Thursday, September 4, 2014

ASPEK ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN (Bab 8)

Bab 8
ASPEK ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN

A. ORIENTASI KE ARAH ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN
Socrates menggambarkan akal merupakan segalanya, dan merupakan pokok serta satu-satunya jalan yang dapat menuntun manusia mencari kebenaran. Ia berfilsafat untuk hidup, karena dengan berpikir maka eksistensinya sebagai manusia dapat dipertahankan. Filsafat jika ditinjau lebih mendalam lagi bukan sekadar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafat merupakan pondasi awal dan segala macam disiplin keilmuan yang ada. Adapun ilmu merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dan waktu ke waktu. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu, seperti agama, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi.
Ilmu yaitu suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah, empiris, dan logis. Theo Marc dalam Atang Munaja (1988) menyatakan, ilmu adalah segala sesuatu yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta dapat dipertanggung jawabkan dengan bukti yang konkret. Dan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam bentuk yang baku haruslah mempunyai paradigma (positivistic paradigm) serta metode yang jelas (scientific method) yang juga dikorelasikan dengan bukti yang empiris yang mampu diterapkan secara gamblang (transparan).
Filsafat ilmu yaitu bagian dan filsafat pengetahuan atau serjng juga disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni episcmc yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier pada 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni epistemologi dan ontologi (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontologi (teori tentang apa). Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu yaitu dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah yaitu yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedernikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan
secara prosedural, metodologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikfan teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan Adapun pengetahuan tak ilmiah yaitu yang masih tergolong pra-ilmiah.
Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan indriawi yang Secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh Nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Adapun pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu.
Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis disebut sebagai pengetahuan “naluriah”. Ahrnad Tafsir (2006) mengemukakan perbandingan ilmu pengetahuan manusia ini sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:


PENGETAHUAN MANUSIA








Selanjutnya menurut Sirajuddin Zar pengetahuan terdiri dua hal, yaitu: Pertamci, pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan ini diperoleh manusia lewat wahyu Allah SWT. Manusia menerima kebenaran wahyu lewat keimanan dalam hatinya. Kedua, pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan indra, yaitu pengetahuan yang peroleh berdasarkan pengalaman sehari-hari, seperti air yang mengalir ke tempat yang rendah, gaya gravitasi Bumi, dan lain sebagainya. Lebih jauh Zar mengatakan, secara terminologi pengetahuan memiliki beberapa definisi Pertama, pengetahuan yaitu apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu ini merupakan hasil dari kenal, sadar, dan mengerti. Pengetahuan itu yaitu semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian, pengetahuan merupakan hasil proses dan usaha manusia untuk tahu. Kedua, pengetahuan yaitu proses kehidu pan yang diketahui manusia secara langsung dan kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif, sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Ketiga, pengetahuan yaitu segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu, seni, dan agama. Pengetahuan ini merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak langsung memperkaya kehidupan kita.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indra maupun lewat akal, dapat juga objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan. Pengetahuan yaitu keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan yaitu informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat, cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji, karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cenderung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.
Amsal Bakhtiar (2009) mengatakan, ilmu memiliki ciri khusus yang membedakan dengan bidang non-ilmu, ciri ilmu utamanya antara lain: Pertama, ilmu yaitu sebagian pengetabuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan Serta pengalaman pribadi. Kedna, berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis Karena itu koherensi sisternatik yaitu hakikat ilmu. Prinsip objek dan hubungannya yang tercermin dalam kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip prinsip metafisis objek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi rohani terhadap realitas tetapi oleh berpikir. Ketiga, ilmu tidak rnernerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu termuat di dalam dirinya sendiri hipotesis dan teori yang belurn sepenuhnya diman. tapkan. Keein pat, ciri hakiki lainnya dan ilmu yaitu metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dan banyak pengamatan ide yang terpisabpisah. Sebaliknya, ilmu rnenuntut pengamatan dan berpikir metodis, tentata rapi. Alat bantu metodologis yang penting yaitu terminologi ilmiah; yang disebut belakangan ml mencoba konsep ilmu. Ciri-ciri ilmu demikjan yang akan menandai tingkat keilmiahan suatu bidang. Ilrnu pengetahuan itu jelas ada tanda-tanda keilmiahan,
Selanjutnya Amsal mengatakan, ilmu sebagai pengetahuan ilmiah berbeda dengan pengetahuan biasa, dia memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
Pertaina, siternatis; para filsuf dan ilmuwan sepaham bahwa ilmu merupakan pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Ciri sisternatis ilrnu rnenunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai keterangan, dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu rnernpunyai hubungan saling ketergantungan yang teratur (pertalian tertib). Pertalian tertib dirnaksud disebabkan, adanya suatu asas tata tertib tertentu di antara bagian yang merupakan pokok soalnya.
Kedua, empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengamatan serta percobaan secara terstruktur di dalam bentuk pengalarnan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu mengamati, menganalisis, menalar, rnembuktikan, dan menyimpulkan hal-hal ernpiris yang bersifat faktawi (faktual), baik berupa gejala maupun kebatinan, gejala-gejala alani, gejala kejiwaan, gejala kemasyarakatan, dan sebagainya. Sernua hal fakta dimaksud dihimpun serta dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan persediaan bagi ilmu. Ilmu dalam hal ini bukan sekadar fakta, melainkan fakta yang diamati dalam suatu aktivitas ilmiah melalui pengalaman. Fakta bukan pula data, berbeda dengan fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi indriawi.
Ketiga, objektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengetahuan yang bebas dan prasangka perorangan (personal bias), dan perasaan subjektif berupa kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung pernyataan serta data yang menggambarkan secara terus terang atau mencerminkan secara tepat gejala yang ditelaahnya. Objek tivitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan pengetahuan itu haruslah sesuai dengan objeknya (baik objek material maupun objek formalnya), tanpa diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subjektif dari penelaanya
Keempat, analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan membedakan pokok soalnya ke dalarn bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian bagian itu. Upaya pemilahan atau penguraian suatu kebulatan pokok soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu bidang keilmuan senantiasa tersekat-sekat dalam cabang yang lebih sempit sasarannya. Melalui itu, masing-masing cabang ilmu itu membentuk aliran pemikiran keilmuan baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus dikembangkan secara khusus menuju spesialisasi ilmu.
Kelima, verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran yang terbuka untuk diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan disampaikan kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi) dimaksudlah yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar dapat diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau diverifikasi dari berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui benar. Gin verifikasi ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleb manusia untuk menemukan suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran ilmiah. Kebenaran ini dapat berupa asas-asas atau kaidah yang berlaku umum atau universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan.
Melalui itu, manusia berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa mendatang dan menerangkan atau menguasai alam sekelilingnya. Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit mengerti dan meramalkan, serta menguasai gejala atau peristiwa alam, seperti hujan, banjir dan gunung meletus. Orang, karena itu, lari kepada takhayul atau mitos yang gaib. Namun demikian, setelah adanya ilmu, seperti vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa itu serta meramalkan hal-hal yang akan terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat menguasainya untuk kemanfaatan diri atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itulah, orang cenderung mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan Yang teratur dan telah disahkan secara baik, yang dirumuskan untuk maksud menemukan kebenaran umum, serta tujuan penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran ilmu demi kepentingan pribadi atau masyarakat dan alam lingkungan
Selain kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan lainnya, misalnya ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu dalam hal ini sukar, namun, juga sangat, muda dalam arti, senantiasa merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide- ide baru. Ilmu berciri faktual, dalam arti ilmu tidak memberikan penilaian baik atau buruk terhadap apa yang ditelaahnya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi si pengguna. Pandangan terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolak, karena menurut mereka ilmu sebagai suatu hasil budaya manusia selalu bertautan atau berhubungan dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai dan selalu harus bertanggung jawab atasnya.
Dilihat dari sudut pertanggungjawabannya, ilmu pengetahuan ilmiah dapat dilihat dari tiga sistem, yaitu: Pertama, sistem aksiomatis, artinya sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu-ilmu formal, misalnya matematika. Kedua, sistem empiris, sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi, bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu statistik. Urnumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu pengetahuan alam dan sosial. Ketiga, sistem semantik atau linguistik, dalam sistem kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu bahasa . (linguistik)
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) melainkan merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah. Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, melainkan merupakan teori, prinsip atau dalil yang berguna bagi perkembangan teori, prinsip atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan merupakan rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut. Pengertian percobaan di sini yaitu pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Definisi tersebut memberi tekanan pada makna dan manfaat ilmu pengetahuan. Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru akan diukur hasilnya, yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, tetapi sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang ber
kesinambungan.
Dilihat dari sudut sejarah perkembangannya, ilmu pengetahuan di zaman dahulu bermula dari tingkat berpikir yang lazim disebut tahap mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuan yang berlaku juga untuk objeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua objek tampil
dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segalanya. Fenomena ini sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan.
Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang pejabat pernikahan. ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya yaitu tahap ontologis, Yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dan objek di sekitarnya, dan dapat menelaah nya.Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis objek metafisika pasti tidak akan mengakui status ilmiah dan ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah objek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah Yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif yaitu menarik kesimpulan khusus dan yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian
kebenaran. Dengan kata lain kesimpulan itu praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan itu sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dan dukungan data empins melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dan yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukkan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, tetapi lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu itu secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspek aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu napas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman indriawi.
Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diveriflkasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan kata lain, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. kedua, dari segi epistemologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode, dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Ketiga dan segi aksiologi, sebagaimana telah disinggung di atas, terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Jujun S. Suriasumantri (1983), memberikan gambaran ketiga aspek ini seperti tergambar dalam
tabel di halaman 174.

B. HAKIKATONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN

Ontologi yaitu cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir (2011) menjelaskan bahwa ontologi itu ilmu yang membicarakan tentang the being; yang dibahas ontologi yaitu hakikat realitas. Dalam penelitian kuantitatif, realitas tampil dalam bentuk jumlah. Adapun dalam penelitian kualitatif, ontologi  muncul dalam bentuk aliran, misalnya idealisme, rasionalisme, materialisme. Keterkaitan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif memang tidak perlu diragukan. Jadi, ontologi itu yaitu ilmu yang membahas seluk beluk ilmu.
Secara etimologi ilmu dalam bahasa Inggris berarti science. Pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan, bahwa deflnisi pengetahuan yaitu kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief,). Ontologi itu ilmu yang menelusuri tentang hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu penge

TAHAPAN DAN ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI DALAM ILMU PENGETAHLJAN

Tahapan
Aspek
Ontologi (Hakikat
 Ilmu)
-      Objek apa yang telah ditelaah ilmu?
-      Bagaimana wujud yang hakiki dan objek tersebut?
-      Bagaimana hubungan antara objek tadi dan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
-      Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?
-      Bagaimana prosedurnya?
Epistemologi
(Cara Mendapatkan
Pengetahuan)
-      Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?
-      Bagaimana prosedurnya?
-      Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?
-      Apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri?
-      Apa kriterianya?
-      Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Aksiologi
(Guna Pengetahuan)
-      Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
-      Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah moral?
-      Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
-      Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma- norma moral/profesional?

tahuan adalah keberadaan suatu fenomena kehidupan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan keflisafatan yang paling kuno. Awal pemikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dan segala yang ada. Pertama kali orang dihadapkan pada persoalan materi (kebenaran), dan kedua pada kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Kedua realitas mi, yaitu lahir dan batin, merupakan hakikat keilmuan manusia. Manusia memiliki dua sumber ilmu, yaitu (1) ilmu lahir yang kasatmata dan bersifat observable, tangible; dan (2) ilmu batin, metafisik yang tidak kasatmata.
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat yaitu realitas, artinya kenyataan yang sebenarnya. Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab pertanyaan “apa itu ada,” yang menurut Aristoteles merupakan the first philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda-benda (sesuatu). Sebenarnya bukan sekadar benda yang penting, melainkan fenomena di jagat raya ini, apa dan mengapa ada. Di alam Seimesta ini, kalau direnungkan banyak hal yang menimbulkan tanda tanya besar.
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, pengertian ontologi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontos = being atau ada, dan logos ilmu. Jadi, ontologi adalah the theory of being quq being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Atau bisa juga disebut sebagai ilmu tentang yang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya, satu pemikiran fisafat selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu yang bersifat
ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia. Tegasnya, bila suatu pemikiran tidak merniliki keberadaan (landasan ontologi) atau tidak mungkin pula untuk diadakan, maka pikiran itu hanya berupa khayalan, dorongan perasaan subjektif, atau kesesatan berpikir yang dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat ada atau realitas ada itu, bagi filsafat, selalu bersifat utuh (eksistensial). Misalnya, bila secara ilmu hukum kita berpikir tentang kebenaran atau keadilan, maka dapat ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa diadakan dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak (disangkal) kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan atau jiwa maka sekurang-kurangnya harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa Tuhan atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu hanya berupa suatu ide kosong atau khayalan yang mudah ditolak kebenarannya. Realitas ontologis itulah yang menjadi dasar pemikiran hukum, teologi, atau psikologi, sehingga pemikiran hukum, teologi, atau psikologi ini bias buktikan dan didukung (diafirmasi) atau difalsiflkasikan (ditolak), atau disingkirkan (dinegasi). Realitas ada yang menjadi objek pemikiran dan pembuktian suatu pemikiran flisafat selalu dipahami sebagai suatu kenyataan yang utuh, sempurna, dan dinamis, baik dari sisi materi maupun rohani, atas-bawah, hitarn-putih, dan sebagamnya. Ontologi terbagi atas dua, yaitu ontologi umurn yang disebut metafisika, dan ontologi khusus
seperti kosmologi, theodice, dan sebagainya.
Heidegger (1981) mengatakan, istilah ontologi pertama kali diperke nalkan oleh Rudolf Goclenius pada 1936 M, untuk menamai hakikat yang ada bersifat metafisis. Dalarn perkernbangannya, Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus. Metaflsika umum yaitu istilah lain dan ontologi. Dengan demikian, metafisika atau ontologi yaitu cabang filsafat yang membahas tentar prinsip yang paling dasar atau paling dalam dan segala sesuatu yang adal Adapun metaflsika khusus masih terbagi menjacli Kosmologi, Psikologj dan Teologi. Ontologi cenderung dekat dengan metafisika, yaitu ilmu tentang keberadaan di balik yang ada,
Dua pengertian ini merambah ke duniahakikat suatu ilmu. Ontologi membahas masalah ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal mulanya Ilmu itu ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Dengan berpikir ontologi, manusia akan memahami tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger eksistensi membicarakan masalah ada, misalnya cara manusia ada. Manusia ada ketika dia sadar diri, pada saat memahami tentang “aku”. Ada semacam ini menjadi wilayah garapan ontologi keilmuan.
Objek yang menjadi kajian dalam ontologi ini yaitu realitas yang ada. Ontologi yaitu studi tentang yang ada secara universal, dengan mencari pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya. Jadi, ontologi merupakan studi yang terdalam dan setiap hakikat kenyataan, misalnya; (a) dapatkah manusia sungguh-sungguh memilih sesuatu; (b) apakah ada Tuhan di dunia mi; (c) apakah nyata dalam hakikat material ataukah spiritual; (d) apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan; (e) apakah hidup dan mati itu dan sebagainya.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan usaha manusia dan proses berpikir kritis, Akal budi manusia yang melahirkan ilmu pengetahuan. Dalam fenomena hidup yang sangat sederhana pun akan terkait dengan ilmu pengetahuan. Orang yang gemar memelihara belut pun butuh ilmu pengetahuan. Orang yang gemar memelihara ular pun begitu. Tidak ada satu pun fenomena yang lepas dan ilmu pengetahuan. Maka, di jagat perguruan tinggi sudah lahir sekian banyak cabang ilmu pengetahuan yang mungkin kita tidak begitu mengenal. Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan yaitu pemikiran yang sungguh-sungguh, suatu cara berpikir yang penuh kedisiplinan. Seorang pemikir ilmuwan tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun semuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir keilmuan secara fliosofis, yaitu: (a) berpikir sungguh-sungguh; (b) disiplin; (c) metodis; dan (d) terarah kepada pengetahuan. Berpikir keilmuan, secara fllosofis, karenanya hendak mengatasi kekeliruan dan kesesatan pikir serta mempertahankan pemikiran yang benar terhadap kekuatan fantasi dan omong kosong.


