BAB 10
AKSIOLOGI
ILMU PENGETAHUAN
ILMU PENGETAHUAN
DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA
A. HAKIKAT
AKSIOLOGI
Aksiologi yaitu cabang filsafat yang
mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu aksiologi
mempertanyakan untuk pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan? Bagaimana
kaitan ntara cara penggunaan itu dan kaidah moral? Bagaimana penentuan jek yang
ditelaah berdasarkan pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural
yang merupakan operasionaliaasi metode ilmiah dan norma-norma moral atau
profesional? Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Jujun S. Suriasumantri (2010) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan penggunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Francia
Bacon dalam Jujun bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan" apakah
kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang
kalaupun terjadi malapetaka yang diaebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan
bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat
netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada
pemilik dalam menggunaannya.
Aksiologi berasal dari perkataan
axios (Yunani) yang berarti nilai, layak, pantas, patut dan Logos yang berarti
teori, pemikiran. Jadi Aksiologi adalah "teori tentang nilai".
Aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama,
moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus,
yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini
melahirkan keindahan (seni/estetika). Ketiga, sosio political life, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Jadi,
aksiologi yaitu teori tentang nilai-nilai ketiga aspek ini, yakni moral,
keindahan, dan sosial politik.
Lebih lanjut, menurut John Sinclair
dalam Jujun S. Suriasumantri (2010), dalam lingkup kajian filsafat nilai
merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial, dan agama.
Adapun nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap
insan. Aksilogi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan
itu sendiri. Jadi, Aksiologi merupakan ilmu yang mempelaiari hakikat dan
manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu
tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya
dimanfadtkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena
akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut
masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap
tertentu kadang ilmu harus diaesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral
suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu itu dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan
menimbulkan bencana.
Aksiologi bisa juga diaebut sebagai
the theory of value atau teori nilai. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi merupakan kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi, Aksiologi yaitu bagian dari filsafat
yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah
(right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and objective).
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsiaten untuk perilaku etis.
Dewasa ini perkembangan ilmu sudah
melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, melainkan bahkan kemungkinan menciptitakan
tujuan hidup itu sendiri. Di sinilah moral sangat berperan sebagai landasan
normatif dalam penggunaan ilmu, serta dituntut tanggung jawab sosial ilmuwan
dengan kapasitas keilmuannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.
Nilai suatu ilmu berkaitan dengan
kegunaan. Guna suatu ilmu bagi kehidupan manusia akan mengantarkan hidup
semakin tahu tentang kehidupan. Kehidupan itu ada dan berproses yang
membutuhkan tata aturan. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa ilmu itu
digunakan. Ilmu tidak akan menjadi sia-sia jika kita dapat memanfaatkannya
dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula.
B. KATEGORI
DASAR AKSIOLOGI
Menurut Susanto (2011) mengatakan,
ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectiviam, yaitu penilaian
terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
Kedua, subjectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses
penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan
etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah,
dan teori nilai emotif teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran
objektivia, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran
subjektivia.
1. Teori Nilai Intuitif (The Intuitive Theory of
Value)
Menurut teori ini, sangat sukar jika
tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefimisikan suatu perangkat nilai yang
absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksia dalam
tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi, karena ada
tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksia sebagai piranti
objek atau menyatu dalam hubungan antar-objek, dan validitas dari nilai tidak
bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali mengakui dan menemukan
seseorang nilai itu melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur
perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of
Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya
pada nilai yang bersifat obiektif dan murni independen dari manusia. Nilai ini
ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan
sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagai
fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalat yang melakukan sesuatu berlawanan
dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran Tuhan nilai
ultimo, objektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori Nilai Alamiah (The Naturaliatic Theory
of Value)
Menurut teori ini nilai, diciptakan
manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dislaminya. Nilai yaitu
produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji oleh
individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.
Pendekatan naturalia mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai
tidak absolut tetapi bersifat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat
subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of
Value)
Jika tiga aliran sebelumnya
menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang
bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya
merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini
yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian
penting dari tindakan manusia.
C. NILAI
DAN KEGUNAAN ILMU (AKSIOLOGI ILMU)
Erliana Hasan (2011) mengatakan,
bahwa nilai (value) termasuk dalam pokok bahasan penting dalam filsafat ilmu,
diaamping itu digunakan juga untuk menunjuk kata benda yang abstrak dan dapat
diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Menilai
berarti menimbang, yakni suatu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain
yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan ini menyatakan
apakah sesuatu itu bernilai positif atau sebaliknya. Hal ini dihubungkan dengan
unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan
kepercayaannya. Dengan demikian, nilai dapat diartikan sebagai sifat atau
kualitas dari sesuatu yang bemanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku.
Terdapat empat pengelompokan nilai,
yaitu: (1) kenikmatan, (2) kehidupan, (3) kejiwaan, dan (4) kerohanian.
sesuatu dikatakan material apabila sesuatu itu berguna bagi jasmani manusia.
