarnya bukanlah hal yang baru, melainkan
telah mengikuti perkembangan pemikiran mistis, baik di Timur maupun di Barat,
yang telah ditolak oleh kekristenan.
Suatu komentar pemenang hadiah Nobel untuk bidang fisika, Steven Weinberg
mengatakan, “Meskipun sudah mengenal pengetahuan modern, tetapi setiap kali ada
temuan atau ada sesuatu yang berhubungan dengan parapsikologi, masyarakat awam
maupun ilmuwan beramai-ramai membicarakannya dan berusaha turut menyelidikinya.
ini namanya langkah mundur ke permulaan lagi. Pertanyaan yang kemudian muncul,
dunia macam apakah yang kita diami sekarang ini?”
Gejala mi dengan sendirinya menimbulkan kerisauan ilmiah. DelRatzSCh
menyoroti percampuran dua dunia mi (sains dan mistis), mengakibatkan
pencampuran dan dua pendekatan dan dua kenyataan yang berbeda. Pendekatan
terhadap dunia metafisika seharusnya berbeda dengan pendekatan terhadap dunia
fisika. Dunia metafisika berada di luar wi1ayah ilmu pengetahuan fisika,
sehingga harus diakui adanya keterba tasan di dalam wilayah ilmu pengetahuan
fisika. Oleh karena itu, Ratzsch menekankan keterbatasan ilmu pengetahuan agar
kebenaran ilmiah dapat tetap terjamin.
Banyaknya distorsi yang telah dikemukakan Ratsch di dalam bukunya,
mengharuskan ia menguraikan batasan ilmiah secara lebih teliti. Oleh sebab itu,
di dalam bukunya ia mengemukakan apa yang ada didalam dan di luarbatasan ilmu
pengetahuan. Ketika Capra menginterpretasi alam, paradigmanya telah menyesatkan
kesimpulan yang didapat Ketika ia menganggap reaksi alam sebagai “makhluk
hidup” (living creature), Capra telah meloncat secara iman menurut konsep
mistisisme Timurnya. Kekacauan seperti mi akan menjadi bumerang yang
menghancurkan dunia sains.
Rusaknya batasan dunia sains akibat paradigma sains-mistis Capra, batasan
menjadi kabur. Seolah-olah seluruh alam semesta menjadi tidak terbatas,
penggunaan teori atau hipotesis sains bisa diterapkan di segala bidang secara
tanpa batas. Pengetahuan sains-mistis berasumsi bahwa hipotesis Einstein
berlaku dan bisa diterapkan di semua materi, tanpa memperhitungkan keterbatasan
sifat materi itu sendiri.
Ketika mengacu kepada paradigma baru, Capra seolah berusaha menghapus
sama sekali semua paradigma lama, padahal keadaan semacam itu tidak mungkin
dilakukan (dan ia pun di beberapa aspek mengakuinya). Dengan menyadari
keterbatasan sains, maka sains akan mawas diri. Di sini Capra sendiri mengalami
dualisme yang ia tentang dan tidak mau akui. Pola sains yang dualistik dan
kontradiktif seperti ini akan merusak pola sains sendiri, dan pada akhirnya
akan merusak seluruh perkembangan ilmiah di masa yang akan datang. Ia akan
merupakan faktor perusak diri sendiri (self-defeating factor) yang akan
meruntuhkan paradigma ilmu secara epistemologis.
3. Paradigma Thomas Kuhn
Paradigma Thomas Kuhn berusaha melakukan dobrakan, dunia sains dituntut
untuk meginterpretasi ulang perkembangan sejarahnya. Kuhn melihat bahwa sains
bukanlah merupakan suatu pergerakan sinambung dan sains-normal
(normal-science), melainkan lebih merupakan loncatan paradigma sebagai akibat
terjadinya revolusi sains (sciencer evolution). Maka dunia sains merupakan
dunia pergolakan teori sains yang bergerak dan satu paradigma ke paradigma
lain. Paradigma Kuhn membuka Wawasan untuk melihat sains sebagai teori yang
senantiasa berkembang dan berubah, menurut paradigma yang mendasarinya. Dunia
modern yang bersifat relatif sangat menyukai gagasan Kuhn in Dunia modern sudah
mengalarni traumatik akibat konsep kernutlakkan yang dipegangnya sejak
pencerahan di abad ke XVII dan gugur di dalam Perang Dunia I dan II, karena
penyimpangan dalam penggunaan sains.