C. CARA BERPIKIR ONTOLOGIS DALAM ILMU PENGETAHUAN

Menurut Muhadjir (2011), cara berpikir ontologis dapat berbenturan dengan suatu agama. Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman atau keyakinan. Filsafat ilmu ontologi tidak mengajak berdebat antara ilmu dan iman. Ontologi hendak meletakkan dasar keilmuan. Dalam filsafat ilmu Jawa, misalnya ada pemikiran ontologi: benarkah Tuhan itu tidak tidur. Jawaban atas realitas abstrak ini perlu dijawab secara ontologisme melalui perenungan ilmiah. Masalahnya ketika orang memberiarkan hasil renungannya tentang Tuhan dan tidur, berarti Tuhan itu mengenal lelah dan kantuk. Jika hal mi benar, berarti Tuhan itu apa bedanya dengan manusia. Jika manusia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan, muncul lagi pertanyaan bagaimana wujud yang hakiki dan Tuhan? Bagaimana hubungan antara Tuhan dan daya tangkap manusia seperti berpikir, merasa, dan mengindra yang membuahkan pengetahuan? Lebih lanjut, apa sebenarnya yang disebut dengan dengan ilmu pengetahuan, apa saja jenis-jenis ilmu pengetahuan? Dan mana sumbernya? Banyak prtanyaan yang menggelitik tentang hakikat kesemestaan. Semakin kritis seseorang berpikir tentang ada, maka dunia mi seolaholah semakin rumit dan semakin menarik dikaji.
Hal-hal tersebut semakin memperjelas ontologi sebagai cabang filsafat ilmu yang mencoba mencermati hakikat keilmuan. Membahas ilmu dan dasar keilmuan itu ada, bentuk ilmu, wajah ilmu, serta perbandingan satu ilmu dengan yang lain akan menuntun manusia berpikir ontologis. Ontologi menjadi pijakan manusia berpikir kritis tentang keadaan alam semesta yang sesungguhnya. Itulah esensi dan peta jagat raya yang misterius penuh dengan teka-teki. Ilmu itu telah tertata sistematis dengan pengalaman metodologi yang rapi. Sebelum menjadi ilmu, sebenarnya masih berupa pengetahuan. Pengetahuan yaitu keseluruhan yang diketahui yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Pengetahuan yaitu informasi yang berupa common sense masih terserak dan umum. Pengetahuan itu juga pengalaman manusia, pengalaman yang mantap akan menjadi ilmu pengetahuan. Ilmu seperti lidi yang sudah diraut dan telah menjadi sekumpulan sapu lidi, sedang pengetahuan sepertilidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat lain yang belum tersusun dengan baik. Dengan ontologi, orang akan mampu membedakan mana ilmu dan mana pengetahuan, mana ilmu pe-. ngetahuan dan mana non ilmu.
Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan menjadi lebih jelas bila dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain. Filsafat dalam hal ini lebih merupakan suatu pemikiran yang universal, menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainnya lebih merupakan pemikiran yang lebih spesifik atau khusus, karena dibatasi pada objek dan sudut pandang pemikirannya yang khas. Objek penelitian flisafat mencakup segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menyimak dan menyingkap seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dan segala sesuatu. Filsafat, karenanya ingin mengkritisi dan menembusi berbagai sekat pemikiran ilmu lainnya, serta berusaha mencapai sebab terakhir dan mutlak (absolut) dan segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama yaitu kegiatan manusia, dalam hal ini secara khusus kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang merupakan kegiatan pertama yang secara langsung dialami oleh manusia. Manusia, di dalarn kegiatannya yang pertama dimaksud, menjadi sadar akan eksisteflsiflya sendiri dan eksistensi orang atau hal lainnya. Filsafat, karena itu, berusaha mendalami, rnenyingkap, dan menjelaskan kesadaran eksistensi din manusia dan sesama yang lain, secara luas dan mendalam sampai ke akar-akar realitasnya yang fundamental. Proses penelitian filsafat itu mulai dan bentuk pengetahuan biasa yang dimiliki individu dalam kehidupan sehari-harinya, warisan budaya masa lalu, dan juga hasil penelitian dan pemikiran ilmu Iainnya yang bersifat khusus. Jenis pengetahuan khusus mi sungguh membantu filsafat, tetapi juga membantu bentuk-bentuk pengetahuan khusus dan ilmu lain itu untuk makin memantapkan dan menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan karenanya, filsafat lebih merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan “kebijaksanaan Ilahi” yang sempurna dan mutlak abadi. Maka itu filsafat berbeda dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat Allah dan kegiatannya di dalam dunia berdasarkan wahyu adikodrati. Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia tetap bukan ciptaan rasio semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan bagian integral dan keutuhan eksistensi manusia yang terkait dengan aspek-aspek lainnya dan tatanan eksistensi manusia itu sendiri yang bersifat “monopluralis” (satu di dalam banyak dan banyak di dalam satu). Filsafat tidak hanya berupaya memuaskan pencarian manusia akan kebenaran, tetapi ia juga berusaha
menerangi dan menuntun arah atau orientasi kehidupan manusia secara kritis dan jelas, bukan dengan spekulasi yang absurd, hambar, dan penuh khayalan yang sia-sia.
Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoisme keilmuan, atau pardangan kepribadian yang bersifat ihdividual semata. Justru filsafat berusaha menguji, mengkritisi, dan berusaha mengajukan pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan tuntutan dinamika perkembangan yang dihadapi. Filsafat, karena itu, tidak akan pernah menjadikan dirinya sebagai kebenaran ideologis yang serba sempurna dan serba oke, yang membelenggu manusia. Justru filsafat tetap yaitu suatu program pencerahan dalam rangka otonomi, emansipasi, dan perkembangan manusia. Immanuel Kant, dalam Kunto Wibisono (1997) mengatakan, untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan yang lainnya memang tidaklah mudah. Khazanah kehidupan manusia yang begitu luas memang memungkinkan menguasai berbagai pengetahuan. Seseorang dapat memiliki berbagai pengetahuan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Setiap pengetahuan tentu memiliki ciri khasnya, hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada Seperti ilmu pengetahuan, seni, dan agama, serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing sehingga memperkaya kehidupan kita. Orang dapat mengenal hakikat bahasa, sastra, dan budaya menurut katagori tertentu. Tanpa mengenal katagori dan ciri khas setiap pengetahuan dengan benar, maka kita tidak dapat menggunakannya secara maksimal bahkan dapat menjerumuskan kita. Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu
dan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal itu.
Selanjutnya dikatakan Kant dalam Kunto, bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Francis Bacon menyebut filsafat Sebagai ibu agung dan ilmu (the great mother of the sciences). Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge,” maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: ilmu (pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffl (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mecari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaima ditunjukkan oleh ilmu.
pngetahuan (knowledge) yaitu sesuatu yang diketahui langsung dan pengalaman, berdasarkan pancaindra dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pengetahuan masih pada tataran indriawi dan spontanitas belum ditata melalui metode yang jelas. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek. Namun kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih belum tertata dengan rapi, belum teruji secara metodologis. Orang melihat kebakaran, itu pengetahuan orang melihat tsunami lan ke tempat yang tinggi, itu pengetahuan. Pengetahuafl masih sering bercampur dengan insting.
Ilmu (sains) berasal dan bahasa Latin, scientia, yang berarti knowledge. Ilinu dipahami sebagai proses penyelidikan yang memiliki disipun tertentu. Ilmu bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala alam. Meramalkan tidak lain suatu proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsmran. Ilmu sebenarnya juga suatu pengetahuan, namun telah melalui proSeS penataan yang sistematis. Ilmu telah memiliki metodologi yang andal. Ilmu dan pengetahuan sering kali dikaitkan sehingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan pengetahuan selalu terjadi di ranah penelitian apa PUfl. HI-flu tanpa pengetahuan tentu sulit terjadi. pengetahuan yang disertai ilmu jelas akan lebih berarti.
Ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang telah diolah kembali dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten, dan koheren. Metodis, berarti dalam proses menemukan dan mengolah pengetahuan menggunakan metode tertentu tidak serampangan. Sistematis, berarti dalam usaha menemukan kebenaran dan menjabarkan pengetahuan yang diperoleh rnenggunalcan langkah-langkah tertentu yang terarah dan teratur sehingga menjadi suatu keseluruhan yang terpadu. Selain tertata, tersistem, dan terpadu pengetahuan perlu disintesiskan secara koheren. IKoheren, berarti setiap bagian dan jabaran ilmu pengetahuan itu merupakan rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian. Konsistensi (conistence) merupakan ciri dari ilmu pengetahuan yang disebut ilmiah. Iimiah yaitu kadar berpikir, berakal budi yang disertai penataan.
Wilayah ontologi yaitu ruang penataan eksistensi keilmuan. dan ciri-ciri ilmu pengetahuan seperti inilah yang membedakan dengan pengetahuan biasa. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan itu harUs dipilah (menjadi suatu bidang tertentu dan kenyataan) dan disusun secara metodis, sistematis, dan konsisten. Melalui metode ilmiah suatu pengalaman bisa diungkapkan kembali secara jelas, perinci, dan akurat. Penataan pengetahuan secara metodis dan sistematis membutuhkan proses.
Thales, Plato, dan Aristoteles ialah tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dan meletakkan dasar ilmu pengetahuan. Sebagaimana pengetahuan, hakikat maupun sejarah perkembangan ilmu ito sendiri merupakan suatu problem di dalam filsafat. Pada zaman Yuflani Kuno, ilmu dipandang sebagai bagian dan filsafat; pada saat lain, terpisah dan filsafat. Ilmu dahulu dipandang sebagai disiplin tunggal (bersifat monistik), dan sekarang dipandang sebagai seperangkat disipun yang dinamis dan terlepas-lepas berdasarkan spesialisasi ilmu atau keahlian. Dahulu ilmu dipandang sebagai hal yang berurusan dengan kenyataan (fakta) fisik, sekarang ilmu dianggap bergumul dengan fenomena (gejala fisik dan nonfisik). Karenanya, ilmu kemudian dikategorikan ke dalam tipe deduktif dan induktif.
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat (yang dipahami sebagai ilmu). Filsafat dan ilmu bersifat saling menjalin dan orang tidak memisahkan keduanya sebagai hal yang berbeda. Filsafat dan ilmu berusaha mene liti dan mencari unsur-unsur dasariah alam semesta. Usaha ini sekarang disebut usaha keilmuan (usaha ilmiah).
Thales (640-546 SM) merupakan pemikir pertama, yang dalam sejarah filsafat disebut the Father of Philosophy (Bapak Filsafat). Banyak sarjana kemudian mengakui Thales sebagai ilmuwan yang pertama di dunia. Bangsa Yunani rnenggolongkan Thales sebagai salah seorang dan seven wise men of greece (tujuh orang arif Yunani). Thales mengembangkan filsafat alam (kosmologi) yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Thales, dalam penyelidikan keilmuannya, menyimpulkan bahwa penyebab utama (causa prima) dan semua alam itu adalah “air” sebagai materi dasar dan kosmis. Sebagai ilmuwan, Thales mengembangkan fisika, astronomi, dan matematika, dengan antara lain mengemukakan beberapa pendapat keilmuannya: bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya matahari, menghitung terjadinya gerhana matahari, dan membuktikan dalil-dalil geometri. Prestasi Thales dalam sejarah keilmuan, ditunjukkannya dalam hal pembuktian dalilnya bahwu kedua sudut alas dari satu segitiga sama kaki, sama besarnya. Thales, melalui itu, menunjukkan bahwa ia ialah ahli matematika dunia yang pertama dan Yunani. Para ahli dewasa mi, justru itu, menyebut Thales sebagai ‘ the Father of Deductive Reasoning’ (Bapak Penalaran Deduktif). Pythagoras (572-497 SM) ialah ilmuwan Yunani Kuno yang muncul sebagai ilmuwan matematika.Ia mengajarkan bahwa bilangan merupakan intisari dan semua benda serta dasar pokok dari sifat-sifat benda.
Dalil Pythagoras tersebut “number rules the universe” (bilangan memerintahkan jagat raya ini). ia berpendapat bahwa matematika merupakan salah satu sarana atau alat bagi pemahaman filsafat. Plato (428-348 SM) ialah filsafat besar Yunani dan ilmuwan spekulatif, yang menegaskan bahwa filsafat atau ilmu merupakan pencarian yang bersifat perekaan (spekulatif) tentang seluruh kebenaran. Plato, dalam hal mi memandang ilmu sebagai hal yang berhubungan dengan opini atau ajaran (doxa). Ia mengajarkan bahwa geometri merupakan ilmu rasional berdasarkan akal murni, yang berusaha membuktikan pernyataan (proposisi) abstrak mengenai ide yang abstrak, misalnya segitiga sempurna, lingkaran sempurna, dan sebagainya.
Aristoteles (382-322 SM) lebih memahami ilmu sebagai pengetahuan demonstratif, tentang sebab-sebab utama segala hal (causa prima). Ilmu dalam hal mi bersifat teoretis (ilmu tertinggi), praktis (ilmu terapan), dan produktif (ilmu yang bermanfaat), semuanya dalam kesatuan utuh (tidak bersifat ilmu majemuk). Aristoteles mempelajari berbagai ilmu, antara lain biologi, psikologi, dan politik. Ta juga mengembangkan ilmu tentang penalaran (logika), yang dalam hal mi disebutnya dengan nama analitika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pada premis yang benar; dan dialektika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pikir pada hal-hal yang bersifat tidak pasti (hipotesis). Semua tulisan Aristoteles tentang ilmu tentang penalaran (logika) itu ditulis dalam enam naskah yang masingmasingnya berjudul Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, Sophistical Refitations. Jelasnya, perkembangan sejarah ilmu pada abad Yunani Kuno telah berkembang dalam empat bidang keilmuan, yaitu filsafat (kosmologi), ilmu biologi, matematika, dan logika, dengan ciri perkembangannya masing-masing. Selama abad pertengahan, ilmu atau scientia dipahami sebagai jenis pengetahuan yang dipunyai Allah tentang manusia. Ilmu, karenanya, dilihat semata-mata dalam perspektif ilmu teologi, artinya ilmu memiliki kedudukan dan peranan sebagai pelayanteologi. Triviwn, yaitu gramatika, retorika, dan dialektika; dan quardriviwn, yaitu aritmatika, geomerti, astronomi, dan musik, di pihak lain memuat sejumlah studi yang dianggap sebagai ilmu dalam arti yang kurang ketat. Averroes menganggap being (yang ada) sebagai istilah yang seragam sama persis (univok) untuk memandang ilmu sebagai pengetahuan abadi yang berurusan dengan ke apaan semua hal.
Ilmu mengalami perkembangan revolusioner pada abad modern. Muncul para tokoh pembaru seperti Galileo Galilei, Francis Bacon, Roger Bacon, René Descartes, dan Ishak Newton yang memperkenalkan matematika dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Ilmu akhirnya berkembang dengan sifatnya yang eksperimental, bercabang-cabang, dan partikular (saling terpisah), serta otonom. Bahkan, sejarah keilmuan abad modern telah menampilkan spesialisasi sebagai ciri keilmuan modern itu sendiri. Roger Bacon, sejak awal zaman modern telah mengembangkan dasar-dasar keilmuannya yang bersifat ilmu eksperimental. Roger Bacon, dalam hal ini berusaha mengembangkan ilmu dengan melibatkan kegiatan pengamatan (observasi), prosedur metodik (induktif), maupun matematika yang dianggap lebih tinggi dan ilmu-ilmu spekulatif (misalnya teologi), yang dikembangkan sebelumnya pada Abad Pertengahan. Paham keilmuan mi kemudian lebih diperkuat lagi oleh Francis Bacon, yang menandaskan peranan metode induktif di dalam ilmu. Francis Bacon menunjukkan bahwa metode induktif merupakan jalan satu-satunya menunju kebenaran ilmu, serta menunjukkan kegunaan ilmu itu sendiri. Menurut Francis Bacon, ilmu bersifat majemuk karena mencermin yang kan aneka fakultas (kemampuan) manusiawi. Misalnya, ilmu alam berawal dan kemampuan akal, sementara sejarah berasal dari kemampuan ingatan. Thomas Hobbes, di kemudian han, membagi ilmu ke dalam dua tipe, yaitu ilmu yang berasal dan fakta seperti nyata dalam ilmu empiris eksperimental, dan ilmu yang berasal dan akal seperti nyata dalam ilmu spekulatif. Galileo Galilei menjalankan sepenuhnya metode yang digariskan oleh Roger Bacon. Menurut Galileo (ilmuwan besar dunia dan Itali) ilmu berkembang dan filsafat alam yang lebih dikenal sebagai ilmu alam, melalui pengukuran kecepatan cahaya sampai penimbangan obor udara Sebagai ilmuwan matematika, ia mengajarkan suatu ucapannya yang sangat terkenal, yaitu “Filsafat ditulis dalam sebuah buku besar, tetapi buku itu tidak dapat dibaca dan dimengerti bila orang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan membaca huruf-huruf yang dipa-kai untuk menyusunnya, yaitu matematika.”
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya di tangan Ishak Newton. Menurut Newton, inti keilmuan yaitu pada pencarian pola data matematis, dan karena itu ia berusaha membongkar rahasia alam dengan menggunakan matematika. Ilmuwan dunia dan Inggris mi berhasil merumuskan suatu teori tentang “gaya berat” dan “kaidah mekanika” yang semuanya tertulis melalui karyanya yang berjudul Philosophiae Natural is Principia Mathematica (Asas-ascis Mateinatika dan Filsafat Alain), diterbitkan pada 1687. Perkembangan pada kemudian han, ternyata Plillosophia Naturalis memisahkan din dan filsafat dan para ahli menyebutnya dengan nama fisika. Jelasnya, pandangan keilmuan abad modern yang berciri empiris-eksperimental dengan pendekatan induktifnya yang ketat, telah dikembangkan secara lebih progresif oleh Ishak Newton dalam suatu perspektif keilmuan yang berciri positivistik. René Descartes, menunjukkan suatu kecenderungan lain di dalam paham keilmuannya. Kenyataan mi makin menunjukkan ciri perkembangan keilmuan modern yang bersifat majemuk dan partikular (terpisah-pisah). Menurut Descartes, ilmu tidak memiliki basis lain kecuali akal budi. Metode akal budi dapat diterapkan dalam problem apa pun. Ilmu memiliki keterkaitan batiniah dengan kepastian dan sungguh-sungguh disejajarkan dengan paham Abad Pertengahan tentang premis-premis ketuhanan dalam ilmu.
Dunia keilmuan modern mengalarni perkembangan dengan munculnya cabang-cabang keilmuan modern. Perkembangan mana terjadi karena berkat penerapan metode empiris yang makin cermat serta pemakaian alat-alat keilmuan yang lebih lengkap. Bahkan, perkembangan mi disebabkan pula oleh adanya arus komunikasi antar-ilmuawan yang senantiasa meningkat. Hal mana lebih menonjol pada 1700-an. Setelah memasuki usia dewasa, cabang-cabang ilmu mi memisahkan din dan flusafat, sebagaimana yang terjadi dengan fisika. Pemisahan mi pertamatama dilakukan oleh biologi, pada awal abad XIX, dan kernudian psikologi, yang kemudian disusul lagi oleh sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi, dan politik. Ciri perkembangan dunia keilmuan modern mi ditentukan oleh tokoh-tokoh berikut.
Auguste Comte, di sisi lain, makin memantapkan iklim pertentangan (konflik dan kontroversi) di dalam alam keilmuan modern. Comte mengonstatasi adanya kecenderungan keilmuan yang makin mengarah dan spektrum keabstrakan, misalnya matématika yang kian berkembang men1nju tahap positif dalam ilmu kemasyarakatan yang utuh dan sempuma (sosiologi). Tahapan perkembangan ilmu dimaksud sesuai urutan pemunculannya di dunia. “Positivisme” dalam keilmuan terletak pada pernyataan bahwa penjelasan ilmiah (eksplanasi) merupakan unsur dominan dalam setiap bidang pengalaman manusia. Tahapan perkembangan ilmu mi disebut hukum perkembangan.
Hukum tiga tahap tersebut mengingatkan pada pandangan Hegel dan Marx dengan ajaran dialektikanya yang memandang perkembangan sebagai suatu gerak linier dan “tertutup.” Artinya, mereka melihat proses perkembangan pemikiran atau pengetahuan dan ilmu dalam tahap yang saling terpisahkan dan tidak secara utuh (holistik) serta menyeluruh (komprehensif). Perkembangan ilmu pun cenderung dilepaskan secara total dan keseluruhan realitas kemanusiaan yang merupakan sumber utama pengetahuan dan ilmu itu sendiri. Perkembangan pengetahuan dan ilmu hanya berusaha untuk memenggal dan mengambil sebagian saja dan realitas itu, yaitu realitas fisik materialnya untuk menjadi objek atau dasar ontologis dalam mengembangkan ilmunya.Ontologi materialistik ini telah melahirkan pandangan keilmuan yang pincang tentang realitas serta menciptakan orientasi kehidupan yang sangat materialistik dalam kehidupan manusia modern.
Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara pengetahuan yang memuat penampakan dan kenyataan. Kedua hal mi dalam pandangan Thales sebagai filsuf pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula Se- gala sesuatu. Dia tampaknya melihat realitas dan sisi yang tampak; yang tampak itulah realitas (kenyataan). Secara saksama, dia sebenarnya telah berpikir ontologi tentang sangkaan peran alam semesta. Kita jarang menyadari bahwa dalam tubuh kita berasal dan air. Namun yang lebih penting, pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dan satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Ada ketergantungan dalam suatu ilmu pengetahuan me.mang sulit dielakkan. Ilmu pengetahuan apa pun, secara ontologismn tentu berkait dengan sumber yang lain. Maka kemandirian dalam ilmu atau otonomi ilmu pengetahuan itu hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakikat dan ilmu pengetahuan itu, bahkan hingga implikasinya ke bidang kajian lain seperti ilmu kealaman. Dengan demikian, setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam ka-
wasan filsafat.
Menurut Kunto Wibisono (1984), filsafat dan suatu segi dapat dideflnisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakikat dan sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono mengemukakan bahwa hakikat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologis, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal mula, sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis, dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi, yaitu nilai-nilai, ukuran mana yang akan digunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakikat ilmu itu, menurut Poespoprodjo dalam Koento, dapatlah dipahami bahwa perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar-ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu, dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dan itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa, sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dan kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.