Demikian juga sesu'tu dikatakan bernilai vital ketika ia berguna bagi manusia
untuk dapat mengadakan kegiatan, dan sesuatu bernilai kerohanian apabila ia berguna
bagi rohani manusia.
Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi value and valuation ada tiga bentuk:
a. Nilai
digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam
kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia
berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi ialah bagian dari etika. Lewia
menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai
instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai
inheren atau kebaikan seperi estetis dari suatu karya seni, sebagai nilai
intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor
atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b. Nilai
sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata suatu nilai atau
nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk
apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa
yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c. Nilai
juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan
dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal itu secara aktif
digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dia hal tentang menilai, ia
bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
Dari defimisi mengenai aksiologi
yang dikemukakan, Amsal Bakhtiar (2011) menyimpulkan, bahwa permasalahan yang
utama dalam aksiologi itu mengenai nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang siapa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika
dan estetika. Selanjutnya. dikatakan Surajiyo (2010), pengetahuan ilmiah yaitu
pengetahuan yang didalam dirinya memiliki karakteristik kritia, rasional, logis,
objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan
untuk melakukannya. Namun selain itu, masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan
setelah ia membangun suatu bangunan yang kuat yaitu masalah kegunaan ilmu telah
membawa manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia
ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kukuh,
kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia, bukan sebaliknya. Di sinilah
letak tanggung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak sangat diperlukan. Oleh
karena itu, penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
Nilai kegunaan ilmu, untuk
mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan,
kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal sebagaimana
dikemukakan Idzan Fautanu (2012), yaitu:
1. Filsafat
sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide
yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau
sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori
filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori filsafat ilmu.
2. Filsafat
sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima
kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan
hidup gunanya yaitu untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat
sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan
pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu
masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu dapat diselesaikan.
Ada banyak cara menyelesaikan masalah, multi dari cara yang sederhana sampai
yang paling rumit. Bila cara yang digunakan sangat sederhana, maka biasanya
masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu
biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan
manusia.
Adapun dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan aksiologi dinamakan dengan value and valuation:
1. Nilai
digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
2. Nilai
sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata suatu nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya atau nilai dia.
3. Nilai
juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, atau
dinilai. Dari defimisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama yaitu mengenai nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan
estetika.
Pandangan Susanto (2011) mengatakan,
filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal berikut:
Pertama, persepsi manusia akan kenyataan. Kedua, pemahaman berbagai dinamika
alam. Ketiga, saling keterkaitan antara logika dan matematika, dan antara
logika dan antara matematika pada satu sisi dan kenyataan pada sisi lain. Keempat,
berbagai keadaan dari keberadaan teoretis. Kelima, berbagai sumber pengetahuan
dan pertanggungjawabannya. Keenam, hakikat manusia, nilai-nilainya, tempat dan posisinya
di tengah-tengah semua keberadaan lain, paling sedikit yang berada di
lingkungan dekatnya.
Teori tentang nilai dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana makna etika memiliki dua
arti, yaitu suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan
manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah
laku, atau yang lainnya.
Nilai itu bersifat objektif, tapi
kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan
berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif apabila subjek berperan
dalam memberi penilaian, kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.
Dengan demikian, nilai subjektif
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk
kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia,
terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang
mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya
sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi di pihak lain hal
ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom
atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan
yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan
untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan.
Selanjutnya dikatakan berkenaan
dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah
wajah dunia. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti: pertama, etika
merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan
manusia. Seperti ungkapan "saya pernah belajar etika". Arti kedua,
merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan, atau
manusia yang lain. Seperti ungkapan "ia bersifat etis atau seorang yang
jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
Etika menilai perbuatan manusia,
maka lebih tepat jika dikatakan bahwa objek formal etika yaitu norma kesusilaan
manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia
ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif,
yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Adapun estetika berkaitan
dengan nilai pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif atau subjektifkah
sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan
menjadi subjektif apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran
manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian, nilai
subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi
manusia, seperti perasaan. Intelektualitas dan nilai hasil subjektif selalu
mengarah pada sesuatu suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya
seseorang melihat matahari terbenam di sore hari. Akibat yang dimunculkannya
yaitu menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam
itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain akan
memiliki kualitas yang berbeda. Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung
pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya
pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Ini beranggapan pada tolak ukur
suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar realitas
benar-benar ada. Misalnya kebenaran tidak bergantung pada pendapat individu,
tetapi pada objektivitas fakta, kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh
prosedur. Demikian juga dengan nilai orang yang berselera rendah tidak
mengurangi keindahan suatu karya seni.