Semangat kemutlakkan berbalik menjadi semangat pragmatis dan relatif.
Masyarakat modern menuduh keyakinan akan kemutlakkan yang telah menyebabkan
timbulnya pertikaian dan peperangan. Sebaliknya, semangat relativitas dan
pragmatis akan menolong manusia lebih luwes dan bersahabat. Semangat mi saling
memengaruhi timbal balik dengan timbulnya paradigma sains Capra.
Giyanto (2008) mengatakan, dewasa mi banyak bermunculan berbagai
pandangan episternologi, baik positivisme, fenomenologi, strukturalisme,
hermeneutika, materialisme histosis, maupun postmodernisme. Semua aliran
epistemologis mi telah tumbuh subur dengan berbagai pengikutnya. Sepanjang
berjalannya sejarah, berbagai pandangan epistemologis beserta outputnya yang
berupa ilmu pengetahuan dianggap sebagai kebenaran absolut. Kalangan ilmuwan
meyakini bahwa mereka menjunjung dan berbagi nilai-nilai kebenaran yang sama
ketika meneliti sesuatu, sebab itu hasilnya yang berupa ilmu pengetahuan merupakan
suatu kebenaran.
Pandangan dominan dan mapan ini kemudian goncang ketika Thomas Kuhn
mencecar dunia ilmiah dengan pandangannya yang tak lazim. Di antaranya tentang
“bias dan subjektivisme” yang pasti terjadi dalarn proses menghasilkan ilmu
pengetahuan. Ia menuntut pula suatu paradigma perubahan paradigma yang nantinya
akan berujung pada revolusi ilmu pengetahuan. Inilah yang muncul dalam karya
besar Kuhn, yaitu The Structure of Scientific Revolution yang lazim disebut
Structure saja. Karya inilah yang menyeruak dan menjadi buku populer di
kalangan akademisi dan ilmuwan di era 60-an hingga kini. Kemunculan buku ini,
yang terbit pada 1962 telah dikutip dan menjadi rujukan karya-karya lain
sebanyak 9.268 kali mulai 1990 hingga 2007, bahkan sampai sekarang karya ini
tetap menjadi karya yang monumental di kalangan ilmuwan dan para filsuf.
Kuhn dapat mengubah pandangan dunia terhadap kebenaran ilmu pengetahuan
dan perlunya perubahan paradigma yang menuju kepada revolusi ilmu pengetahuan,
oleh karenanya menarik untuk dibahas Secara singkat dan padat mengenai
bagaimana revolusi ilmu pengetahuan Thomas Kuhn. Menurut van Gelder (1996)
dilihat dan sudut sejarah, Kuhn yang terlahir dengan nama Thomas Samuel Kuhn,
putra dan Samuel L. Kuhn dan Annette Stroock. Ia dilahirkan pada 18 Juli 1922, di Cincinnati , Ohio ,
Amerika Serikat.
Paradima Kuhn menjelaskan panjang lebar tentang apa dan bagaimana suatu
ilmu pengetahuan terbentuk, dan bagaimana ilmu pengetahuan itu diyakini sebagai
kebenaran oleh para ilmuwan yang mengembang kannya, serta kritik yang Kuhn
lancarkan mengenai hal ini dan alasan Kuhn tentang alternatif yang bisa
dilakukan beserta argumentasi yang ia bangun, di antara idenya yaitu
menyangkut:
Pertama, ide tentang paradigma. Paradigma yaitu tema pokok Kuhn dalam
bukunya, The Structure. Pada setiap kali kesempatan menampilkan ide baru, Kuhn
menggunakan tema paradigma ini dengan arti yang berbeda. Dewasa ini term
paradigma muncul di berbagai diskursus, sering kali dalam arti cara “berpikir”
atau “pendekatan terhadap masalah.” Walau Kuhn secara umum berhasil
memopulerkan penggunaannya, tapi dalam kenyataannya kepopuleran tema mi tidak
beriringan dengan aspek utama argumentasi Kuhn pada The Structure.