D. KARAKTERISTIK ILMU PENGETAHUAN SECARA ONTOLOGIS

Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas. Orang yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelusuri realitas secara cermat. Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati dan sisi ontologi dengan dua macam sudut pandang kuantitatif dan kualitatif. Secara sederhana, ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Realitas itu yang menarik perhatian para ilmuwan. Tanpa realitas kitasulit menyebut apa yang ada di dunia dan hakikat yang ada di dalamnya.
Ontologi sebagai cabang filsafat ilmu telah melahirkan sekian banyak aliran ontologisme. Tiap aliran ontologi biasanya memegang pokok pikiran yang satu sama lain saling mendukung dam melengkapi. Beberapa aliran dalam bidang ontologi yakni realisme, naturalisme, dan empirisme. Aliran ini yang membangun pemikiran para ahli filsafat ilmu untuk memahami esensi suatu ilmu. Ilmu itu dapat ditinjau dan tiga aliran itu untuk menemukan hakikat.
Atas dasar ketiga aliran tersebut, ontologi selalu memiliki ciri-ciri khusus. Setiap aliran memberikan gambaran luas suatu cabang keilmuan. Ciri-ciri khas terpenting yang terkait dengan ontologi antara lain: Pertama, yang ada (being), artinya yang dibahas eksistensi keilmuan. Kedua, kenyataan atau realitas (reality), yaitu fenomena yang didukung oleh data-data yang valid. Ketiga, eksistensi (existence), yaitu keadaan fenomena yang sesungguhnya yang secara hakiki tampak dari tidak tampak. Keempat, esensi (essence), yaitU pokok atau dasar suatu ilmu yang lekat dalam suatu ilmu. Kelima, substansi (sLbstance), artinya membicarakan masalah isi dan makna suatu ilmu bagi kehidupan manusia. Keenam, perubahan (change), artinya ilmu itU cair, berubah setiap saat, menuju ke suatu kesempurnaan. Ketujuh, tunggal (one) dan jamak (many), artinya keadaan suatu ilmu dan fenomena itu terbagi menjadi dua. Ontologi akan mengungkap apa dan seperti apa benda, sesuatu, dan fenomena itu ada. Ada dalam konteks mi masih boleh dibantah.
Ontologi itu pantas dipelajari bagi orang-orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia mi dan berguna bagi studi-studi empiris, misalnya antropologi, sosiologi, kedokteran, ilmu budaya, fisika, dan ilmu teknik. Orangyang belajar ontologi akan paham tentang hakikat suatu ilmu. Tentu saja hakikat itu perlu disadari, diresapi, dan dinikmati. Setiap aliran ontologi tentu memiliki objek keilmuan yang berbeda-beda Objek telaah ontologi yaitu tentang ada. Ada dalam konteks ilmu, perlu didukung oleh fakta dan konfirmasi. Studi tentang yang ada pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada dan bersifat universal, menampilkan pemikiran yang universal. Setiap ilmu memiliki kekuatan universal yang berlaku dalam konteks kesejagatan. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Realitas alam sernesta memang tidak mudah dijelaskan karena memang sulit untuk dipahami. Tidak semua ilmu itu mudah dijelaskan jika tanpa pemahaman yang tajam.
Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia. Jadi, rnasih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide, nhlai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan, dan manusia itu sendiri. Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu, ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi, dan kuantitatif asumsi. Kedua, kelestarian relatif, artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Ketiga, determinasi, artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan.
Objek ontologi sama halnya dengan objek fllsafat seperti yang telah dibahas sebelumnya, yakni: Pertaina, objek formal, yaitu objek formal ontologi sebagai hakikat seluruh realitas. Objek formal mi yaitu cara memandang yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya. Objek formal dan suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama mernbedakannya dengan bidang yang lain. Satu objek formal dapat ditinjau dan berbagai sudut pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Kedua, objek material, yaitu sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencangkup hal konkret, misalnya manusia, tumbuhan, batu, atau hal-hal yang abstrak seperti ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Kedua objek ini akan membingkai pada berbagai penelitian. Penelitian akan menyangkut dua metode besar, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif.
Metode kuantitatif merupakan suatu realitas yang tampil dalam kuantitas atau jumlah, sedangkan kajiannya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau.hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu banyak sekali. Hylomorphisme diketengahkan pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya de anima. Dalam tafsiran para ahli selanjutnya dipahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, melainkan menampilkan aspek materialisme dan mental. Baik aspek mental maupun material, jika dipadukan akan memunculkan abstraksi manusia. Abstraksi pula yang membangun sejumlah ide dan jawaban terhadap keraguan ilmuwan. Jika direnungkan hampir tidak ada ilmu pengetahuan yang lahir tanpa melewati proses abstraksi. Ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: Pertama, abstraksi fisik, menampilkan keseluruhan sifat khas suatu objek. Kedua, abstraksi bentuk, mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua yang sejenis. Ketiga, abstraksi metafisik, mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dan semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi yaitu abstraksi metafisik. Ketiga abstraksi ini merupakan bagian dan berpikir ontologi, yaitu mernikirkan tentang hakikat suatu fenomena. Abstraksi akan membangun kemampuan berpikir yang logis terhadap suatu keadaan.
Dalam pemahaman ontologi ada beberapa karakter pemikiran, di an taranya monoisme. Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan yaitu satu saja, tidak rnungkin dua. Haruslah satu hakikat sebagai sumber asal, baik berupa materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran: (a) Materialisme, aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu mateni, bukan rohani. Aliran ini sering disebut
naturalisme. Menurut aliran ini zat mati merupakan kenyataan dari satu-satunya fakta yaitu materi, sedangkan jiwa atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. (b) Idealisme, sebagai lawan dan materialisme yang dinamakan spiritualisme. Idealisme berasal dari kata “ideal,” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dan roh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis dan penjelmaan rohani, yang meliputi:
Pertama, dualisme, aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat, sebagai asal sumbernya yaitu hakikat materi dan rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari benda, sama-sama hakikat, kedua macam hakikat ini masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam mi. Tokoh dan paham mi ialah Descartes (1596-1650 SM) yang dianggap sebagai Bapak Filsuf Modern.
Kedua, pluralisme, paharn ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dan keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno ialah Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Ketiga, nihilisme, berasal dan bahasa Yunani yang berarti nothing atau tidak ada. Istilah nihilisme dikenal oleh Ivan Turgeniev, novelis asal Rusia, doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, terbukti dalam pandangan Grogias (48 3-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas: (a) Tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. (b) Bila sesuatu itu ada, maka hal itu tidak dapat diketahui karena disebabkan oleh pengindraan itu tidak dapat dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi. (c) Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, hal itu tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Keempat, agnotisisme, paham mi mengingkani kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani, kata agnotisisme berasal dan bahasa Yunani. Ignotos berarti unknow, artinya not, Gno artinya Know. Timbulnya aliran mi dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.


Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)

KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI ILMUPENGETAHUAN (Bab 9)

Bab 9
KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI
ILMUPENGETAHUAN

A. HAKIKAT EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN

Manusia pada dasarnya ialah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban itu juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud di sini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, melainkan kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah. Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidak lah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru seba liknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji suatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dan setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya.
Jujun S. Suriasumantri (2010) mengatakan pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dan berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dan suatu pertanyaan diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dan itu muncullah masalab, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang pada ilmu filsafat disebut dengan epistemologi.
Lahirnya epistemologi pada hakikatnya yaitu karena para pemikjr melihat bahwa pancaindra manusia merupakan satu-satunya alat peng. hubung antara manusia dengan realitas eksternal. Dalam memahami dan memaknai realitas eksternal mi kadang kala dan bahkan senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain para pemikir sendiri berbeda pendapat dalarn banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran sofisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.