Gagasan aksiologi dipelopori juga
oleh Lotze Brentano, Husserl, Scheller, dan Nocolai Hatmann. Scheller
mengontraskan dengan praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat
tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori moralitas
mengenai tindakan yang benar. Dalam penilaiannya terdapat dua bidang yang paling
populer saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku keadaan atau
tampilan fisik. Dengan demikian, kita mengenai aksiologi alam dua jenis, yaitu
etika dan estetika. Etika yaitu bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian
atas perbuatan manusia dari sudut baik atau jahat. Etika dalam bahasa Yunani ethos, yang artinya kebiasaan atau habit atau custom. Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan
penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek, secara umum estetika mengkaji
mengenai apa yang membuat rasa senang.
Dagobert Runes mengemukakan beberapa
persoalan yang berkaitan dengan nilai yang menyangkut hakikat nilai, tipe
nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai. Mengenai hakikat nilai
banyak dikemukakan diantaranya teori valuntariame. Teori ini mengemukakan bahwa
nilai yaitu suatu pemuasan terhadap suatu keinginan atau kemauan. Menurut kaum
hedoniame menyatakan bahwa hakikat nilai yaitu "pleasure" atau kesenangan. Semua manusia mengarah pada kesenangan.
Menurut forma-lism nilai yaitu
kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akal
rasional.
Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan memiliki
nilai instrumental, sebagian alat untuk mencapai tujuan.
Adapun tipe nilai dapat dibedakan
antara lain intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai
akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk
mencapai nilai intrinsik. Sebagai contoh nilai intrinsik yaitu nilai yang
dipancarkan oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu merupakan nilai intrinsik
dan merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur. Nilai instrumentalnya bahwa
dengan melaksanakan shalat akan mencegah perbuatan yang keji atau jahat, yang
dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
Yang dimaksud
dengan kriteria nilai yaitu sesuatu yang menjadi ukuran nilai, bagaimana nilai
yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Kaum hedoniame menemukan nilai
sejumlah "kesenangan" (pleasure) yang dicapai oleh individu atau
masyarakat. Bagi kaum pragmatic, kriteria nilai yaitu "kegunaannya"
dalam kehidupan bagi individu atau masyarakat. Adapun yang dimaksud metafisik
nilai yaitu bagaimana hubungan nilai-nilai itu dengan realitas, dan dibagi menjadi
tiga bagian: Pertama, subjektivisme: value
ia entirely dependent on and relative to human experience of it. Kedua,
logikal objektivisme, value are logical
essences for subsiatences, independent of their being known, yet not eksistensial
status of action in relity. Ketiga, metaphysical
objektivisme, values or norm or ideals are integral objective an active
constituents of the Metaphysical real.
Dalam pandangan objektivisme, nilai
itu berdiri sendiri namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman
manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara manusia yang satu dan yang
lainnya. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu kehidupan yang logis
tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya, namun tidak memiliki status dan
gerak di dalam kenyataan. Menurut objektivisme metafisik, nilai yaitu sesuatu
yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.
D. KARAKTERISTIK
NILAI AKSIOLOGI
Erliana Hasan (2011) mengatakan ada
dua karakteristik yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu: Pertama, nilai
objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika ia tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya,
maknanya, dan validitasnya tergantung pada realisasinya subjek yang melakukan
penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik. Suatu
nilai dikatakan objektif apabila nilai itu memiliki kebenarannya tanpa memperhatikan
pemilihan dan penilaian manusia. Contohnya, nilai-nilai baik, jika benar,
cantik, merupakan realitas alam, yang merupakan bagian dari sifat yang dimiliki
oleh Benda atau tindakan itu. Nilai itu subjektif apabila memiliki preferensi
pribadi, dikatakan baik karena dinilai oleh seseorang. Kedua, nilai dikatakan absolut atau abadi. Apabila nilai yang
berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku secara absah
sepanjang masa serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan atau kelas
sosial.
Di pihak lain ada yang beranggapan
bahwa semua nilai relatif sesuai dengan harapan dan keinginan manusia yang
selalu berubah, maka nilai itu pun mengungkapkan perubahan itu. Nilai berubah
merespons dalam kondisi baru, ajaran baru, agama baru, penemuan baru dalam
sains dan teknologi, kemajuan dalam pendidikan, dan lainnya.
Dalam aksiologi, ada dua penilain
yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika yaitu cabang filsafat yang
membahas secara kritia dan sistematis masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada
perilaku, norma, dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah satu cabang
filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa ocrates dan para kaum sofia. Di situ
dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan, dan sebagainya.
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar
yang ditulis oleh Franz Magnin Suseno diartikan sebagai pemikiran kritia, sistematis,
dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Isi dari pandangan moral ini sebagaimana
telah dijelaskan diatas norma-norma, adat, wejangan, dan adat istiadat manusia.
Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah
dan larangan, tatapi suatu pemikiran yang kritia dan mendasar tujuan dari etika
yaitu agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia
lakukan.