Kuhn menekankan bahwa paradigma tidak dapat disederhanakan menjadi
sekelompok kepercayaan atau daftar peraturan saja. Karena Sesungguhnya para
ilmuwan harus mempelajarinya dengan cara melakukannya, secara mental dengan
berpikir tentang konsep yang digunakan di lapangan ilmu pengetahuan tertentu
dan secara fisik dengan memanipulasi material untuk memunculkan fenomena. Kuhn
berpandangan bahwa sejarah ilmu pengetahuan mudah dikenali sebagai periode
stabil yang ia sebut normal science, ditandai dengan perubahan revolusioner yang
kemunculannya lebih jarang.
Paradigma yaitu konsep utama Kuhn dalam hal in sejak masa normal science
hingga terjadinya revolusi ilmu pengetahuan (yang Kuhn membahasakannya sebagai
perubahan paradigma). Dalam pola kemunculannya, paradigma mulanya merupakan
publikasi sebuah buku yang menghentak, yang memuat suatu problem sekaligus
solusinya, kemudian pihak-pihak lain mengadopsi tujuan dan metode yang akhirnya
memunculkan periode normal science. Melawan pandangan umum bahwa masa
Renaissance Eropa yaitu cikal bakal munculnya sebagai revolusi ilmu pengetahuan,
Kuhn justru menjumpai revolusi yang terjadi berkali-kali pada sejarah ilmu
pengetahuan, yaitu kejadian di mana suatu paradigma yang baru mengganti
paradigma ilmu pengetahuan sebelumnya.
Paradigma dalam Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai pattern
(pola) atau example (contoh). Kuhn yang secara lebih jauh memercayai bahwa
normal science biasanya terjadi atas munculnya buku penting dan sering kali
atas eksperimen yang berkelanjutan, Kuhn juga mempunyai ide bahwa paradigma
yaitu pola yang akan diikuti oleh pikiran ketika ia menjelaskan
pandangan-pandangannya. Aspek kunci dan paradigma yaitu bagaimana menghadapi
masalah dan bagaimana menyelesaikannya. Sebagai misal, hukum gerak Newton dan kekuatan
gravitasi digabungkan untuk menjelaskan pergerakan planet. Kuhn juga berpikir
bahwa pada ilmuwan yang bekerja dalam paradigma yang sama, para ahli sejarah
akan menemui metode yang seragam, standar yang seragam, bahkan tujuan yang
seragam pada mereka.
Masa normal science biasanya bersifat konsensus, bersifat kesepakatan
bersama, khususnya mengenai hal-hal fundamental. Dan, kesepakatan mi
menimbulkan spesialisasi yang diistilahkan Kuhn sebagai “pekerjaan para ahli
atau pro fesional.” Normal science yaitu untuk memperluas hasil kerja utama
dengan mempraktikkan metode di area baru di samping di area yang lama untuk
memperkukuh paradigma. Sebab normal science berdasarkan atas kesepakatan dan
mempunyai parameter yang telah ditentukan yang dimungkinkan untuk melakukan
proses dan mengumpulkan pengetahuan.
Kritik atas ambiguitas term paradigma Kuhn dimunculkan oleh Margaret
Masterman, seorang ilmuwan komputer yang bekerja di bidang komputasi
linguistik. Ia menyatakan bahwa definisi dan penggunaan Kuhn terhadap kata
paradigma berbeda hingga 21 makna. Walau tentang argumeniasi Kuhn secara umum
ia sepakat, tapi ia menyatakan bahwa ambiguitas yang ía jumpai berkontribusi
atas kesalahpahaman peluang kritik secara filosofis, yang juga melemahkan
efektivitas argumentasi secara menyeluruh. Kuhn merespons kritik Masterman mi dengafl
catatan khusus di edisi ketiga The Structure, dengan menggunakan term
“disciplinary inatrix’ tidak dengan term “paradigin”bila hendak inenyampaikan
rnaksud tentang sekelompok konsep, nilai, teknik, dan ,etodologi.
Ide tentang revolusi ilmu pengetahuan dan Kuhn pada dasarnya melawan
konsepsi yang lebih umum, dengan menyatakan bahwa ilmuwan sesungguhnya ialah
sosok pemikir yang tidak objektif dan tidak independen. Bahkan, mereka ialah
individu konservatif yang menerima apa yang telah mereka pelajari dan
menggunakan apa yang mereka ketahui untuk menyelesaikan suatu persoalan sesuai
apa yang dituntun oleh teori. Kebanyakan mereka, secara mendasar merupakan
puzzle solver pemecah puzzle yang bertujuan untuk menyingkap ulang apa yang
telah mereka ketahui secara lebih lanjut.