B. SEJARAH KONSTRUKTIVISME EPISTEMOLOGI

Jujun S. Suriasumntri (2010) mengatakan epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar: apa yang membedakan pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah? Secara praktis, pertanyaan mi ditranslasikan ke dalarn masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya, bagaimana kita bisa mengembangkan suatu teori atau model yang lebih baik dan teori yang lain? sejalan dengan mi, Littlejohn (2005) mengatakan sebagai salah satu komponen dalam fllsafat ilmu, epistemologi difokuskan pada telaah tentangbagaimana cara ilmu pengetEihuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar, atau bagaimana seseorang itu tahu apa yang mereka ketahui. Jadi, di sini tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” di balik kemunculan konsep teoretis dalam suatu teori komunikasi. Sesungguhnya banyak cara yang dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dan kata “how” tadi.
Salah satunya yang paling utama menurut sejarah epistemologi itu sendiri. Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecenderungan yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya banyak kekacauan perspektif yang posisinya saling bertentangan. Misalnya, teori pertama pengetahuan dititikberatkan pada keabsolutannya, dan karakternya yang permanen. Adapun teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitasan atau situation
(keadaan) dependence (ketergantungan).
Kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara terus menerus atau berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan subyek maupun. objeknya. Secara keseluruhan cenderung bergerak dan suatu kestatisan, pandangan pasif pengetahuan bergerak secara aktif ke arah penyesuaian demi penyesuaian. Menurut Plato, pengetahuan yaitu suatu kesadaran mutlak, universal Ideas or forms, keberadaan bebas suatu subjek yang perlu dipahami. Sementara itu, pemikiran muridnya Aristoteles Iebih menaruh penekanan pada metode logika dan empiris bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetujui pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan suatu apprehension of necessary and universal prin ciples (penangkapan prinsip yang diperlukan dan universal). Pada masa Renaisans, tendapat dua epistemologikal utama yang posisinya mendominasi adalah filsafat, yaitu empirism dan rationalism. Einpirism (empirisme) yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan itu sebagai produk persepsi indriawi.
Sedangkan rationalism (rasionalisme) melihat pengetahuan itu Sebagai Adapun produk refleksi rasional. Pengembangan terbaru yang di lakukan empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implisit hingga sekarang masih dipedornani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu reflection-correspondence theory. Menurut pandangan mi pengetahuan dihasilkan dan sejenis pemetaan atau refleksi objek eksternal melalui organ indriawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui alat pengamatan berbeda menuju ke otak atau pikiran kita.
Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan priori, seperti dalam konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, dalam arti bahwa setiap bagian dari pengetahuan yang diusulkan seharusnya benar-benar baik sesuai dengan bagian dan realitas eksternal. Meskipun dalam pandangannya tidak pernah mencapai pengetahuan yang lengkap atau absolut, tetapi pengetahuan ml tetap sebagai batas refleksi yang lebih tepat dan realitas. Ada teori penting yang dikembangkan pada periode yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesis rasionalisme. dan empirismenya para pengikut Kant. Menurut Kant, pengetahuan itu dihasilkan dan diorganisasi dan persepsi berdasarkan struktur kogrljtif bawaan, yang disebutnya kategori. Kategori mencakup ruang, waktu, ohjek, dan kausalitas.
Epistemologi tersebut menerima kesubjektivitasan konsep dasar, seperti ruang dan waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau objektif dan sesuatu yang ada dalam dirinya. Jadi, kategori apriori masib tetap bersifat stalls atau given. Tahap berikutnya dan perkembangan epistemologi disebut pragmatis (pragmatic,).
Bagian-bagian dan perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa mendekati awal abad ke-20, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut Copenhagen interpretation filsafat masih mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial intelligence. Epistemologi pragmatis memandang pengetahuan terdiri atas model yang mencoba merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan secara maksjmal pemecahan masalah, secara maksimal menyederhanakan pemecahan masalah.
Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan. Sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model itu mungkin akan sangat rumit untuk digunakan dalam cara praktis apa pun. Karena itu, kita harus menerima keberadaan kesejajaran model yang herbeda, sekalipun model dimaksud mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Ketentuan dasarnya yaitu bahwa model yang digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau approximate) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin.
Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun dan bagian-bagian model lain, dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada prinsip coba-coba-salah (trial and error) yang dilengkapi dengan beberapa heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan oleh para penganut constructivism. Kalangan mi mengasumsikan bahwa semua pengetahuan dibangun dan goresan subjek pengetahuan. Tidak ada sesuatu yang “givens”, data atau fakta empiris yang objektif, kategori bawaan sejak lahir, atau struktur-struktur kognitif.
Gagasan korespondensi atau refleksi realitas eksternal menjadi sesuatu hal yang ditolak, karena kekurangan hubungan di antara model dan hal yang mereka representasikan in maka bahayanya bagi constructivism yaitu bahwa mereka mungkin cenderung menjadi relativisme. Sebab dengan keyakinan mereka, bahwa sernua pengetahuan dibangun dan scratch by the subject of knowledge, maka cara untuk membedakan pengetahuan memadai atau “sebenarnya” dan pengetahuan yang tidak cukup atau “palsu” menjadi tiada. Kita bisa membedakan dua pendekatan yang mencoba menghindari “kemutlakan relativisme.” Pendekatan yang pertama disebut konstruktivisme individual (individual constructivism,); dan kedua, konstruktivisme sosial (social constructivisin). Konstruktivisme individual mengasumsikan bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan potongan-potongan pengetahuan itu. Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain akan menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya, tidak bertautan (incoherent) akan dipelihara. Konstruktivisme sosial memahami mufakat antara subjek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk menilai pengetahuan. Kebenaran atau kenyataan hanya akan diberikan terhadap pengkonstruksian yang diseber- tujui kebanyakan orang dan suatu kelompok masyarakat. Dalam filsafat ini, pengetahuan tampak sebagai suatu hipotesis realitas eksternal yang sangat independen.
Satu-satunya kriteria dasar yaitu bahwa perbedaan mental entitas atau perbedaan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu Sebaiknya menjangkau semacam keseimbangan. Melalui pendekatan kondap struktivis tampak penekanannya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relatif dan pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan kesepakatan sosial atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap masih memiliki ciri yang absolut. Dengan kata lain, keabsolutan mi ditandai oleh keyakinan para konstruktivis bah‘isin. wa pandangan sintetis yang ditawarkan oleh bentuk-bentuk yang berbeda atau epistemologi evolusioner. Melalui cara mi dianggap bahwa pengetaatau huan itu dikonstruksikan oleh subjek atau kelompok subjek dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan mereka dalam artian luas.
Pengkonstruksian itu merupakan suatu proses yang terus berkelan. jutan pada tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psjko logis atau sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui variasi potongan pengetahuan, dan retensi selektif kombinasi baru dan mereka yang entab bagaimana berkontribusi untuk kelangsungan hidup reproduksi dan subjek di dalam lingkungan mereka.
Heylighen mengatakan, pengetahuan pada dasarnya masih merupakan alat pasif yang dikembangkan oleh organisme dalam rangka untuk membantu mereka dalam pencarian mereka untuk bertahan hidup. Sekalipun pengetahuan itu menyebabkan din individu pengangkut mana pun, kemungkinan sama sekali tidak mampu dan juga berbahaya bagi kelang-. sungan hidupnya. Dalam pandangan mi, sepotong pengetahuan mungkin succesful sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali, sejauh pengetahuan itu cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan sebagai penggagas pengetahuan baru. Di sini tampak gambaran di mana subjek pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi kekuatan yang membangun dirinya sendiri.
Pendekatan konstruktivis sangat menutup din atas pengetahuan yang merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak ke pendekatan memetik, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu yang dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui suatu proses evolusi yang terus-menerus dan fragmentasi independen pengetahuan yang berkompetisi derni dominasi. Dan riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan) sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya masingmasing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada objek ilmu.

C. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI PENGETAHUAN

Menurut Kattsoff (1992), bahwa ontologi dan epistemologi merupakan hakikat kefilsafatan, artinya keduanya membicarakan mengenai kenyataan yang terdalam dan bagaimana mencari makna dan kebenaran. Adapun aksiologi berbicara mengenal masalah nilai-nilai atau etika dalam kaitannya dengan mencari kebahagiaan dan kedamaian bagi umat manusia,
Imam Wahyudi (2007) memahami, secara etimologis, epistemologi berasal dan bahasa Yunani, yaitu epistelne dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya clipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi yaitu pengetahuan sistematik tentang pengetahuan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier pada 1854, yang membuat dua cabang filsafat sekaligus sebagai pembeda keduanya, yakni epistemology dan ontology. Selanjutnya Kattsoff dan Wahyudi mengatakan, secara sederhana dapat dipahami bahwa filsafat ilmu merupakan dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah yaitu yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan Secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. Adapun pengetahuan yang tidak ilmiah masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan basil serapan indriawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilharn, intuisi,wangsit, atau wahyu (oleh Nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas proing- sesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemuaya- dian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.
Adapun pengetahuan yang pra-ilmiah sesungguhnya diperoleh Secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”, Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetaumat huan yang berlaku juga untuk objeknya. Pada tahap mistik, sikap manusia seperti dikepung oleb kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua objek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain herdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara penge. tahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagaj pemimpin yang mengetahui segalanya.
Fenomena ini sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorañg pemimpin dipersepsjkan dapat rfierangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, dan pejabat pernikahan. mi berarti bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Selanjutnya Kattsoff mengatakan, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu napas, tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dan segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. mi berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, serta terjangkau oleh pengalaman indriawi. Sampai fenomena dapat diobservasi, dapat diukur, dan datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, kemudian ditarik kesimpulan. Dengan kata lain, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Kedua, dan segi epis- temologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode, dan teknik dalam memperoleh data empiris,
Epistemologi juga disebut sebagai cabang fllsafat yang relevan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan, dan dasar-dasarnya, serta rehabilitas umum dan tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara sederhana dapat dideflnisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji asal mula, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Berdasarkan berbagai deflnisi itu dapat diartikan, bahwa epistemologi yang berkaitan dengan masalah kata Kattsoff meliputi: Pertama, filsafat yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan. Kedua, metode sebagai metode bertujuan mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan. Ketiga, sistem sebagai suatu sistern bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.
Masalah epistemologi berkaitan dengan pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Seienarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin erpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak, dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya. Manusia tidaklah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan bagaiinanakah caranya kita ,nemperoleh pen getahuan?, pertanyaan mendasar inilah yang harus dijawab di dalam epistemologi pengetahuan.

D. METODE UNTUK MEMPEROLEH PENGETAHUAN

Ada beberapa metode yang populer dan dijadikan rujukan dalam memperoleh sumber pengetahuan dalam epistemologi pengetahuan, Sebagaimana dikemukakan Imam Wahyudi (2007) sebagai berikut:

1.   Metode Empirisme
Empirisme yaitu suatu cara atau metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman indriiuan. awi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dan pengindraan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ta memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima basil pengindraan itu. mi berarti semua pengenar- tahuan kita, betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman indriawi yang pertama-tama dapat diibaratkan sebagai atom yang menyusun objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dindiri. lacak kembali secara demikian itu bukanlab pengetahuan, atau setidaknge- nya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.

2.   Metode Rasionalisme
Rasionalisme yaitu satu cara atau metode dalam memperoleh sum ber pengetahuan yang berlandaskan pada akal. Bukan karena rasionalis me mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam dan barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi.

3.   Metode Fenomenalisme
Fenomenalisme yaitu satu cara atau metode dalam memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan rnenggali pengalaman dan dalam dirinya sendiri. Tokoh yang terkenal dalam metode mi ialah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman sesuatu sebagaimana terdapat clalam dirinya sendiri, dengan merangsang alat indriawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, tetapi hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya pengetahuan tentang gejala (phenomenon).
Bagi Kant, para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman, meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.


4.   Metode Intuisionisme
Intuisionisme yaitu satu cara atau metode dalam memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana intuisi untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisis, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dan pengetahuan intuitif. Tokoh yang terkenal dalam aliran mi ialah Bergson. Salah satu di antara unsur-unsur yang berhanga dalam intuisionisme menurut Bergson, dimungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indra.

Dengan demikian, data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan i. oleh pengindraan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman indriawi maupun pengalaman intuitif.
Ada yang khas dan aliran in dia tidak mengingkari nilai pengalaman jndriawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intuisionisme dalam beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dan pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indra hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dan apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan senyatanya.

E. PROBLEM DAN JUSTIFIKASI KEBENARAN DALAM EPISTEMOLOGI
Menurut Titus dalam Imam Wahyudi (2007), ada tiga problem pokok epistemologi yang harus dirumuskan sebagai penyelidikan filsafat terhadap epistemologi pengetahuan, antara lain: Pertama, menyangkut watak pengetahuan, dengan pertanyaan pokok: apakah ada dunia yang benarbenar berada di luar pikiran kita, dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya?. Kedua, menyangkut sumber pengetahuan, dengan pertanyaan pokok: dan manakah pengetahuan yang benar itu datang? Atau apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu? Corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Ketiga, menyangkut kebenaran pengetahuan, dengan pertanyaan pokok apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan itu? Apakah pengetahuan kita benar? Dan bagaimana kita dapat membedakan antara pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah?
Dalam membahas masalah epistemologi dipakai pendekatan secara terpadu, baik pola kefilsafatan maupun pola ilmiah, sebab dalam perkembangan epistemologi terjadi integrasi antara kegiatan kefilsafatan dan kegiatan ilmiah, meskipun sulit untuk merientukan metodologi tunggal dalam meneliti episternologi. Dengan kata lain pendekatan espitemologi mesti secara multidisipliner, integrated, dan interkoneksi.
Dengan memahami problem kebenaran dalam epsitemologi kita diantarkan kepada metodologi dalam penggalian ilmu secara lebih mendalam. Demikian juga dengan memahami bahwa epistemologi tidak bisa hanya ,didekati dan satu sudut metodologi tunggal, terlebih dalam studi yang memerlukan terapan sosial dan keagamaan seperti historis, hermeneutika, al-turats, dan penelitian kualitatif sosial dan budaya seperti pendidikan, manajemen, psikologi, hukum, dan ekonomi sangat dibutuhkan keterkaitan dan integrasi dengan disiplin ilmu lainnya. Karena dengan cara itulah peneliti dapat memberikan justifikasi objektif dan kebenaran ilmiah dalam espitemlogi pengetahuan.
Imam Wahyudi (2007) memberikan beberapa cara untuk melakukan justifikasi epistemologi pengetahuan, yakni: Pertama, evidensi. Evjdensi yaitu cara bagaimana kenyataan ml dapat hadir atau “perwududan dan yang ada bagi akal.” Konsekuensi dan pengertian itu yaitu, bahwa evidensi sangatlah bervariasi. Akibat lebih lanjut yaitu persetujuan yang dijamin oleh kehadiran ada yang bervariasi mi juga akan bervariasi. Seorang positivis mungkin menyatakan pengandalan bahwa masa depan mirip dengan masa lampau. Namun evidensi yang menjamin kepastiannya bukanlah kepastian yang sedemikian rupa sehingga kejadian sebaliknya tidak terbayangkan.
Evidensi dan perilaku manusia tentu berbeda dengan hal yang Semata-mata bersifat fisik, sebab kepastian manusiawi bersifat hipotesis. Misalnya saya yakin secara moral bahwa apabila supir bus itu normal maka ia tidak akan menabrakkan mobilnya ke pohon. Kesaksian adalah salah satu sumber dan keyakinan moral kepastiannya agak diremehkan. Namun banyak orang yang lebih yakin pada pernyataan pernyataan yang bersumber dan kesaksian daripada tentang hukum gravitasi. Kedua, kepastian. Kepastian dalam hal mi memuat kebenaran dasar atau yang disebut sebagai kebenaran primer. Prinsip pertama yaitu suatu “kepastian dasar yang mengungkapkan eksistensi subjek.” Subjek yang mengetahui tidak mesti identik dengan kegiatannya, ada perbedaan subjek dan aktivitasnya.
Kepastian dasar mi tidak saja merupakan jawaban yang mendasar terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti skeptisisme dan relativisme, tetapi karena kepastian dasar merupakan dasarnya segala kepastian. Ketiga, keraguan. Ada dua bentuk aliran yang mempertanyakan kepastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap sebagal aliran yang mempermasaiahkan, meragukan, dan mempertanyakan kebenaran dan adanya kebenaran, yaitu: (a) Aliran skeptisisme-doktriner yang berkeyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu tidak ada, yang kurang ekstrem mengatakan sesungguhnya tidak ada cara untuk menetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Misainya, ajaran ini menganirukan agar orang tidak meiibatkan din dalam kegiatan intelektual tertentu karena mempunyai pendapat tentang sesuatu, maka hal itu mengandung kontradiksi, sebab ajaran untuk tidak meiibatkan ml secara intelektuai sudah merupakan kegiatan inteiektual. (b) aliran skepetisisme-metodik menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada, tidak sebagai doktrin tetapi sebagai metode untuk menemukan kebenaran dan kepastian. Aliran ini merupakan jalan untuk menemukan kepastian kebenaran.