Aspek aksiologi merupakan aspek yang
membahas tentang untuk
ilmu itu digunakan. Selanjutnya Erliana mengutip pendapat Bramel,
alam aspek aksiologi ini ada moral conduct, estetic expresion, dan sosiolitical. Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan. Namun salah satu tanggung jawab seorang ilmuwan yaitu dengan melakukan sosialiaasi tentang penemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan itu. Dan, moral yaitu hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang meminta permintaan, moral yaitu suatu tuntutan. Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metodis, sistematis, dan universal. Dan, knowledge yaitu keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman maupun pemahaman dari suatu objek.
ilmu itu digunakan. Selanjutnya Erliana mengutip pendapat Bramel,
alam aspek aksiologi ini ada moral conduct, estetic expresion, dan sosiolitical. Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan. Namun salah satu tanggung jawab seorang ilmuwan yaitu dengan melakukan sosialiaasi tentang penemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan itu. Dan, moral yaitu hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang meminta permintaan, moral yaitu suatu tuntutan. Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metodis, sistematis, dan universal. Dan, knowledge yaitu keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman maupun pemahaman dari suatu objek.
Pandangan lain Amsal Bakhtiar (2011)
mengatakan, sains merupakan kumpulan hasil observasi yang terdiri dari
perkembangan dan pengujian hipotesis, teori, dan model yang berfungsi
menjelaskan data. Dihadapkan dengan masalah dalam ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan
hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
menggunakannya, apakah akan diguanakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk
tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu
secara total. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua
mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: (a) ilmu secara faktual telah
digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua
perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan; (b) ilmu telah berkembang
dengan pesat dan makin esoteric
hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses yang mungkin terjadi bila
terjadi penyalahgunaan; (c) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang
paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.
E. KORELASI ANTARA FILSAFAT ILMU DAN
AKSIOLOGI
Dalam kaitan antara nilai guna ilmu,
baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu
itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat
mengubah wajah dunia. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat
subjektif Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan
pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran
pada pendapat individu, tetapi pada objekitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi
subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia
menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan pengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu?
Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu
harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara pernyataan
ilmiah dan anggapan umum yaitu terletak pada objektivitasnya. Seorang ilmuwan
harus melihat realitas emperis dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat ideologis,
agama, dan budaya. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen. Ketika Seorang ilmuwan bekerja, dia
hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya
berhasil dengan baik. Nilai aktif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau
terikat pada nilai subjektif.
Teori tentang nilai dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana makna etika memiliki dua
arti, yaitu merupakan satu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan,
tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang
bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergangu pada
subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan ada pada objeknya,
bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada
kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta. Sebaliknya,
nilai menjadi subjektif, apabila subjeknya berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri
bahwa peradaban manusia
sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, karena itu kita tidak bisa dimungkiri peradaban manusia berutang budi pada sains dan teknologi. berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, karena itu kita tidak bisa dimungkiri peradaban manusia berutang budi pada sains dan teknologi. berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap pertama ilmu sudah
dikaitkan dengan tujuan perang, di samping itu ilmu sering dikaitkan dengan
faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya
yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang selalu berkembang melampaui perkembangan budaya dan peradaban manusia.
F. SIKAP
DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN
Sikap seorang ilmuwan dilihat dari
sudut atau cara berpikirnya, yang pada hakikatnya adalah mereka yang biasa
berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya yang mengalir
melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan
pemikirannya dikaji dengan teliti. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan
dibandingkan dengan cara berpikir orang awam.
Ilmu merupakan hasil karya seorang
ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas. Jika hasil karyanya itu
memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu akan menjadi ilmu
pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka jelaslah, jika ilmuwan
memiliki tanggung jawab yang besar bukan saja karena ia merupakan warga masyarakat,
melainkan karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsinya
selaku ilmuwan tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi juga bertanggung
jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta bertanggung
jawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalahgunakan.
Selain itu pula, dalam masyarakat
sering kali terdapat berbagai masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka
ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya analisisnya diharapkan
mampu mendapatkan pemecahan dari masalah itu. Seorang ilmuwan dengan kemampuan
berpikirnya mampu memengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah. Ilmuwan
mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa
yang mudah dicerna. Tanggungjawab sosial seorang ilmuwan yaitu memberikan
perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga
penyelesaian yang objektif apat dimungkinkan.
Tanggung jawab sosial lainnya dari
seorang ilmuwan yaitu dalam bidang etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus
memosisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang ilmuwan haruslah bersifat
objektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam
pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat
lainnya merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang
ilmuwan pada hakikatnya merupakan manusia yang biasa berpikir dengan teratur
dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu
saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan
dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam
berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai
tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia
mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru,
dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri teladan
dalam masyarakat.
Dengan kemampuan pengetahuannya,
seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah yang
seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat,
ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat
dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan
pengetahuannya dan daya analisianya, melainkan juga integritas kepribadiannya.
Di bidang etika, tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi
informasi melainkan memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya
bersifat objektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dinggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Tugas
seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas
dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Seorang ilmuwan secara moral tidak
akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya digunakan untuk menindas
bangsa lain meskipun yang menggunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah
mencatat, para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang
menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan
kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya
dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan harus dipupuk
subur kembangkan dan berada pada tempat yang tepat, baik tanggung jawabnya
secara akademis maupun tanggung jawab moral dan sosial masyarakat.