Menurut Frank Pajares, mereka ialah orang yang berusaha keras untuk
memecahkan masalah yang ada dengan panduan pengetahuan dan teknik yang sudah
ada. Kuhn menyatakan bahwa normal science sesungguhnya melemahkan fondasi
keilmuannya sendiri. Ia menyatakan bahwa penelitian tidak ditujukan untuk
menyingkap apa yang belum diketahui, tetapi malah bentuk pengabdian yang
dipaksakan atas kerangka konseptual yang diberikan pendidik profesional.
Untuk itu diperlukanlah suatu komitmen para profesional untuk melakukan
pergeseran dan berbagi asumsi yang menghasilkan suatu anomall dan mengubah
pondasi ilmu pengetahuan. Ia menyebutnya sebagai scientific revolution—revolusi
ilmiah, yang mentradisikan saling melengkapi dan melawan tradisi normal science
yang serba terikat. Pandangan atau asumsi baru yang ia sebut paradigma, yang
akan merekonstruksi dan revaluasi asumsi dan fakta-fakta sebelumnya. Hal mi ia
akui sangat sulit dan memakan waktu, dan akan sangat ditentang oleh masyarakat
yang mapan.
Selanjutnya kata Frank Pajares, menurut Kuhn, paradigma sangat penting
dalam penelitian ilmiah, karena dasar kenyataan bahwa secara alamiah tidak ada
sejarah yang dapat diinterpretasi tanpa kehadiran, setidaknya beberapa ikatan
implisit yang terjalin dan kepercayaan teoretis dan metodologis yang
memungkinkan seleksi, evaluasi, dan kritik. Paradigma akan memandu usaha
penelitian masyarakat ilmiah, dan paradigma inilah yang dapat memberikan
kriteria yang paling jelas dalarn mengidentifikasi suatu bidang ilmu
pengetahuan. Argumentasi Kuhn dapat disimpulkan bahwa pola khas perkembangan
paradigma ke paradigma lain secara revolusioner. Ketika pergeseran paradigma
berlangsung, maka seorang ilmuwan secara kualitatjfberubah dan secara kuan
titatif diperkaya oleh pondasi baru baik berupa fakta maupun teori.
Ketika masa normal science masih berlangsung, tugas ilmuwan yaitu membawa
teori yang diterima dan fakta ke dalam suatu kesepakatan AkhirnYa, ilmuwan
kadang mengacuhkan penemuan riset yang mungkjn mengancam paradigma sebelumnya yang
sesungguhnya menjadi energi semakin embangnYa paradigma yang baru dan
kompetitif. Dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, Kuhn menyingkap “keindahan dan
kemenarikan akan in uncul hanya inelalui kesulitan, diwujudkan dengan
perlawanan, dan melawan anggapan yang mapan.”
Kritik atas ide tentang revolusi ilmu pengetahuan muncul dan Steven
Toulmin pada karyaflya The Uses ofArguinent, ia berpendapat bahwa perubahan
pada ilmu pengetahuan secara praktis dan realistis yaitu revisi secara bertahaP
dan berkali-kali, bukan seperti apa yang dicontohkan di The Structure yang
beupa revolusi yang dramatis dan radikal. Menurut pandangan Toulmin, revisi
berkali-kali justru terjadi melalui apa yang disebut oleh Kuhn “nonnal
science”. Dan bila Kuhn menyatakan bahwa revisi semacam itu disebut sebagai
“penyelesaian puzzle secara nonparadigmatiS,” maka Kuhn mempunyai beban untuk
menjelaskan perbedaan mendasar ilmu pengetahuan paradigmatis dan
nonparadigmatis.
Berdasarkan kritik yang dimunculkan Toulmin, dalam hal itu muncul ide tentang
incommensurability yang dimaksudkan untuk menguatkan klaim bahwa tidak ada
piranti percobaan dan penelitian yang dapat membantu ilmuwan untuk menentukan
paradigma mana yang benar. Kuhn sendiri memberikan argumen bahwa percobaan
Gestalt menampilkan bagairnana sangat dimungkinkan seorang ilmuwan melihat
dunia dengan pandangan yang begitu berbeda setelah mengganti paradigma.