F.   PARADIGMA DALAM EPISTEMQLOGI PENGETAHUAN
Menurut Mohamad Musilih (2005), persoalan epistemologi tidak perepan nah berhenti sampai kapan pun dikarenakan manusia hidup senantiasa berhajat kepada ilmu pengetahuan. limu pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi semua tantangan di alam semesta, dan sampai saat mi telah banyak penemuan dalam berbagai bidang ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang ilmu sosial, kedokteran, biologi, farmasi, psikologi, dan lain sebagainya. Penemuan dan iahirnya disiplin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia.
Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana rancang bangun dan pemikiran dan ilmu pengetahuan itu. Bagaimana kesinambungan satu teori dengan teori lainnya sehingga menjadikan pengetahuan yang iebih utuh. Setidaknya persoalan mi telah mengilhami dan mewarnai kajian filsaat baik di dunia Barat maupun di dunia islam sendiri. Pemikiran epitemologis telah membentuk tata cara berpikir dan melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemologi menjadi titik tolak maju mundurnya laju ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-20 hingga abad ke-21, pengaruh positivisme dan neo Positivisme telah memengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan (epistemology), Sehingga menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada manfaat semu semata dan mengabaikan tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif dan rasio manusia (metafisika, bahkan agama).
Cara pandang manusia (paradigm) diarahkan kepada manfaat praktjs dan sesaat saja, budaya konsumtif menjadikan manusia hanya menguta. makan din sendiri. Menempatkan manusia sebagai satu—satunya makhluk yang hanya memiliki hak untuk hidup. Ringkasnya semua makh— luk hanya diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia, sehingga menafikan eksistensi dan makhluk lainnya. Dapat kita lihat misalnya dalam perkembangan ilmu alarn, bagaimana eksploitasi terhadap alam dilakukan tanpa mengindahkan stabilitas dan susunan alam itu sendiri. Lihat juga dalam perkembangan ilmu sosial, bagaimana prinsip-prinsip hidup bersama hanya untuk rnenaikkan satu golongan dan mendiskreditkan golongan lainnya. Pada dasarnya berawal dan persoalan epistemologi yang mendasar, yaitu perihal wujud bangun dan rancang bangun ilmu pengetahuan.

1.   Paradgma Popper
Di awal abad ke-20 muncul seorang filsuf, Karl Raimund Popper, yang mengajukan kritik terhadap arus neopositivisme yang bercorak deduktif-veriflkatif. Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemologi yang dikenal dengan konjektur dan falsifikasi. Sebelum masuk kepada memahami teori falsiflkasi yang dikembangkan oleh Karl Popper, hendaknya terlebih dahulu membahas mengenai induksi dan verifikasi. Pada dasarnya teori falsifikasi yang dibangun oleh Popper merupakan bantahan dan sanggahan dan induksi dan verifikasi yang banyak dikembangkan oleh para fllsufsebelumnya. Sebut saja Francis Bacon (1561-1626), yang disebut sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat mengandalkan metode induksi dalam menerima kebenaran suatu teori, kemudian metode mi dikemas ulang oleh Ihon Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja akan dianggap benar dengan cara penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode induksi. Metode induksi berarti juga metode ‘proses generalisasi’. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan yang bertitik pangkal pada perneriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten mengenai data- data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atas alam.
Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuwan dan hampir tidak pernah diperdebatkan. Noeng Muhadjir (2001) mengatakan, metode induksi mi menjadi karakter dalam ilmu pengetahuan utamanya sosial dengan melakukan generalisasi dan hal-hal yang partikular, atau dikatakan juga metode induksi berangkat dan beberapa kasus particular kemudian dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan pengamatan terhadap beberapa angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan melakukan induksi dapat dibuat teoni yang lebih urnum bahwa semua angsa berwarna putih. Metode induksi mi terus mengalami penguatan oleh para filsuf, di antaranya Jhon. S. Mill yang lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif sebagai metode ilmiah yang valid.
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, Popper juga dihadapkan oleh metode verifikasi, balk yang dikembangkan oleh filsuf dalam lingkaran WIna maupun di luar Wina sendiri. Verifikasi telah memproklamasikan din sebagai satu-satunya metode untuk menguji ilmiah atau tidaknya suatu teori. Atau, dikatakan juga apakah sesuatu itu ineaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless (tidak berarti), juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati (true science, atau ilmu Seai : mu ‘pseudo science,). Artinya, jika suatu pernyataan epistemologi atau dugaan dapat diverifikasi maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti Ia tidak bermakna.
Prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu proposisi bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dan prinsip itu maka filsafat tradigkan sional seperti pembahasan mengenai “ada yang absolute,” haruslah ditoyang lak. Karena ungkapannya melampaui pengalaman dan tidak dapat untuk diamati terlebih lagi untuk diuji, termasuk juga hal-hal yang berkenaan dengan teologi maupun metafisika.
Bisa jadi prinsip yang dibangun dengan metode verifikasi telah mengepada antarkan ilmu pengetahuan sampai pada kemajuannya saat ini Ilmu peralisa ngetahuan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan dengan metode verifikasi memuclahkan manusia untuk memperoleh jawaban dan solusi terhadap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Sehingga posisi ilmu dengan veriflkasinya telah menjadi komponen tenpenting dalam menjaga kehidupan manusia di alam. Ilmu yang telah meanlalui verifikasi dipandang sebagai kebenaran yang absolut, sedangkan selainnya hanyalah dianggap sebagai pernyataan semu yang menipu.
Selanjutnya terkait konjektur, dalam kaitan membangun hipotesis untuk objektiV1ta5 mi menjadi suatu tagihan dalam epistemologi deduktif. Konjektur secara bahasa berarti dugaan, prakonsepsi, atau dapat juga disebut dengan aSUmSi. Konjektur dipandang oleh Popper sesuatu Yang harus ada sebelum seseorang melakukan analisis terhadap suatu objek permasalahaan..
Dalam memberika atau melakukan atau mencari jawaban terhadap satu masalah, Bergson & Wettersten memberikan pemaham an, bahwa seseorang mesti memiliki konjektur (dugaan) dalam hipotesisnya (sebelum penelitian dilakukan). Sehingga Popper menyusun dna asas dalam teorinya. Pertaima, penyelidikan tidak boleh dimulai dengan usaha observasi yang tidak memihak, tetapi justru harus fokus terhadap satu persoalan Peneliti harus bertanya: Apa masalahnya? Apa solusi alternatifnya Bagaimana kekuatan dan kelemahannya? Kedria, usaha Untuk menemuk suatu solusi tidak boleh merupakan usaha yang menghindari dan fakta yang adahanya memilah fakta yang mendukung teori yang diyakifli, akan tetapi mestilah berpegang pada prinsip penggabungan antara dugaafl yang berani dan kritisisme yang tajam (bold colljecture and severe critic).
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, perkembangan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlandaskan kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti. menurut Popper perkembangan ilmu dimulai dan usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan insight individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori. Hipotesis imajinasi tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji untuk menentukan layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiah.
Teori prakonsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang peneliti akan terlepas dari sikap objektivitasnya. Dikarenakan dia telah terikat oleh teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan memengaruhi proses dan hasil penelitian yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karna Popper mengatakan bahwa objektivitas seorang peneliti tidak harus terbebas dari prakonsepsi. Malah sebaliknya objektivitas Justru diperoleh dengan membuat jelas prakonsepsi dan secara kritis membandingkan dengan teori lain.
Prakonsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian, yaitu sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengarttkulasi persoalan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi dan membangun kemapanan teori baru. Ring: kasflYa, manusia pada dasarnya melakukan proses belajar dengan cara menduga dan melakukan penolakan. Proses menduga yaitu upaya untuk inemunculkan jawaban sementara (konjektur), selanjutnya melakukan usaha penolakan terhadap prakonsepsi atau dugaan (konjektur). Apabila dugaan mi tidak tertolak, maka ia diyakini dapat dipandang sebagai teori sementara yang tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji dan dibantah dalam upaya menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran.
Lebih jauh Popper melihat ada jarak atau demarkasi antara true science dan pseudo scince, sebagaimana dikatakan Muhadjir seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Di satu pihak ia bereaksi terhadap metode induksi yang ‘mempatenkan dirinya sebagai metode ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi yang dikembangkan oleh filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang ditebar oleh para filsuf di lingkaran Wina.
Untuk membantah kedua metode tersebut, sebagaimana dijelaskan Bergson & Wettersten, Karl Popper mengangkat fokus bahasan dalam membedakan atau memisahkan antara pernyataan yang mengandung makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu, bahwa sains sejati berisikan hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta.
Pemisahan antara kedua macam sains di atas oleh Muslih dikenal dengan istilah demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal mi dipahami dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah suatu pengetahuan. Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa ungkapan yang tidak bersifat ilmiah tidak dapat dibukitkan dengan observasi, dan eksprimen memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak inunculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam maupun sosial, diawali oleh ungkapan yang imainatif tanpa di ajukan eksprimen.
Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight individual  bukan berasal dan pengamatan partikular (observasi) yang ken dian berujung kepada proses generalisasi induksi. Sebagai Contoh, kefl porn manusia untuk membangun peradaban dan teknologj banyak lahir dan kemampuan yang tidak diperoleh dengan metode induksi, aka tetapi muncul dalam tataran umum kemudian menjelma Secara lebTh nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebjh nenyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan metode induksi,  akan tetapi muncul dalam tataran umum kemudian menjelma Secara lebih nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebjh nenyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan metode
endapatkan ilmu pengetahuan.
Dengan diketengahkannya metode deduksi kata Muslih, maka membuka kenal makna ilmiah terhadap kajian yang selama ini disingkirkan
oleh meto induksi-veriflkasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadapi kembali dalam kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta me1ta seorang peneliti menjustifikasi bahwa suatu teori tidak ilmiah ataupun ilmiah hanya dengan berpatokan pada memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan Sejatinya segala sesuatu memiliki arti karena ia dapat dipahami. lebih mendasar, kata Muslih, Popper mengungkapkan dalam metode induksi dan veriflkasi, antara lain: Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebe hukum umum. Hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak
pernah dapat diveriflkasi. Karena, seperti halnya metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam yang sebagian besar terdiri dan hokum umum) yaitu tidak bermakna. Kedua, Berdasarkan prinsip verifikasi, meta disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bah acap kali ilmu pengetahuan lahir dan pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapm ataU teori, lebih dahulu harus bisa dimengerti, sebab bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna.
Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiyah verifikasi hanya berupaya untuk menunjukkan kelebihan dan satu teori sehingga mengaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandung sebagai contoh tes atau uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu teori dengan mengedepankan contoh yang mendukung kebenaran teori tersebut proses ini berlangsung dengan metode induksi generalisasi terhadap partikular yang ada suatu. Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dan suatu teori berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana.
Sikap seperti mi merupakan karakter dan verifikasi induktif, di satu sisi yang paling terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi sederhana, seorang peneliti menyampaikan basil penelitiannya bahwa seluruh angsa berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang berwarna putih dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih. Sehingga dengan demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih. Hasil seperti ini tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu.
Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori.
Perihal falsifikasi yang juga dipahami sebagai falsibilitas. Kata falsify itu sendiri merupakan kata kerja jadian yang terbentuk, dan kata sifat false yang berarti salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan “menjadi”. Adapun falsification yaitu bentuk kata benda dan kata kerja falsify. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata sifat false diubah menjadi kata kerja dengan menambahkan akhiran ify sehingga menjadi falsify dan dibendakan dengan menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadi falsification yang diindonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti hal peinbuktian salah.
Falsifikasi yaitu lawan dan verifikasi. Istilah verifikasi dipakai oleh para ilmuwan dan filsuf yang menjadi anggota lingkaran Wina yang memegang teguh metode induksi dan yang semisal dengan mereka. Sebaliknya, Popper tidak percaya pada induksi sama sekali meskipun dia benar-benar memercayai empirisme. Menurut Popper, manusia dalam
memperoleh pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip dasar dunia tertentu yang diakul benar oleh manusia. Dan, prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan
pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengaaman empiris bergantung pada prinsip ini.
Dengan demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dan insight individual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian, pengetahuan dalam tataran teologis, metafisis, bahkan mistis sekalipun dapat dianggap sebagai ungkapan (pengetahuan) Yang bermakna (meaningful). Persoalan selanjutnya yaitu bagaimana untuk membuktikan pengetahuan itu, apakah ia merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah dan hanya merupakan pengetahuan semu belaka. Untuk ini Popper mengajukan kritenia ilmiah tidaknya pengeta huan, yaitu kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji dalam lingkup bisa diuji (testability), bisa disalahkan (falsifihity) memiliki prinsip atau istilah substansi, René Descartes menyebutnya dengan ide bawaan (innate ideas), Leibniz menyebutnya dengan pusat kesadaran (manacle) dan bisa disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi komponen untuk disangkal maka ia telah memenuhi syarat keilmuan.
Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi men- can pendukung kebenaran suatu teori, melainkan tes dilakukan dengan prinsip falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal, dan menolak teori itu. Maka rangkaian tes berisi komponen penolakan terhadap teori itu, maka Popper lebih memilih hipotesis untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan ia akan selamanya hanya berupa hipotesis (dugaan Sementara) yang akan terus-menerus diuji. lnilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik terhadap hipotesis yang dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk tercapai kebenaran sejati.
Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya dalam bidang ilmu alam, di mana pada masanya kemapanan fisika Newton dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan demikian, ilmu mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan, secara sadar diakui bahwa hal mi berawal dan pengetahuan terdalam manusia yang menjelma menjadi suatu hipotesis, kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang masa sehingga memunculkan hipotesis baru yang nantinya juga terbuka untuk terus dikritisi.
Pandangan ini menunjukkan seperti kata Bergson dan Jhon (2003), bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum diuji, dan juga bukan dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti-bukti positif untuk mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neopositivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu yaitu dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Semakin suatu teori dapat bertahan dan penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kukuh dalam keilmuan, mi yang disebut Popper sebagai teori pengukuhan (the mu omy of corraboration). Teori inilah yang kemudian mengantarkan Popper dipandang sebagai filsuf sekaligus epistemolog rasional-kritis.