G. HIERARKI
DAN ASPEK NILAI DALAM PENGETAHUAN
Sutardjo Wiramihardja (2007)
menguraikan ada tiga pandangan yang berkaitan dengan hierarki nilai: Pertama, kaum idealis berpandangan secara
pasti terhadap tingkatan nilai, di mana nilai spiritual lebih tinggi daripada
nonspiritual (nilai material). Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat
yang tinggi karena nilai religi membantu manusia dalam menemukan akhir hidupnya,
dan merupakan kesatuan dengan nilai spiritual. Kedua, kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkatan
nilai, di mana mereka menempatkan nilai rasional dan emperis pada tingkatan
atas, sebab membantu manusia realitas objektif, hukum alam dan aturan berpikir
logis. Ketiga, kaum pragmatis menolak
tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka suatu aktivitas dikatakan baik
seperti yang lainnya apabila memuaskan kebutuhan yang penting dan memiliki
nilai instrumental.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam
ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen. Kebebasan inilah nantinya akan
dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, ia hanya
tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil
dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau
terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat,
nilai agama, dan nilai adat. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dan
kebenaran ilmiahnya sangat penting.
Perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun
apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
berkah dan penyelamat bagi manusia. Manusia terbebas dari kutuk yang membawa
malapetaka dan kesengsaraan. Memang dengan jalan mempelajari teknologi seperti
pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi
dan keselamatan manusia tetapi di pihak lain hal ini juga bisa berakibat sebaliknya,
yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu
pengetahuan yang pada esensinya sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk
apa ebenarnya nilai itu digunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu,
apakah para ilmuwan harus berpaling pada hakikat moral? Bahwa ilmu itu
berkaitan erat pada persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan
nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Conpernicus
mengemukakan teorinya "Bumi berputar mengelilingi matahari" sementara
ajaran agama menilai sebaliknya maka timbullah interaksi antara ilmu dengan
moral yang berkonota&i metafisik, sedangkan di pihak lain terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan yang terdapat dalam ajaran di
luar bidang keilmuan, di antaranya agama. Timbul konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik ini, yang berkulmiasi pada pengadilan inkuisisi Galileo,
yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih 2,5
abad memengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini
para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana
adanya dengan semboyan "ilmu yang bebas nilai", setelah pertarungan
itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu.
Artinya, kebebasan dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam
sebagaimana adanya.
Setelah ilmu mendapatkan otonomi
yang terbebas dari segenap misi yang bersifat dogmatis, ilmu dengan leluasa
dapat mengembangkan. Lirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret, seperti
teknologi. eknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul
pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi,
apakah ini merupakan masalah kebudayaan atau masalah moral? Apakah teknologi
itu menimbulkan akses yang negatif terhadap masyarakat.
Dihadapkan dalam masalah moral dalam
ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi dalam dua
golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis, dalam hal
ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah pada orang lain untuk
menggunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan
yang buruk. Golongan ini ingin melajutkan tradisi ilmu secara total seperti
pada waktu era Galileo. Golongan yang kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanya terbatas pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam
penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hal, yakni: Pertama, ilmu secara faktual telah
digunakan secara deduktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua
perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan. Kedua, ilmu telah berkembang
dengan pesat dan makin esoteris hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang
ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. Ketiga, ilmu
telah berkembang pesat sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu
dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti pada kasus
revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.
Berdasarkan hal di atas, maka
golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditunjukkan untuk
kebaikan manusia tanpa merendahkan hakikat dan mengubah kemanusiaan. Dari
kedua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epiatemologisnya
saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun, selain kepada kebenaran yang
nyata. Adapun secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana
yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang
ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan
lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika keilmuwan merupakan etika yang
normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika
keilmuwan yaitu agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral,
yaitu yang baik dan yang menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku
keilmuannya. Sehingga ia menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku
ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah yang mendasari pemberian penilaian
terhadap perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya
terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan
selalu mengacu kepada "elemen-elemen" kaidah moral, yaitu hati nurani
kebebasan dan serta tanggung jawab nilai dan norma yang bersifat utilitaristik
(kegunaan). Hati nurani di sini yaitu penghayatan tentang yang baik dan yang
buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada
etika keilmuan yaitu nilai dan norma nilai. Lalu apa yang menjadi kriteria pada
nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia
berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada
seperti nilai agama, hukum, dan budaya; yang paling utama dalam nilai moral
yaitu yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan
apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang
ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah
ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang
telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi ataupun teori emansipasi
masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan,
nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan itu sudah
tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah mayarakat luasdan
masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain
yang berkaitan dengan penerapan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal
positif. Namun tidak semua teknologi dan ilmu pengetahuan mempunyai dampak
positif ketika berada di tengah masyarakat. Kadang kala teknologi berdampak
negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu teknologi
bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan yang telah ada
sebelumnya, seperti rekayasa genetik (cloning
manusia), yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat manusia atau
ajaran agama. Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi
seorang ilmuwan, apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa
besar, bersifat terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat. Tugas seorang
ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar
rasionalitas dan metodologi yang tepat.