Contoh bahwa ilmuwan melihat hal yang jauh berbeda setelah perubahan
paradigma seperti berikut. Pada masa sebelumnya Bumi dilihat sebagai pusat
alam, kemudian sebagai planet yang mengorbit di salah satu bintang. CahaYa
sebelumnya dianggap sebagai partikel, kemudian berubah dianggaP sebagai
gelombang, dan yang terakhir dianggap sebagai foton. Uranus sebelumnya dilihat
sebagai bintang, kemudian berubah pendapat itu menjadi komet, dan yang terakhir
sebagai planet ketika William Herschel “menemukannya” sebagai temuan mutakhir.
Kuhn berargumen bahwa perubahan revolusioner yang dicontohkan bukan
sekadar mengganti nama atas sesuatu (partikel, kemudian gelombang, kemudian
foton pada cahaya misalnya), melainkan sesungguhnya para ilmuwan bekerja pada
paradigma yang berbeda dan mengumpulkan data yang berbeda serta bekerja di
ranah yang berbeda. Sesuatu yang sebelumnya perlu atas penjelasan bisa jadi
terlihat sangat wajar di bawah paradigma yang baru. Sebaliknya, apa yang
dianggap wajar pada masa sebelumnya, maka buku penjelasan ketika dibawa kepada
paradigma yang baru. Oleh karena itu Kuhn menyatakan, “para ahli sejarah
keilmuan harus menycztakan bahwa ketika paradigma berubah, inaka dunia itu akan
otomatis berubah inengikuti paradigina tersebut.”
Walaupun ia sering menyatakan hal-hal yang kontradiktif di The Structure,
Kuhn setidaknya mengakui bahwa para ilmuwan yang bekerja di paradigma yang
berbeda sesungguhnya mereka hidup di dunia yang berbeda. Paradigma tidak dapat
dikatakan sebagai interpretasi atas dunia sebagai objek tunggal, karena
sesungguhnya “interpretasi” itu sendiri terjadi hanya melalui paradigma yang
berbeda. Kita tidak akan melihat dunia ini dalam bentuk yang sesungguhnya, tapi
yang terjadi yaitu kita belajar melihat dunia, dibimbing oleh paradigma itu.
Tanpa paradigma, maka tidak ada ilmu pengetahuan sama sekali, yang ada
hanyalah kebingungan. mi merupakan salah satu poin yang dibuat Kuhn atas hasil
dan referensinya tentang percobaan permainan kartu anomalinya Jerome S. Bruner
dan Leo Postman serta pandangan terbaliknya George M. Stratton. Kuhn
mengenalkan term incoinmensurabiliy untuk menerangkan sulitnya membandingkan
satu paradigma dengan paradigma yang lain. Karena di sini tidak ada metode uji
atas paradigma secara menyeluruh untuk membandingkan prediksi yang di hasilkan
oleh suatu paradigma dengan paradigma lain. Sebab metode uji sudah lazim di
kalangan ilmuwan ketika mereka menguji teori mereka. Kuhn memberikan argumen
bahwa ketika ada kejadian yang mengguna kan
kata yang sama di paradigma yang berbeda atau ketika ada fenomena yang dapat
diterangkan di paradigma yang berbeda, kata itu sesungguhnya mempunyai arti
yang berbeda di tiap paradigma dan fenomena yang terjadi itu sesungguhnya
tidaklah sama.
Kritik terhadap incommensurability yang dikemukakan Toulmin belum
berhenti di sana ,
pada awal 70-an CR. Kordig menerbitkan beberapa karya tulis yang ia tempatkan
untuk menengahi Kuhn dan teori filsafat ilmu yang lebih tua. Poin krusial atas
analisis Kordig berkisar di antara nyata dan wujudnya ketidakberubahan dalam
süatu observasi.