2.   Paradigma Gerakan Zaman Baru Capra
Menurut Capra (1991), dalam sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa fisika modern dimulai sejak Galileo, yang memilki ciri kombinasi antara pengetahuan empiris dan matematika. Oleh karena itu, Capra melihat Galileo sebagai bapak dan sains modern. Tetapi ia juga melihat bah wa akar dan perkembangan sains bermula dan filsafat Gerika, khususnya dan arus pikir Milesian, yang dapat dikatakan sangat mirip dengan konsep pikir monistis dan organis, flisafat India dan China Kuno. Paradigma inilah yang diimpor dan mewarnai pikiran Capra di dalam meninjau seluruh perkembangan sains modern. Hal mi jelas, seperti yang diakuinya, bahwa pikiran itu mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat Barat sekitar 20 tahun terakhir, akibat masuknya mistisisme Timur ke Barat. Itu alasan mengapa kemudian Capra menyoroti sains, khususnya sains modern, bukan sebagai suatu permasalahan rasional, seperti paradigma yang dipegang selama mi di kalangan ilmuwan, mencapai lainkan lebih melihatnya sebagai suatu “jalur hati.” Penggabungan kedua problem besar i, menurut Capra haruslah dipandang dengan terlebih dahulu menyelesaikan pengertian “mengetahui” dan bagaimana pengetahuan itu diekspresikan. Sehingga kita sulit menyadari akan keterbatasan dan relativitas pengetahuan konseptual kita. Kita akan sulit membedakan antara realitas yang sesungguhnya dan konsep atau simbol realitas itu, yang diutarakan oleh pengetahuan konseptual kita, di sinilah mistisisme Timur memberilcan jalan keluar untuk kita tidak perlu bingung lagi. Untuk mi, paradigma pengetahuan kita harus diubah, dan pengetahuan konseptual menuju kepada pengetahuan eksperimental, agar kita dapat langsung bertemu dengan realitas itu sendiri. Pengetahuan eksperimental ini melampaui pengetahuan intelektual. dan juga persepsi indriawi.
Oleh karena itu, Capra mengusulkan untuk menggabungkan kedua sistem pengetahuan. Kedua sistem mi saling tumpang-tindih di dua dunia (realism) tersebut. Bahkan Iebih jauh, Capra mengargumentasjk bahwa the rational part of research would, in fact, be useless if it were not complemented by the intuition that gives scientist new insights and makes them creative.
Di sini Capra melangkah lebih jauh dengan meletakkan pengetahuan intuitif (intuitive knowledge) di atas pengetahuan nasional, bahkan riset rasional. Memang kemudian ia mengatakan bahwa wawasan intuitiftidak terpakai di dunia fisika, kecuali ia bisa diformulasikan di dalam kerangka kerja matematis yang didukung dengan suatu penafsiran dalam bahasa yang gamblang. Sebaiknya, ia juga mengargumentasikan adanya elemen rasional di dalam mistisisme Timur. Memang tingkatan pemakaian rasio dan logika berbeda-beda di setiap arus pikiran. Ta melihat bahwa Taoist sangat mencurigai rasio dan logika. Dan di dalam dunianya, mistisisme Timur didasarkan pada wawasan langsung ke dalam nature realitasnya, sedangkan fisika didasarkan pada penelitian terhadap fenomena natural di dalam pengujian ilmiah. Dan dalam hal mi keduanya masuk ke dalam dunia relatif.
Fisika baru ini dimulai dengan keharusan kita mengadopsi pandangan yang lebih penuh, menyeluruh, dan ‘organik’ terhadap nature. Untuk itu kembali Capra menekankan perlunya kita meninggalkan paradigma lama dan fisika kiasik. Pada tingkat lanjut, Capra memasukkan konsep Panteisme dan mistisisme Timur sebagai paradigma sains, yaitu memandang seluruh keberadaan sebagai keberadaan tunggal, yang menyatu dan tidak perlu dan tidak bisa diperbedakan lagi.All things are seen as interdependent and inseparable parts of this cosmic whole;as different mnanifestations of the same ultimate reality. Capra mengacu bahwa manusia sering tidak menyadari realitas seperti mi, karena manusia selalu membagi dunia mi di dalam berbagai objek dan peristiwa. Capra mengakul perlunya pembagian ml untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, tetapi itu semua bukanlah unsur fundamental dan realitas.
Paradigma ini didukung oleh perkembangan fisika atom, di mana konstituen setiap materi dan fenomena dasar atomik mi sangat berkaitan erat satu sama lain dan saling bergantung satu dengan yang lain; sehingga mereka tidak lagi dapat dimengerti sebagai suatu unsur yang berdiri sendiri, tetapi hanya bisa dimengerti sebagai satu bagian integral dan suatu keseluruhan. Di dalam komentar edisi keduanya ini, Capra melanjutkan bahwa sifat interkoneksi (saling berelasi dan bergantung) di dalam sains berkembang ke berbagai bidang, sampai ke parapsikologi. Maka, dengan mi Capra melihat seluruh fenomena dunia ini bersifat semu, dan realitas dasar pada hakikatnya tunggal. Realitas sains bisa ber satu dengan dunia paranormal.
Dengan penerimaan panteisme dan mistisisme merasuki dunia sains, maka seluruh realitas materi kini dilihat sebagai realitas yang hidup. Pergerakan elektron dalam molekul kayu diinterpretasikan sebagai kehidupan materi. Dengan lebih tajam lagi, dapat dikatakan bahwa benda yang selama ini dianggap mati kini dianggap hidup, bahkan setara dengan manusia. Gagasan ini memiliki implikasi yang luas. Urbanus Weruin (2001) mengatakan, bahwa dalam memandang alam sebagai benda mati telah berakibat fatal bagi ekologi. Manusia seolah-olah boleh mengeksploitasi alam semaunya. Sebagai alternatifnya, ia menyodorkan paradigma dan mistisisme Timur untuk melestarikan lingkungan hidup. Memandang alam sebagai “makhluk hidup” bahkan setara dengan manusia, akan menjadikan manusia menyayangi alam dan bisa menyatu dengan alam.
Karena semuas realitas pada dasarnya tunggal, maka tidak mungkin ada satu pun fenomena yang bisa dipertentangkan. Semua dualisme, Seperti pagi dan petang, hidup dan mati, haruslah dilihat hanya sebagai dua sisi dan satu realitas tunggal. Di sini seluruh konsep pembagian, keteraturan, keterbatasan, kekhususan, tidak boleh lagi membatasi perkembangan pemikiran sains dan cara mengerti realitas dunia ini. Capra berargumen, justru karena pemikiran akan struktur keteraturan, maka manusia tidak pernah bisa mengerti pergerakan elektron, sampai manusia menerima bahwa pergerakan elektron memang pengerakan yang tidak bisa diduga dan tidak pasti adanya. Capra menekankan bahwa di dalam paradigma sains modern, keko songan dan kepenuhan (emptiness and form) bukan dua hal yang berten tangan lagi, melainkan lebih merupakan satu realitas tunggal. Akibatnya, jelaslah bahwa paradigma Newton tidak dapat lagi diterapkan di dalam paradigma yang baru mi. Penggabungan antara kekosongan dan bentuk, menjadikan seluruh realitas tidak dapat lagi dimengerti secara biasa, tetapi menuntut adanya pola pandang yang baru.
Paradigma yang dikemukakan Capra telah mendapat sambutan ha- I nyak orang, karena paling tidak ia memberikan beberapa hal yang dapat i dianggap positifbagi dunia sains khususnya dan dunia luas pada urnumnya, beberapa di antaranya: Pertarna, dukungan hipotesis relativitas Enstein. Paradigma Newton dan Cartesian memang mendapatkan pukul- an berat dan jatuh dengan terbuktinya beberapa bagian dan hipotesis Einstein. Hipotesis Einstein telah memaksa hukum mekanika Newton mengalami perbaikan jika ingin diterapkan kepada materi yang bergera dengan kecepatan sangat tinggi (seperti gerak elektron atau gelombang elektromagnetik).
Akibatnya, dimensi ruang dan waktu yang menjadi batasan di dalam paradigma Newton, kini direlasikan menjadi suatu relasi relatif melalui hipotesis Einstein. Suksesnya perkembangan hipotesis Einstein di dalam memperkembangkan ilmiah nuklir (yang memang memiliki unsur pergerakan elektromagnetik dan gerak elektron yang berkecepatan sangat tinggi), menjadikan hipotesis mi seolah-olah boleh disahkan menjadi suatu teori mekanika baru yang dapat diterapkan di semua bidang dan semua benda. Akibatnya, paradigma Newton dan Cartesian tidak mendapatkan tempat sama sekali di percaturan sains modern.
Dalam memadang manusia, Capra mengatakan sebagai pusat. Artinya, dasar utama pemikiran paradigma baru mi yaitu penolakan terhadap pandangan penciptaan dunia mi oleh Tuhan yang berdaulat. Capra, menolak pandangan mi. Mereka berargumentasi bahwa dengan melihat alam mi sebagai ciptaan, maka alam menjadi materi yang mati yang terbatas dan terikat oleh hukum kausalitas. Sebagai alternatif, mereka memilih melihat manusialah dengan intuisinya menjadi pusat dan segala pemikiran sains dan interpretasi alam. Di sini semangat humanisme diangkat ke puncaknya.
Pikiran ini sangat disenangi oleh masyarakat modern, yang memang pada hakikatnya sudah menolak Tuhan dan ingin mengembangkan pemikiran humanisme setinggi-tingginya. Paradigma Capra memungkinkan manusia mengembangkan sains sambil mencapai tujuan humanismenya, di mana manusia tidak perlu mengakui Tuhan sebagai pencipta alam semesta ataupun pengatur pergerakan sejarah manusia. Paradigma Capra sekaligus menjunjung tinggi manusia ke posisi Tuhan. Manusialah yang menjadi penentu segala sesuatu. Intuisi (yang didukung dengan mistisisme Timur) diagungkan sebagai dasar penentu pergerakan dan perkembangan sains (bahkan ke semua bidang ilmu).
Sejak manusia meninggalkan Tuhan dan menuju ke ateisme, maka tanpa sadar manusia mengalami kekeringan rohani. Selama sekitar satu abad manusia mencoba bertahan, tetapi pada akhirnya manusia mau tidak mau menyadari tidak terhindarnya manusia bertemu dengan realitas metafisika. Namun manusia tidak rela kembali kepada Tuhan, sehingga akhirnya mereka lebih cenderung untuk mengadopsi mistisisme Timur, yang memberikan kepuasan metafisika tanpa perlu mengakui Tuhan yang berdaulat dan manusia yang berdosa. Dengan menerima mistisisme Timur yang berkembang pesat di tengah pikiran Barat, dan sejak sekitar 1960-an paradigma sains Capra segera mendapatkan tempat pula. Bahkan dapat dikatakan, Capra sendiri telah terlebih dahulu berpindah ke paradigma mistisisme Timur, dan dengan paradigma ia merekonstruksi ulang seluruh teori sainsnya. Itu alasan paradigma sains Capra tidak mengalami kesulitan penerimaan di tengah masyarakat yang memang telah mempunyai paradigma yang sama. Di samping itu, rusaknya ekosistem, meluasnya polusi, dan munculnya berbagai dampak negatif perkembangan teknologi modern, menja dikan manusia dengan senang hati berpindah ke paradigma Capra yang dilandasi pikiran mistisisme Timur. Pikiran mistisisme Timur dianggap dapat membuat manusia lebih mencintai alam dan memperhatikan lingkungan. Berbagai slogan, seperti “back to nature” mengajak masyarakat modern memandang alam sebagai kesatuan dengan dirinya sendiri, sehingga manusia bisa lebih memelihara kelestarian lingkungannya.
Namun, untuk menerima paradigma Capra, kita perlu mempertim bangkan beberapa hal secara serius. Pendekatan Capra yang mengawinkan filsafat Barat dengan mistisisme Timur dikenal saat mi sebagai perkembangan filsafat Barat yang terbaru, yang berkembang sejak 1960-an hingga saat ini, yang diberi julukan Gerakan Zaman Baru (New Age Move
pe- ment). Arus ini merupakan kelanjutan dan perkembangan filsafat modernisasi dan pascamodernisme, yang kecewa pada Barat selama ini.
Mereka berasumsi bahwa pendekatan Barat telah gagal membawa manusia menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang seutuhnya. Oleh sebab itu, mereka mulai beralih dan mencoba mengawinkan pikiran mereka dengan pikiran Timur yang bersifat mistis (monistis dan panteis). Apabila ditelusuri secara mendalam, justru di dalam
pembicaraan paradigma Capra, persoalan bergeser justru menjadi masalah verifikasi religius. Capra membawa dunia dan alam fisika ke dala format mistik dan panteistis, di mana manusia akan dibawa melihat alam sebagai bagian atau diri Tuhan.
Alam dan dunia fisika tidak lagi dilihat sebagai ciptaan Tuhan, Yang dicipta menurut rancangan dan kehendak Tuhan, dan harus dipertang.. gungjawabkan kembali kepada Tuhan, tetapi sebagai alam yang bergera bebas liar semaunya sendiri tanpa perlu keterikatan pada Penciptanya (karena tidak ada konsep pencipta dalam pikiran Capra). Alam juga tidak dilihat sebagai alam yang bersifat materi dan mati, tetapi dilihat sebagaj “yang hidup,” sehingga alam tidak lagi di posisi bawah dan tatanan semesta dan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam, tetapi menjadj sejajar atau bahkan menggantikan posisi Tuhan (karena posisi Tuhan ditiadakan). Jelas bahwa hal mi mendobrak total seluruh paradigma dasar sains yang seharusnya.
Del Ratzsch, dalam bukunya Philosophy of Science mengatakan paradigma Capra telah merusak definisi dan metodologi sains. Untuk itu, beberapa dasar asumsi yang harus ditegakkan untuk membangun paradigma sains yang kukuh, yang dapat memberikan aspek dasar pengetahuan perlu adanya: Pertaina, merupakan disiplin ilmu yang berunsur teoretis. Kedua, bersifat rasional; memiliki penjelasan natural. Ketiga, bersifat objektif dan terbukti secara empiris. Dengan mi, pendekatan ilmu pengetahuan alam (natural) haruslah dibatasi di wilayah yang empiris dan natural. Namun jika diperhatikan secara saksama, paradigma Capra yang sudah diwarnai mistisisme Timur telah mencampurkan beberapa aspek yang sulit dikatakan ilmiah lagi.
Capra telah mencampur dunia fisika dengan dunia metafisika, dan ia juga mencampur antara hasil pengujian empiris dan dugaan metafisik (antara ilmiah sejati dan ilmiah semu). Paham mi sebenarnya bukanlah hal yang baru, melainkan telah mengikuti perkembangan pemikiran mistis, baik di Timur maupun di Barat, yang telah ditolak oleh kekristenan.
Suatu komentar pemenang hadiah Nobel untuk bidang fisika, Steven Weinberg mengatakan, “Meskipun sudah mengenal pengetahuan modern, tetapi setiap kali ada temuan atau ada sesuatu yang berhubungan dengan parapsikologi, masyarakat awam maupun ilmuwan beramai-ramai membicarakannya dan berusaha turut menyelidikinya. ini namanya langkah mundur ke permulaan lagi. Pertanyaan yang kemudian muncul, dunia macam apakah yang kita diami sekarang ini?”