Di bidang etika, tanggung jawab
seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi melainkan harus memberi contoh.
Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan menerima pendapat
orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani
mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan implikasi etis dari proses penemuan
kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan,
maka seorang ilmuwan harus tampil di depan. Pengetahuan yang dimilikinya
merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus
dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap
seperti seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu
pengetahuan yang terkait dengan nilai-nilai? Suwardi Endraswara (2012)
mengemukakan, ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya dan agamalah yang
menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya,
yakni memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia
menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya dan tidak mengarahkan ilmu
pengetahuan hanya pada tataran praksis, pada kemudahan material duniawi.
Solusi yang diberikan Al-Qur'an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan
nilai yaitu dengan cara mengembagikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya,
sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam, bukan sebaliknya
membawa mudarat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam
ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak
pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia
atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan
bukan hanya untuk mendesak kemanusiaan melainkan kemanusiaan yang menggenggam
ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada
Sang Pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada
beberapa perbedaan pendapat antara filsuf dan para ulama. Sebagian berpendapat
bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya,
dan mereka ungkapkan hal ini dengan ungkapan ilmu pengetahuan untuk ilmu
pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya.
Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau
ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambah kesenangan
manusia dalam kehidupan yang terbatas di muka Bumi ini. Menurut pendapat yang
kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau
untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya
akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan
kesehatan. Adapun pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan umat manusia secara
keseluruhan.
Lebih jauh Suwardi mengemukakan
ilmuwan perlu menjaga kredibilitas ilmu yang dimiliki. Ilmu pengetahuan perlu
diraih dengan langkah-langkah yang tepat, jauh dari plagiarisme. Setiap ilmu
pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi suatu teknologi yang benar-benar
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari moral ilmuwannya.
Untuk seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan pribadi atau kepentingan
masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan Serta masalah bebas
nilai.
Untuk itulah tanggung jawab seorang
ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat. Tanggung jawab
akademis dan tanggung jawab moral mengenal apa yang dimaksud aksiologi. Dengan
kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi opini
masyarakat terhadap masalah yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini,
ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya, melainkan juga
integritasnya. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu
saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan
dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam
berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mempunyai
tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui
bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membuat mereka keliru, dan yang
lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Berbicara tentang aspek nilai dalam
ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara (2012) mengatakan nilai-nilai kehidupan
menjadi wilayah garapan dalam aksiologi. Nilai akademik selalu membingkai
perilaku keilmuan. Nilai akan mengukur, apakah seseorang melanggar etika
akademik atau tidak. Nilai merupakan konsep abstrak mengenai masalah dasar baik
yang merupakan sifat maupun sikap, perilaku perbuatan seseorang atau kelompok
yang sangat penting dan berguna bagi kehidupan manusia dan masyarakat lahir dan
batin.
Keingintahuan seseorang dalam bidang
ilmu, jika tanpa nilai, akan berjalan tidak wajar. Akibatnya banyak yang
menerjang etika keilmuan. Rasa keingintahuan manusia ternyata menjadi titik
perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Namun rasa ingin tabu itu perlu
diimbangi dengan etika tertentu. Etika yaitu bangunan nilai, yang diterapkan untuk
mengukur perilaku manusia. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam
penelitian dan hipotesis awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman
realitas. Proses berfilsafat merupakan titik awal sejarah perkembangan
pemikiran manusia di mana manusia berusaha untuk mengorek, memerinci, dan
melakukan pembuktian yang tak lepas dari kungkungan. Kemudian dirumuskanlah
suatu teori pengetahuan di mana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi
beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir suatu konsep yang
dinamakan ilmu.
Kemudian Suwardi menjelaskan lebih
jauh bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya
merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari malapetaka dan
kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom nuklir, manusia bisa
memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia,
tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa
manusia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka bagi manusia. Di
sinilah fungsi ilmu teruji keberadaannya, apakah dia bernilai atau tidak bagi
kemaslahatan manusia, atau sebaliknya menjadi malapetaka bagi kehidupan
makhluk dan manusia.
Berkenaan dengan nilai guna ilmu,
tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan
hal ini, menurut Francia Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S.
Suriasumantri, yaitu bahwa "pengetahuan yaitu kekuasaan", apakah
kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang
kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa
mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri
merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu
memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk tetapi tergantung
pada pemilik atau manusia dalam menggunakannya.
H. ASPEK PENELITIAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Solly Lubis (2012) mengatakan dasar
pendekatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah sama, tetapi di
dalam perkembangan metode yang digunakan mengalami perbedaan dalam penggunaan
pendekatan metode penelitian. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan, pertumbuhan
dan perkembangan bidang-bidang ilmu pengetahuan itu sendiri. Metode ilmiah
untuk pengembangan dapat berbeda-beda antara ilmu sosial dan yang lainnya.