Kritiknya menyatakan bahwa tesis Kuhn tentang incommensurability sangat
radikal, hingga hal mi membuat tidak mungkin untuk menjelas kan konfrontasi atas teori-teori jumlah yang
sering kali muncul. Menu rut Kordig, pada faktanya sangat dimungkinkan revolusi
dan perpindahan paradigma pada ilmu pengetahuan dan masih dimurigkinkan ketika
hal itu terjadi, suatu teori yang berdasar paradigma yang berbeda dapat
dibandingkan dan dikonfrontasikan dalam rangka penelitian. Mereka yang
mendukung tesis incommensurability seharusnya membatalkan dukungannya karena
mereka sesungguhnya mengakui atas ketidakberlanjutan berbagai paradigma, sebab
mereka memaksakan perubahan radikal pada hal itu.
Kordig menyatakan bahwa ada rangka penelitian umum yang dapat ditempuh.
Sebagai contoh, ketika Kepler dan Tycho Brahe mencoba menjelaskan variasi
relatif jarak matahari melalui cara membandingkannya di garis horizon ketika
terbitnya, keduanya melihat hal yang sama (yaitu melihat konfigurasi yang sama
yang difokuskan pada retina setiap individu), mi hanyalah satu contoh dan fakta
bahwa “teori ilmuwan yang berlawanan berbagi rangka penelitian yang sama, lebih
jauh berbagi pula sebagian arti yang sama.” Kordig menyatakan bahwa dia tidak
akan mengenalkan ulang perbedaan atas observasi atau penelitian dengan teori.
Ia hanya ingin menyatakan bahwa walaupun tidak ada perbedaan yang sangat jelas
antara teori dan observasi, bukan berarti hal mi menyebabkan tidak ada
perbedaan komprehensif pada kutub yang paling ekstrem. Selain itu, Kordig juga
menyatakan bahwa ada rangka-rangka umum dan standar pada lintas paradigma, dan
mereka berbagi norma yang mengizinkan konfrontasi yang efektif atas teori
lawan.
Masih terdapat kritik lain atas The Structure Kuhn, seperti muncul dalam
simposium mengenai The Structure. Dalam simposium khusus yang diselenggarakan
pada 1965 tentang The Structure, Kuhn dikritisi oleh koleganya. Simposium yang
digelar oleh International collogium on the philosophy of science yang diadakan
di Kampus Bedford , London , dipimpin oleh Karl Popper. Output dan
simposium mi di antaranya terbitnya presentasi simposium di samping juga
beberapa esai, kebanyakan bersifat menolak pendapat Kuhn.
Kuhn merespons perhelatan simposium mi dengan menyatakan bahwa pembaca
bukunya yang mengkritisinya sangat inkonsisten, Sehingga seakan-akan mereka
memandang ada dua Thomas Kuhn dalam kritik mereka, yaitu Kuhn sebagai penulis
buku The Structure dan Kuhn sebagai individu yang sedang “dihabisi” di
simposium mi oleh Popper, Feyerabend, Lakatos, Toulmin, dan Watkins.
Kritik terhadap paradigma Kuhn yang mengemuka begitu gencarnya ternyata
juga muncul di Eropa, sehingga dikenal dengan “Eropasentris”. Arun Bala yang
dalarn studinya “the dialogue of civilizations in the birth of modern science”
menyatakan, bahwa The Structure sangat kental dengan nuansa Eropasentris.
Sebagai suatu karya keilmuan, walaupun di sisi tertentu membuka pintu untuk
peran multikultural dalam studi sejarah keilmuan.
Kritik pertama, Kuhn melewatkan kontribusi ilmu optik oleh ilmu wan Arab
lbn Aih Aytham (Aihazen) yang berpengaruh pada pemikir menengah seperti Roger
Bacon dan Grossteste, serta pemikir modern seperti Galileo dan Kepler dalam
tulisannya.
Kritik kedua, Kuhn tidak mengindahkan studi seminasi Needham
pada tahun 50-an mengenai ilmu pengetahuan China dan kontribusinya pada ilmu
pengetahuan modern. Bala berpendapat bahwa hal ini disebabkan kerangka
epistemologi postmodernisme yang dianut oleh Kuhn yang menutup mata atas peran
budaya non-Barat dalam pengembangan keilmuan modern. lnilah yang akhirnya
membawa Kuhn untuk bersikap membedakan tradisi keilmuan secara kultural sebagai
dunia intelektual yang terisolasi dan dunia keilmuan kultur lainnya. Bala
menegaskan bahwa sesungguhnya tradisi keilmuan lintas kultural yang memasukkan
kontribusi budaya Arab, China, Mesir Kuno, dan India dalam tradisi filsafat,
matematika, astronomi, dan fisika yang menjadi cikal bakal dan mewarnai serta
melahirkan ilmu pengetahuan masa kini.