Gejala mi dengan sendirinya menimbulkan kerisauan ilmiah. DelRatzSCh menyoroti percampuran dua dunia mi (sains dan mistis), mengakibatkan pencampuran dan dua pendekatan dan dua kenyataan yang berbeda. Pendekatan terhadap dunia metafisika seharusnya berbeda dengan pendekatan terhadap dunia fisika. Dunia metafisika berada di luar wi1ayah ilmu pengetahuan fisika, sehingga harus diakui adanya keterba tasan di dalam wilayah ilmu pengetahuan fisika. Oleh karena itu, Ratzsch menekankan keterbatasan ilmu pengetahuan agar kebenaran ilmiah dapat tetap terjamin.
Banyaknya distorsi yang telah dikemukakan Ratsch di dalam bukunya, mengharuskan ia menguraikan batasan ilmiah secara lebih teliti. Oleh sebab itu, di dalam bukunya ia mengemukakan apa yang ada didalam dan di luarbatasan ilmu pengetahuan. Ketika Capra menginterpretasi alam, paradigmanya telah menyesatkan kesimpulan yang didapat Ketika ia menganggap reaksi alam sebagai “makhluk hidup” (living creature), Capra telah meloncat secara iman menurut konsep mistisisme Timurnya. Kekacauan seperti mi akan menjadi bumerang yang menghancurkan dunia sains.
Rusaknya batasan dunia sains akibat paradigma sains-mistis Capra, batasan menjadi kabur. Seolah-olah seluruh alam semesta menjadi tidak terbatas, penggunaan teori atau hipotesis sains bisa diterapkan di segala bidang secara tanpa batas. Pengetahuan sains-mistis berasumsi bahwa hipotesis Einstein berlaku dan bisa diterapkan di semua materi, tanpa memperhitungkan keterbatasan sifat materi itu sendiri.
Ketika mengacu kepada paradigma baru, Capra seolah berusaha menghapus sama sekali semua paradigma lama, padahal keadaan semacam itu tidak mungkin dilakukan (dan ia pun di beberapa aspek mengakuinya). Dengan menyadari keterbatasan sains, maka sains akan mawas diri. Di sini Capra sendiri mengalami dualisme yang ia tentang dan tidak mau akui. Pola sains yang dualistik dan kontradiktif seperti ini akan merusak pola sains sendiri, dan pada akhirnya akan merusak seluruh perkembangan ilmiah di masa yang akan datang. Ia akan merupakan faktor perusak diri sendiri (self-defeating factor) yang akan meruntuhkan paradigma ilmu secara epistemologis.

3.   Paradigma Thomas Kuhn
Paradigma Thomas Kuhn berusaha melakukan dobrakan, dunia sains dituntut untuk meginterpretasi ulang perkembangan sejarahnya. Kuhn melihat bahwa sains bukanlah merupakan suatu pergerakan sinambung dan sains-normal (normal-science), melainkan lebih merupakan loncatan paradigma sebagai akibat terjadinya revolusi sains (sciencer evolution). Maka dunia sains merupakan dunia pergolakan teori sains yang bergerak dan satu paradigma ke paradigma lain. Paradigma Kuhn membuka Wawasan untuk melihat sains sebagai teori yang senantiasa berkembang dan berubah, menurut paradigma yang mendasarinya. Dunia modern yang bersifat relatif sangat menyukai gagasan Kuhn in Dunia modern sudah mengalarni traumatik akibat konsep kernutlakkan yang dipegangnya sejak pencerahan di abad ke XVII dan gugur di dalam Perang Dunia I dan II, karena penyimpangan dalam penggunaan sains.
Semangat kemutlakkan berbalik menjadi semangat pragmatis dan relatif. Masyarakat modern menuduh keyakinan akan kemutlakkan yang telah menyebabkan timbulnya pertikaian dan peperangan. Sebaliknya, semangat relativitas dan pragmatis akan menolong manusia lebih luwes dan bersahabat. Semangat mi saling memengaruhi timbal balik dengan timbulnya paradigma sains Capra.
Giyanto (2008) mengatakan, dewasa mi banyak bermunculan berbagai pandangan episternologi, baik positivisme, fenomenologi, strukturalisme, hermeneutika, materialisme histosis, maupun postmodernisme. Semua aliran epistemologis mi telah tumbuh subur dengan berbagai pengikutnya. Sepanjang berjalannya sejarah, berbagai pandangan epistemologis beserta outputnya yang berupa ilmu pengetahuan dianggap sebagai kebenaran absolut. Kalangan ilmuwan meyakini bahwa mereka menjunjung dan berbagi nilai-nilai kebenaran yang sama ketika meneliti sesuatu, sebab itu hasilnya yang berupa ilmu pengetahuan merupakan suatu kebenaran.
Pandangan dominan dan mapan ini kemudian goncang ketika Thomas Kuhn mencecar dunia ilmiah dengan pandangannya yang tak lazim. Di antaranya tentang “bias dan subjektivisme” yang pasti terjadi dalarn proses menghasilkan ilmu pengetahuan. Ia menuntut pula suatu paradigma perubahan paradigma yang nantinya akan berujung pada revolusi ilmu pengetahuan. Inilah yang muncul dalam karya besar Kuhn, yaitu The Structure of Scientific Revolution yang lazim disebut Structure saja. Karya inilah yang menyeruak dan menjadi buku populer di kalangan akademisi dan ilmuwan di era 60-an hingga kini. Kemunculan buku ini, yang terbit pada 1962 telah dikutip dan menjadi rujukan karya-karya lain sebanyak 9.268 kali mulai 1990 hingga 2007, bahkan sampai sekarang karya ini tetap menjadi karya yang monumental di kalangan ilmuwan dan para filsuf.
Kuhn dapat mengubah pandangan dunia terhadap kebenaran ilmu pengetahuan dan perlunya perubahan paradigma yang menuju kepada revolusi ilmu pengetahuan, oleh karenanya menarik untuk dibahas Secara singkat dan padat mengenai bagaimana revolusi ilmu pengetahuan Thomas Kuhn. Menurut van Gelder (1996) dilihat dan sudut sejarah, Kuhn yang terlahir dengan nama Thomas Samuel Kuhn, putra dan Samuel L. Kuhn dan Annette Stroock. Ia dilahirkan pada 18 Juli 1922, di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat.
Paradima Kuhn menjelaskan panjang lebar tentang apa dan bagaimana suatu ilmu pengetahuan terbentuk, dan bagaimana ilmu pengetahuan itu diyakini sebagai kebenaran oleh para ilmuwan yang mengembang kannya, serta kritik yang Kuhn lancarkan mengenai hal ini dan alasan Kuhn tentang alternatif yang bisa dilakukan beserta argumentasi yang ia bangun, di antara idenya yaitu menyangkut:
Pertama, ide tentang paradigma. Paradigma yaitu tema pokok Kuhn dalam bukunya, The Structure. Pada setiap kali kesempatan menampilkan ide baru, Kuhn menggunakan tema paradigma ini dengan arti yang berbeda. Dewasa ini term paradigma muncul di berbagai diskursus, sering kali dalam arti cara “berpikir” atau “pendekatan terhadap masalah.” Walau Kuhn secara umum berhasil memopulerkan penggunaannya, tapi dalam kenyataannya kepopuleran tema mi tidak beriringan dengan aspek utama argumentasi Kuhn pada The Structure.
Kuhn menekankan bahwa paradigma tidak dapat disederhanakan menjadi sekelompok kepercayaan atau daftar peraturan saja. Karena Sesungguhnya para ilmuwan harus mempelajarinya dengan cara melakukannya, secara mental dengan berpikir tentang konsep yang digunakan di lapangan ilmu pengetahuan tertentu dan secara fisik dengan memanipulasi material untuk memunculkan fenomena. Kuhn berpandangan bahwa sejarah ilmu pengetahuan mudah dikenali sebagai periode stabil yang ia sebut normal science, ditandai dengan perubahan revolusioner yang kemunculannya lebih jarang.
Paradigma yaitu konsep utama Kuhn dalam hal in sejak masa normal science hingga terjadinya revolusi ilmu pengetahuan (yang Kuhn membahasakannya sebagai perubahan paradigma). Dalam pola kemunculannya, paradigma mulanya merupakan publikasi sebuah buku yang menghentak, yang memuat suatu problem sekaligus solusinya, kemudian pihak-pihak lain mengadopsi tujuan dan metode yang akhirnya memunculkan periode normal science. Melawan pandangan umum bahwa masa Renaissance Eropa yaitu cikal bakal munculnya sebagai revolusi ilmu pengetahuan, Kuhn justru menjumpai revolusi yang terjadi berkali-kali pada sejarah ilmu pengetahuan, yaitu kejadian di mana suatu paradigma yang baru mengganti paradigma ilmu pengetahuan sebelumnya.
Paradigma dalam Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai pattern (pola) atau example (contoh). Kuhn yang secara lebih jauh memercayai bahwa normal science biasanya terjadi atas munculnya buku penting dan sering kali atas eksperimen yang berkelanjutan, Kuhn juga mempunyai ide bahwa paradigma yaitu pola yang akan diikuti oleh pikiran ketika ia menjelaskan pandangan-pandangannya. Aspek kunci dan paradigma yaitu bagaimana menghadapi masalah dan bagaimana menyelesaikannya. Sebagai misal, hukum gerak Newton dan kekuatan gravitasi digabungkan untuk menjelaskan pergerakan planet. Kuhn juga berpikir bahwa pada ilmuwan yang bekerja dalam paradigma yang sama, para ahli sejarah akan menemui metode yang seragam, standar yang seragam, bahkan tujuan yang seragam pada mereka.
Masa normal science biasanya bersifat konsensus, bersifat kesepakatan bersama, khususnya mengenai hal-hal fundamental. Dan, kesepakatan mi menimbulkan spesialisasi yang diistilahkan Kuhn sebagai “pekerjaan para ahli atau pro fesional.” Normal science yaitu untuk memperluas hasil kerja utama dengan mempraktikkan metode di area baru di samping di area yang lama untuk memperkukuh paradigma. Sebab normal science berdasarkan atas kesepakatan dan mempunyai parameter yang telah ditentukan yang dimungkinkan untuk melakukan proses dan mengumpulkan pengetahuan.
Kritik atas ambiguitas term paradigma Kuhn dimunculkan oleh Margaret Masterman, seorang ilmuwan komputer yang bekerja di bidang komputasi linguistik. Ia menyatakan bahwa definisi dan penggunaan Kuhn terhadap kata paradigma berbeda hingga 21 makna. Walau tentang argumeniasi Kuhn secara umum ia sepakat, tapi ia menyatakan bahwa ambiguitas yang ía jumpai berkontribusi atas kesalahpahaman peluang kritik secara filosofis, yang juga melemahkan efektivitas argumentasi secara menyeluruh. Kuhn merespons kritik Masterman mi dengafl catatan khusus di edisi ketiga The Structure, dengan menggunakan term “disciplinary inatrix’ tidak dengan term “paradigin”bila hendak inenyampaikan rnaksud tentang sekelompok konsep, nilai, teknik, dan ,etodologi.
Ide tentang revolusi ilmu pengetahuan dan Kuhn pada dasarnya melawan konsepsi yang lebih umum, dengan menyatakan bahwa ilmuwan sesungguhnya ialah sosok pemikir yang tidak objektif dan tidak independen. Bahkan, mereka ialah individu konservatif yang menerima apa yang telah mereka pelajari dan menggunakan apa yang mereka ketahui untuk menyelesaikan suatu persoalan sesuai apa yang dituntun oleh teori. Kebanyakan mereka, secara mendasar merupakan puzzle solver pemecah puzzle yang bertujuan untuk menyingkap ulang apa yang telah mereka ketahui secara lebih lanjut.
Menurut Frank Pajares, mereka ialah orang yang berusaha keras untuk memecahkan masalah yang ada dengan panduan pengetahuan dan teknik yang sudah ada. Kuhn menyatakan bahwa normal science sesungguhnya melemahkan fondasi keilmuannya sendiri. Ia menyatakan bahwa penelitian tidak ditujukan untuk menyingkap apa yang belum diketahui, tetapi malah bentuk pengabdian yang dipaksakan atas kerangka konseptual yang diberikan pendidik profesional.
Untuk itu diperlukanlah suatu komitmen para profesional untuk melakukan pergeseran dan berbagi asumsi yang menghasilkan suatu anomall dan mengubah pondasi ilmu pengetahuan. Ia menyebutnya sebagai scientific revolution—revolusi ilmiah, yang mentradisikan saling melengkapi dan melawan tradisi normal science yang serba terikat. Pandangan atau asumsi baru yang ia sebut paradigma, yang akan merekonstruksi dan revaluasi asumsi dan fakta-fakta sebelumnya. Hal mi ia akui sangat sulit dan memakan waktu, dan akan sangat ditentang oleh masyarakat yang mapan.
Selanjutnya kata Frank Pajares, menurut Kuhn, paradigma sangat penting dalam penelitian ilmiah, karena dasar kenyataan bahwa secara alamiah tidak ada sejarah yang dapat diinterpretasi tanpa kehadiran, setidaknya beberapa ikatan implisit yang terjalin dan kepercayaan teoretis dan metodologis yang memungkinkan seleksi, evaluasi, dan kritik. Paradigma akan memandu usaha penelitian masyarakat ilmiah, dan paradigma inilah yang dapat memberikan kriteria yang paling jelas dalarn mengidentifikasi suatu bidang ilmu pengetahuan. Argumentasi Kuhn dapat disimpulkan bahwa pola khas perkembangan paradigma ke paradigma lain secara revolusioner. Ketika pergeseran paradigma berlangsung, maka seorang ilmuwan secara kualitatjfberubah dan secara kuan titatif diperkaya oleh pondasi baru baik berupa fakta maupun teori.
Ketika masa normal science masih berlangsung, tugas ilmuwan yaitu membawa teori yang diterima dan fakta ke dalam suatu kesepakatan AkhirnYa, ilmuwan kadang mengacuhkan penemuan riset yang mungkjn mengancam paradigma sebelumnya yang sesungguhnya menjadi energi semakin embangnYa paradigma yang baru dan kompetitif. Dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, Kuhn menyingkap “keindahan dan kemenarikan akan in uncul hanya inelalui kesulitan, diwujudkan dengan perlawanan, dan melawan anggapan yang mapan.”
Kritik atas ide tentang revolusi ilmu pengetahuan muncul dan Steven Toulmin pada karyaflya The Uses ofArguinent, ia berpendapat bahwa perubahan pada ilmu pengetahuan secara praktis dan realistis yaitu revisi secara bertahaP dan berkali-kali, bukan seperti apa yang dicontohkan di The Structure yang beupa revolusi yang dramatis dan radikal. Menurut pandangan Toulmin, revisi berkali-kali justru terjadi melalui apa yang disebut oleh Kuhn “nonnal science”. Dan bila Kuhn menyatakan bahwa revisi semacam itu disebut sebagai “penyelesaian puzzle secara nonparadigmatiS,” maka Kuhn mempunyai beban untuk menjelaskan perbedaan mendasar ilmu pengetahuan paradigmatis dan nonparadigmatis.
Berdasarkan kritik yang dimunculkan Toulmin, dalam hal itu muncul ide tentang incommensurability yang dimaksudkan untuk menguatkan klaim bahwa tidak ada piranti percobaan dan penelitian yang dapat membantu ilmuwan untuk menentukan paradigma mana yang benar. Kuhn sendiri memberikan argumen bahwa percobaan Gestalt menampilkan bagairnana sangat dimungkinkan seorang ilmuwan melihat dunia dengan pandangan yang begitu berbeda setelah mengganti paradigma.
Contoh bahwa ilmuwan melihat hal yang jauh berbeda setelah perubahan paradigma seperti berikut. Pada masa sebelumnya Bumi dilihat sebagai pusat alam, kemudian sebagai planet yang mengorbit di salah satu bintang. CahaYa sebelumnya dianggap sebagai partikel, kemudian berubah dianggaP sebagai gelombang, dan yang terakhir dianggap sebagai foton. Uranus sebelumnya dilihat sebagai bintang, kemudian berubah pendapat itu menjadi komet, dan yang terakhir sebagai planet ketika William Herschel “menemukannya” sebagai temuan mutakhir.
Kuhn berargumen bahwa perubahan revolusioner yang dicontohkan bukan sekadar mengganti nama atas sesuatu (partikel, kemudian gelombang, kemudian foton pada cahaya misalnya), melainkan sesungguhnya para ilmuwan bekerja pada paradigma yang berbeda dan mengumpulkan data yang berbeda serta bekerja di ranah yang berbeda. Sesuatu yang sebelumnya perlu atas penjelasan bisa jadi terlihat sangat wajar di bawah paradigma yang baru. Sebaliknya, apa yang dianggap wajar pada masa sebelumnya, maka buku penjelasan ketika dibawa kepada paradigma yang baru. Oleh karena itu Kuhn menyatakan, “para ahli sejarah keilmuan harus menycztakan bahwa ketika paradigma berubah, inaka dunia itu akan otomatis berubah inengikuti paradigina tersebut.”
Walaupun ia sering menyatakan hal-hal yang kontradiktif di The Structure, Kuhn setidaknya mengakui bahwa para ilmuwan yang bekerja di paradigma yang berbeda sesungguhnya mereka hidup di dunia yang berbeda. Paradigma tidak dapat dikatakan sebagai interpretasi atas dunia sebagai objek tunggal, karena sesungguhnya “interpretasi” itu sendiri terjadi hanya melalui paradigma yang berbeda. Kita tidak akan melihat dunia ini dalam bentuk yang sesungguhnya, tapi yang terjadi yaitu kita belajar melihat dunia, dibimbing oleh paradigma itu.
Tanpa paradigma, maka tidak ada ilmu pengetahuan sama sekali, yang ada hanyalah kebingungan. mi merupakan salah satu poin yang dibuat Kuhn atas hasil dan referensinya tentang percobaan permainan kartu anomalinya Jerome S. Bruner dan Leo Postman serta pandangan terbaliknya George M. Stratton. Kuhn mengenalkan term incoinmensurabiliy untuk menerangkan sulitnya membandingkan satu paradigma dengan paradigma yang lain. Karena di sini tidak ada metode uji atas paradigma secara menyeluruh untuk membandingkan prediksi yang di hasilkan oleh suatu paradigma dengan paradigma lain. Sebab metode uji sudah lazim di kalangan ilmuwan ketika mereka menguji teori mereka. Kuhn memberikan argumen bahwa ketika ada kejadian yang mengguna kan kata yang sama di paradigma yang berbeda atau ketika ada fenomena yang dapat diterangkan di paradigma yang berbeda, kata itu sesungguhnya mempunyai arti yang berbeda di tiap paradigma dan fenomena yang terjadi itu sesungguhnya tidaklah sama.
Kritik terhadap incommensurability yang dikemukakan Toulmin belum berhenti di sana, pada awal 70-an CR. Kordig menerbitkan beberapa karya tulis yang ia tempatkan untuk menengahi Kuhn dan teori filsafat ilmu yang lebih tua. Poin krusial atas analisis Kordig berkisar di antara nyata dan wujudnya ketidakberubahan dalam süatu observasi.
Kritiknya menyatakan bahwa tesis Kuhn tentang incommensurability sangat radikal, hingga hal mi membuat tidak mungkin untuk menjelas kan konfrontasi atas teori-teori jumlah yang sering kali muncul. Menu rut Kordig, pada faktanya sangat dimungkinkan revolusi dan perpindahan paradigma pada ilmu pengetahuan dan masih dimurigkinkan ketika hal itu terjadi, suatu teori yang berdasar paradigma yang berbeda dapat dibandingkan dan dikonfrontasikan dalam rangka penelitian. Mereka yang mendukung tesis incommensurability seharusnya membatalkan dukungannya karena mereka sesungguhnya mengakui atas ketidakberlanjutan berbagai paradigma, sebab mereka memaksakan perubahan radikal pada hal itu.
Kordig menyatakan bahwa ada rangka penelitian umum yang dapat ditempuh. Sebagai contoh, ketika Kepler dan Tycho Brahe mencoba menjelaskan variasi relatif jarak matahari melalui cara membandingkannya di garis horizon ketika terbitnya, keduanya melihat hal yang sama (yaitu melihat konfigurasi yang sama yang difokuskan pada retina setiap individu), mi hanyalah satu contoh dan fakta bahwa “teori ilmuwan yang berlawanan berbagi rangka penelitian yang sama, lebih jauh berbagi pula sebagian arti yang sama.” Kordig menyatakan bahwa dia tidak akan mengenalkan ulang perbedaan atas observasi atau penelitian dengan teori. Ia hanya ingin menyatakan bahwa walaupun tidak ada perbedaan yang sangat jelas antara teori dan observasi, bukan berarti hal mi menyebabkan tidak ada perbedaan komprehensif pada kutub yang paling ekstrem. Selain itu, Kordig juga menyatakan bahwa ada rangka-rangka umum dan standar pada lintas paradigma, dan mereka berbagi norma yang mengizinkan konfrontasi yang efektif atas teori lawan.
Masih terdapat kritik lain atas The Structure Kuhn, seperti muncul dalam simposium mengenai The Structure. Dalam simposium khusus yang diselenggarakan pada 1965 tentang The Structure, Kuhn dikritisi oleh koleganya. Simposium yang digelar oleh International collogium on the philosophy of science yang diadakan di Kampus Bedford, London, dipimpin oleh Karl Popper. Output dan simposium mi di antaranya terbitnya presentasi simposium di samping juga beberapa esai, kebanyakan bersifat menolak pendapat Kuhn.
Kuhn merespons perhelatan simposium mi dengan menyatakan bahwa pembaca bukunya yang mengkritisinya sangat inkonsisten, Sehingga seakan-akan mereka memandang ada dua Thomas Kuhn dalam kritik mereka, yaitu Kuhn sebagai penulis buku The Structure dan Kuhn sebagai individu yang sedang “dihabisi” di simposium mi oleh Popper, Feyerabend, Lakatos, Toulmin, dan Watkins.
Kritik terhadap paradigma Kuhn yang mengemuka begitu gencarnya ternyata juga muncul di Eropa, sehingga dikenal dengan “Eropasentris”. Arun Bala yang dalarn studinya “the dialogue of civilizations in the birth of modern science” menyatakan, bahwa The Structure sangat kental dengan nuansa Eropasentris. Sebagai suatu karya keilmuan, walaupun di sisi tertentu membuka pintu untuk peran multikultural dalam studi sejarah keilmuan.
Kritik pertama, Kuhn melewatkan kontribusi ilmu optik oleh ilmu wan Arab lbn Aih Aytham (Aihazen) yang berpengaruh pada pemikir menengah seperti Roger Bacon dan Grossteste, serta pemikir modern seperti Galileo dan Kepler dalam tulisannya.
Kritik kedua, Kuhn tidak mengindahkan studi seminasi Needham pada tahun 50-an mengenai ilmu pengetahuan China dan kontribusinya pada ilmu pengetahuan modern. Bala berpendapat bahwa hal ini disebabkan kerangka epistemologi postmodernisme yang dianut oleh Kuhn yang menutup mata atas peran budaya non-Barat dalam pengembangan keilmuan modern. lnilah yang akhirnya membawa Kuhn untuk bersikap membedakan tradisi keilmuan secara kultural sebagai dunia intelektual yang terisolasi dan dunia keilmuan kultur lainnya. Bala menegaskan bahwa sesungguhnya tradisi keilmuan lintas kultural yang memasukkan kontribusi budaya Arab, China, Mesir Kuno, dan India dalam tradisi filsafat, matematika, astronomi, dan fisika yang menjadi cikal bakal dan mewarnai serta melahirkan ilmu pengetahuan masa kini.
Di tengah gencarnya kritik terhadap paradigma Kuhn ternyata ada juga dukungan atas ide-ide Kuhn, seperti dikemukakan Massimiano Buc chi (2004). Di antara pendukung gagasan Kuhn muncul seperti: Pertama, Massimiano Bucchi. Dia menyatakan bahwa munculnya paradigma menjadi sinyal bahwa sektor penelitian yang bersifat konsolidatif perlu menjadi suatu disiplin ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula bahwa sains dan paradigma secara efektif sama, karena sesungguhnya paradjg yaitu konsensus kolektif dan definisi yang tidak lain merupakan suatu ilmu pengetahuan. Kuhn sesungguhnya hanya menunjukkan bagaiman ilmu pengetahuan dapat berkembang melalui kombinasi perkembangan lambat melalui problem solving, juga secara cepat dan revolusioner dengan cara mengganti paradigma satu dengan paradigma yang lain. Kedna, Peter Dear (2001) menulis, dia membela secara khusus sikap filosofi5 Kuhn i mana sejarawan ilmu selalu rnenghindari prasangka. mi alasan mengapa Kuhn setuju dan rnengakui ide awal fenomenologi Edmund Hussen. Ketiga, Alexander Bird, dalam tulisannya (2005) dia menegaskan bahwa pikiran Kuhn merupakan teori ash. Bird mengatakan bahwa dampak Kuhn pada ilmu sosial mempunyai dua aspek: yang pertama, perubahan dalam din ilmu sosial-persepsi; yang kedua, saran peran baru dan materi untuk ilmu sosial.
Bagaimanapun, pemikiran Kuhn yang revolusioner sangat memengaruhi perkembangan filsafat ilmu di masa-masa setelahnya. Di sam- ping kritik dan dukungan yang dituai dalam karya fenomenal Kuhn, The Strncture, juga konsep revolusi ilmu pengetahuan yang ia tawarkan, ada baiknya juga sebagai ilmuwan perlu memilih dan memilah argumentasi yang dibangun oleh paradigma Kuhn. Karena bagaimanapun, seorang iimuwan harus terjaga dan suatu pemikiran “tidak ada kebenaran absolut” dan jangan sampai terjebak di ranah pemikiran yang relativisme. Sesungguhnya, karya Kuhn secara imphisit justru mengakui adanya suatu absolutisme dalam dunia keilmuan.