Adapun metode penelitian pada hakikatnya sama untuk semua bidang ilmu
pengetahuan. Penelitian dapat berperan dalam ilmu pengetahuan di dalam hal
berikut: Pertama, menemukan bidang
baru pengetahuan dengan penemuan dan motivasi. Kedua, memantapkan dan mengukuhkan bidang baru itu melalui
pengujian atas hipotesis yang relevan dengan bidang ilmu yang dikaji. Ketiga, mengembangkan jangkauan wewenang
ilmu itu dengan teori dan disiplin.
Adapun peran konkret penelitian
dalam pengembangan ilmu, kata Solly yaitu: Pertama,
penyusunan teori (teoretisasi). Dari hasil penelitian atas fakta, diperoleh
penjelasan yang berupa pengertian tentang fenomena alamiah, dan diberi generalisasi
dari fenomena itu. Dari generalisasi ini disusun prinsip yang merupakan
hubungan antara fenomena yang satu dan yang lainnya, dan selanjutnya jika ini
telah mapan, ia akan menjadi hukum atau aturan main. jika hukum ini telah
berlaku umum, tidak tergantung kepada waktu dan tempat ditemukannya fenomena
alamiah tersebut, pertama kali ia akan dibangun menjadi teori atau hipotesis
umum dari bidang ilmu. Teori ini harus terdiri dari aksioma, yakni ketentuan
yang berupa anggaran dasar, teorama atau dalil, hipotesis, yang merupakan
kesimpulan dan metode. Ada tiga syarat agar suatu teori dapat meningkat menjadi
ilmu yaitu bahwa teori itu harus mengandung suatu statement, metode tertentu, dan
hipotesis, yang semuanya itu harus teruji kebenarannya.
Kedua,
verifikasi (memeriksa). Dari teori ilmu pengetahuan yang kadang-kadang seorang
ilmuwan menemukan gejala atau fenomena ada, kadang yang relevan dengan teori
tertentu, tetapi ia merasakan adanya ketidakcocokan yang untuknya merupakan
keadaan problematik. Dari keadaan ini ia memformulasikan masalahnya.
Sebagaimana hal yang logis dalam ilmu pengetahuan, maka ia akan menyusun suatu
kesimpulan sementara atau hipotesis dari fenomena itu. Oleh Jujun S.
Suriasumantri (2010) dan proses ilmu pengetahuan melalui metode ilmiah ini disebut
dengan logico, hipotetico, dan verifikasi.
Tindak selanjutnya dari ilmuwan itu
yaitu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang relevan dengan masalah
tersebut. Tindakan ini yang sebenarnya merupakan penelitian, akan memberikan
hasil yang dapat mendukung hipotesis atau menolak hipotesis itu. Dari hasil
penolakan atau dukungan atas hipotesisnya, si ilmuwan dapat menerima atau tidak
dapat menerima teori pengetahuan tentang fenomena alamiah ilmu.
Pernikiran rasional yaitu setiap pemikiran
yang sesuai dengan norma-norma logika. Yang dimaksud di sini yaitu membedakan
benda-benda tidak identik dan diikuti dengan proses penalaran silogistik
tentang hubungan dari benda atau
sesuatu. Tetapi rasionalitas logis tidak mempunyai hubungan satu-satu dengan ilmu
pengetahuan, sebab rasionalitas juga menjadi sumber yang lainnya, seperti
keindahan, rasa, dan etik. Ilmu
pengetahuan hanya ada jika sesuatu yang tersedia untuk dirasakan
oleh indra kita
atau oleh instrumen ilmiah. Oleh karena itu ilmu pengetahuan harus rasional dan
empiris.
Fungsi utama ilmu pengetahuan yaitu
sebagai himpunan ide siatematik dan umum yang merupakan inti dari ilmu
pengetahuan modern yang telah
berkembang. Yang dimaksud dengan skema konseptual yaitu sistem umum proposisi
dari acuan empiris yang menyatakan kondisi penentu di mana fenomena empiris
berhubungan satu sama lain. Skema konseptual yang baik merupakan komponen
kumulatif yang utama dari ilmu pengetahuan.
Bentuk ideal dari skema konseptual yaitu yang memiliki generalitas yang luas, yakni yang didalamnya jumlah dari kategori konseptual atau variabel kecil dalam artian proporsi umum yang abstrak. Hal seperti ini hanya terdapat dalam ilmu pengetahuan alam, tetapi tidak demikian dalam ilmu pengetahuan sosial. Tetapi skema konseptual memiliki acuan kepada data empiris, maka harus ada teknik untuk mengumpulkan data dan teknik lain untuk menyusun data itu kepada kategori konseptual yang sesuai. Hubungan antara skema konseptual dan teknik bukanlah sesuatu yang sederhana, kendatipun ada ketergantungan satu sama lain.
Di sana juga ada kebebasan satu sama lain. Skema konseptual dengan penalaran deduktif dapat secara independen meramalkan data di mana teknik yang ada tidak mampu mengobservasinya.