Di tengah gencarnya kritik terhadap paradigma Kuhn ternyata ada juga
dukungan atas ide-ide Kuhn, seperti dikemukakan Massimiano Buc chi (2004). Di
antara pendukung gagasan Kuhn muncul seperti: Pertama, Massimiano Bucchi. Dia
menyatakan bahwa munculnya paradigma menjadi sinyal bahwa sektor penelitian
yang bersifat konsolidatif perlu menjadi suatu disiplin ilmiah. Selanjutnya
dikatakan pula bahwa sains dan paradigma secara efektif sama, karena
sesungguhnya paradjg yaitu konsensus kolektif dan definisi yang tidak lain
merupakan suatu ilmu pengetahuan. Kuhn sesungguhnya hanya menunjukkan bagaiman
ilmu pengetahuan dapat berkembang melalui kombinasi perkembangan lambat melalui
problem solving, juga secara cepat dan revolusioner dengan cara mengganti
paradigma satu dengan paradigma yang lain. Kedna, Peter Dear (2001) menulis,
dia membela secara khusus sikap filosofi5 Kuhn i mana sejarawan ilmu selalu
rnenghindari prasangka. mi alasan mengapa Kuhn setuju dan rnengakui ide awal
fenomenologi Edmund Hussen. Ketiga, Alexander Bird, dalam tulisannya (2005) dia
menegaskan bahwa pikiran Kuhn merupakan teori ash. Bird mengatakan bahwa dampak
Kuhn pada ilmu sosial mempunyai dua aspek: yang pertama, perubahan dalam din
ilmu sosial-persepsi; yang kedua, saran peran baru dan materi untuk ilmu
sosial.
Bagaimanapun, pemikiran Kuhn yang revolusioner sangat memengaruhi
perkembangan filsafat ilmu di masa-masa setelahnya. Di sam- ping kritik dan
dukungan yang dituai dalam karya fenomenal Kuhn, The Strncture, juga konsep
revolusi ilmu pengetahuan yang ia tawarkan, ada baiknya juga sebagai ilmuwan
perlu memilih dan memilah argumentasi yang dibangun oleh paradigma Kuhn. Karena
bagaimanapun, seorang iimuwan harus terjaga dan suatu pemikiran “tidak ada
kebenaran absolut” dan jangan sampai terjebak di ranah pemikiran yang
relativisme. Sesungguhnya, karya Kuhn secara imphisit justru mengakui adanya
suatu absolutisme dalam dunia keilmuan.
4. Paradigma Thomas Aquinas
Amad Tafsir (1997) mengatakan, jauh sebelum Kuhn yang hadir di abad
ke-20, dengan paradigmanya memurnikan ilmu pengetahuan dengan tanpa campur
tangan Tuhan didalamnya, dan cenderung menyatakan obsolutisme ilmu, justru
telah hadir filsuf besar di Barat, Thomas Aquinas (1225-1274). Thomas berusaha
menyusun argumen logis dengan paradigmanya yang berusaha membuktikan adanya
Tuhan dalam paradigma keilmuannya.
Paradigma Thomas Aquinas ditemukan dalam Swnma Theologia. Dalam buku mi
dia berhasil memberikan argumen logis tentang adanya Tuhan. Lima argumen itu antara lain: Pertaina,
argumen gerak. Menurut Thomas Aquinas, alam ini selalu bergerak, gerak tentu
saja tidak berasal dari alam itu sendiri, gerak itu menunjukkan adanya
penggerak yakni Tuhan, Dialah penggerak utama dan yang pertama. Kedua, argumen
kau,salitas. Menurut Thomas Aquinas tidak sesuatu pun yang mempunyai penyebab
pada dirinya sendiri, sebab itu harus berada di luar dirinya. Dalam realitas
ada rangkaian penyebab, dan penyebab pertama yaitu Tuyang justru tidak
memerlukan adanya penyebab yang lain. Ketiga,
argumen kemungkinan. Thomas mengatakan adanya alam mi bersifat rnunkin
ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan yang diperoleh dan kenyataafl alam mi
dimulai dan tidak ada, lalu muncul atau menjadi ada kemudian menjadi tidak ada.