4.   Paradigma Thomas Aquinas
Amad Tafsir (1997) mengatakan, jauh sebelum Kuhn yang hadir di abad ke-20, dengan paradigmanya memurnikan ilmu pengetahuan dengan tanpa campur tangan Tuhan didalamnya, dan cenderung menyatakan obsolutisme ilmu, justru telah hadir filsuf besar di Barat, Thomas Aquinas (1225-1274). Thomas berusaha menyusun argumen logis dengan paradigmanya yang berusaha membuktikan adanya Tuhan dalam paradigma keilmuannya.
Paradigma Thomas Aquinas ditemukan dalam Swnma Theologia. Dalam buku mi dia berhasil memberikan argumen logis tentang adanya Tuhan. Lima argumen itu antara lain: Pertaina, argumen gerak. Menurut Thomas Aquinas, alam ini selalu bergerak, gerak tentu saja tidak berasal dari alam itu sendiri, gerak itu menunjukkan adanya penggerak yakni Tuhan, Dialah penggerak utama dan yang pertama. Kedua, argumen kau,salitas. Menurut Thomas Aquinas tidak sesuatu pun yang mempunyai penyebab pada dirinya sendiri, sebab itu harus berada di luar dirinya. Dalam realitas ada rangkaian penyebab, dan penyebab pertama yaitu Tuyang justru tidak memerlukan adanya penyebab yang lain. Ketiga,
argumen kemungkinan. Thomas mengatakan adanya alam mi bersifat rnunkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan yang diperoleh dan kenyataafl alam mi dimulai dan tidak ada, lalu muncul atau menjadi ada kemudian menjadi tidak ada. Kenyataan mi menyimpulkan bahwa alam mi tidak mungkin selalu ada. Dalarn din alam itu ada dua kemungkinan atau dua potensi, yaitu ada dan tidak ada, tetapi dua kemungkinan itu tidak akan muncul secara bersamaan pada waktu yang sama. Mula-mula alam mi tidak ada lalu ada, hal mi diperlukan yang ada untuk mengubah alam dan tiada menjadi ada, sebab tidak mungkin sesuatu dan tiada ke ada secara otomatis. Jadi, ada pertama itu harus ada.
Keempat, argumen tingkatan. Thomas meyakini bahwa isi alam mi ternyata bertingkat-tingkat (levels). Ada yang dihormati, lebih dihormati, dan terormat. Ada indah, lebih indah, sangat indah, dan sebagainya; yang mahasempurna yaitu penyebab yang sempurna, yang sempurna yaitu penyebab yang kurang sempurna, yang atas penyebab yang bawah. Tuhan ialah yang tertinggi, Dia penyebab di bawahnya. Kelima, argumen teologis. Thomas mengatakan tujuan alam mi bergerak menuju sesuatu, padahal mereka tidak tahu tujuan itu. Ada sesuatu yang mengatur alam menuju tujuan alam, Dia ialah Tuhan.
Argumen Thomas Aquinas sesungguhnya tidak akan membawa kita memahami Tuhan secara sempurna. Oleh karena itu Imanuel Kant
mengkritisi Thomas Aquinas, menurut Kant argumen Thomas memiliki kelemahan, dia menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dipahami melalui
“akal teoretis,” Tuhan dapat dipahami melalui suara hati (dhamir) yang disebutnya “moral”. Adanya Tuhan itu bersifat harus, hati saya, kata Kant “mengatakan Tuhan harus ada.” Menurut Kant, adanya Tuhan bersifat imperatif, siapa yang memerintah? Ya, suara hati atau moral itu.
Selanjutnya Kant mengatakan indra dan akal (ratio) itu terbatas kemampuannya, indra dan akal hanya mampu memasuki wilayah fenomena, bila indra masuk wilayah noumena maka ia akan tersesat dalam paralogisin. Wilayah noumena itu hanya mungkin dijelajahi oleh akal praktis.
Akal teoretis (rasional) tidak melarang kita memerintahkan untuk memercayainya. Rousseau dalam Will Durran (1959) mengatakan, bahwa di atas akal rasional di kepala ada perasaan hati, oleh karenanya sesuatu yang benar secara rasional di kepala belum tentu sama kebenarannya dengan kebenaran hati. Maka puncak kebenaran mi di atas akal rasional berada di wilayah hati.
Argumen akal tentang adanya Tuhan, juga tentang yang gaib yaitu objek metarasional, tidak dapat dipegang kebenarannya. Bila akal rasjo masuk ke wilayah ini ia akan tersesat. Hal lain Kant mengemukaka0 kasus argumen yang sering dikemukakan oleh teolog rasionalis untuk membuktikan adanya Tuhan, yaitu argurnen pengaturan alam semesta. Dalam argumen mi dikatakan bahwa alam mi teratur, yang mengatur yaitu maha pengatur, yaitu Tuhan. Hal ini dibenarkan oleh Kant, bahwa alam ini memang teratur. Banyak isi alam mi yang begitu teratur yang dapat membawa kita pada kesimpulan adanya Tuhan yang mengaturnya. Tetapi kita juga menyaksikan bahwa alam mi juga mengandung banyak ketidakteraturan, atau kekacauan, bahkan menyebabkan kesulitan dan kematian.
Jadi, terdapat perlawanan di alam secara realitas, inilah secara keseluruhan, akan tetapi itu pun tidak kuat untuk dijadikan bukti adanya Sang Pengatur. Dengan kata lain, Kant menyatakan Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan akal atau rasio teoretis, tapi perlu didukung oleh hati yang dia katakan moral “dhamir”.

Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)