Bentuk ideal dari skema konseptual yaitu yang memiliki generalitas yang luas, yakni yang didalamnya jumlah dari kategori konseptual atau variabel kecil dalam artian proporsi umum yang abstrak. Hal seperti ini hanya terdapat dalam ilmu pengetahuan alam, tetapi tidak demikian dalam ilmu pengetahuan sosial. Tetapi skema konseptual memiliki acuan kepada data empiris, maka harus ada teknik untuk mengumpulkan data dan teknik lain untuk menyusun data itu kepada kategori konseptual yang sesuai. Hubungan antara skema konseptual dan teknik bukanlah sesuatu yang sederhana, kendatipun ada ketergantungan satu sama lain.
Di sana juga ada kebebasan satu sama lain. Skema konseptual dengan penalaran deduktif dapat secara independen meramalkan data di mana teknik yang ada tidak mampu mengobservasinya.
Sebaliknya, teknik observasi dan
penyusunan data yang ada dapat mengumpulkan data yang tidak cocok ke dalam
skema konseptual. Hal ini sesuatu yang lumrah dalam ilmu pengetahuan, dan
keadaan ini sering kali menimbulkan stimulasi untuk rekonstruksi skema
konseptual yang ada, yang merupakan jalan ke kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan tidak hanya
merupakan kumpulan dari sejumlah besar fakta. Tetapi ia merupakan kumpulan dan
susunan fakta dalam kaitan satu skema konseptual, yakni skema yang selalu
direkonstruksi jika penggunaannya atau digunakannya teknik pengumpulan data dan
menghasilkan fakta baru. Skema konseptual dan teknik mungkin sekali tidak
terpadu secara sempurna dan sering kali dari kesenjangan ini fakta yang dapat mengkonstruksi skema konseptual
yang lebih umum dan sistematis.
Dari penjelasan di atas dan
perkembangannya, di dunia ilmu pengetahuan ada dua pandangan tentang ilmu
pengetahuan yakni pandangan statis dan dinamis. Dari sudut pandangan statis,
ilmu pengetahuan yaitu suatu kegiatan yang menyajikan informasi secara sistematis
kepada dunia. Tugas seorang ilmuwan hanya menemukan fakta baru dan kemudian
menambahkannya kedalam informasi yang telah ada. Jadi, ilmu pengetahuan hanya
merupakan kumpulan fakta dan cara untuk menjelaskan fenomena yang diamati.
Solly Lubis (2012) mengatakan lebih
jauh, ada dua pandangan tentang fungsi ilmu pengetahuan. Pertama, untuk seorang
praktisi, ilmu pengetahuan merupakan satu disiplin atau kegiatan yang diarahkan
untuk memperbaiki sesuatu dalam membuat kemajuan. Maka fungsi ilmu pengetahuan
yaitu membuat penemuan mempelajari fakta, demi untuk mengembangkan pengetahuan
atau memperbaiki sesuatu.
Adapun pandangan kedua dari kalangan
teoretisi, di mana fungsi ilmu pengetahuan membentuk hukum umum yang meliputi
perilaku dari peristiwa emperis atau objek, sehingga kita mampu mengembangkan
pengetahuan atas peristiwa yang terpisah, dan dapat membuat ramalan atas peristiwa
yang belum diketahui.
Secara definitif, teknokrat
merupakan tokoh yang memiliki kemampuan teknis berdasarkan disiplin ilmu tertentu
yang dikuasainya dan sekaligus ia terlibat dalam kegiatan berkuasa dan
memerintah. Dari hal ini terdapat fungsi ganda pada kalangan teknokrat, yakni: Pertama, selaku teoretisi, ia menganggap
bahwa fungsi ilmu pengetahuan yaitu membentuk hukum umum dari temuan peristiwa empiris
atau objek, yaitu mengembangkan pengetahuan, selain menjelaskan apa hakikat peristiwa
yang diamatinya, dan membuat prediksi ke depan. Kedua, selaku praktisi, teknokrat itu memandang ilmu pengetahuan
sebagai suatu disiplin kegiatan berpikir dan bertindak menganalisis fakta,
dengan tujuan untuk menawarkan solusi sejauh diperlukan.
Dalam konteks sikap terhadap ilmu
pengetahuan, Suwardi Endraswara (2012) mengungkapkan bahwa setiap sikap dan
perilaku terkait dengan ilmu pengetahuan harus ada nilai-nilai yang berhubungan
dengan seluruh keyakinan. Di dalam ilmu sendiri sebenarnya terdapat proses
keyakinan. Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
Berbagai ragam nilai akan menawarkan pilihan bagi kehidupan. Manusia harus
menjatuhkan pilihan sesuai keinginan. Pilihan nilai itu berkaitan pula dengan
percobaan manusia untuk mewujudkan rasa ingin tabu terhadap ilmu pengetahuan
yang dimilikinya.
Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu
(Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)
apa kesimpulan dan saran dari materi ini,mohon dijawab
ReplyDelete