Kenyataan mi menyimpulkan bahwa alam mi tidak mungkin selalu ada. Dalarn din
alam itu ada dua kemungkinan atau dua potensi, yaitu ada dan tidak ada, tetapi
dua kemungkinan itu tidak akan muncul secara bersamaan pada waktu yang sama.
Mula-mula alam mi tidak ada lalu ada, hal mi diperlukan yang ada untuk mengubah
alam dan tiada menjadi ada, sebab tidak mungkin sesuatu dan tiada ke ada secara
otomatis. Jadi, ada pertama itu harus ada.
Keempat, argumen tingkatan. Thomas meyakini bahwa isi alam mi ternyata
bertingkat-tingkat (levels). Ada
yang dihormati, lebih dihormati, dan terormat. Ada indah, lebih indah, sangat indah, dan
sebagainya; yang mahasempurna yaitu penyebab yang sempurna, yang sempurna yaitu
penyebab yang kurang sempurna, yang atas penyebab yang bawah. Tuhan ialah yang
tertinggi, Dia penyebab di bawahnya. Kelima, argumen teologis. Thomas
mengatakan tujuan alam mi bergerak menuju sesuatu, padahal mereka tidak tahu
tujuan itu. Ada
sesuatu yang mengatur alam menuju tujuan alam, Dia ialah Tuhan.
Argumen Thomas Aquinas sesungguhnya tidak akan membawa kita memahami
Tuhan secara sempurna. Oleh karena itu Imanuel Kant
mengkritisi Thomas Aquinas, menurut Kant argumen Thomas memiliki
kelemahan, dia menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dipahami melalui
“akal teoretis,” Tuhan dapat dipahami melalui suara hati (dhamir) yang
disebutnya “moral”. Adanya Tuhan itu bersifat harus, hati saya, kata Kant
“mengatakan Tuhan harus ada.” Menurut Kant, adanya Tuhan bersifat imperatif,
siapa yang memerintah? Ya, suara hati atau moral itu.
Selanjutnya Kant mengatakan indra dan akal (ratio) itu terbatas
kemampuannya, indra dan akal hanya mampu memasuki wilayah fenomena, bila indra
masuk wilayah noumena maka ia akan tersesat dalam paralogisin. Wilayah noumena itu
hanya mungkin dijelajahi oleh akal praktis.
Akal teoretis (rasional) tidak melarang kita memerintahkan untuk
memercayainya. Rousseau dalam Will Durran (1959) mengatakan, bahwa di atas akal
rasional di kepala ada perasaan hati, oleh karenanya sesuatu yang benar secara
rasional di kepala belum tentu sama kebenarannya dengan kebenaran hati. Maka
puncak kebenaran mi di atas akal rasional berada di wilayah hati.
Argumen akal tentang adanya Tuhan, juga tentang yang gaib yaitu objek
metarasional, tidak dapat dipegang kebenarannya. Bila akal rasjo masuk ke
wilayah ini ia akan tersesat. Hal lain Kant mengemukaka0 kasus argumen yang
sering dikemukakan oleh teolog rasionalis untuk membuktikan adanya Tuhan, yaitu
argurnen pengaturan alam semesta. Dalam argumen mi dikatakan bahwa alam mi
teratur, yang mengatur yaitu maha pengatur, yaitu Tuhan. Hal ini dibenarkan
oleh Kant, bahwa alam ini memang teratur. Banyak isi alam mi yang begitu
teratur yang dapat membawa kita pada kesimpulan adanya Tuhan yang mengaturnya.
Tetapi kita juga menyaksikan bahwa alam mi juga mengandung banyak
ketidakteraturan, atau kekacauan, bahkan menyebabkan kesulitan dan kematian.
Jadi, terdapat perlawanan di alam secara realitas, inilah secara
keseluruhan, akan tetapi itu pun tidak kuat untuk dijadikan bukti adanya Sang
Pengatur. Dengan kata lain, Kant menyatakan Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan
akal atau rasio teoretis, tapi perlu didukung oleh hati yang dia katakan moral
“dhamir”.
Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu
(Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
ReplyDeleteJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)