Thursday, September 4, 2014

AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA (Bab 10)

BAB 10
AKSIOLOGI
ILMU PENGETAHUAN
DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA

A.        HAKIKAT AKSIOLOGI
            Aksiologi yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai se­cara umum. Sebagai landasan ilmu aksiologi mempertanyakan untuk pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan ntara cara penggunaan itu dan kaidah moral? Bagaimana penentuan jek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral? Bagaimana kaitan an­tara teknik, prosedural yang merupakan operasionaliaasi metode ilmiah dan norma-norma moral atau profesional? Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S. Suriasumantri (2010) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan penggunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Francia Bacon dalam Jujun bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang diaebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunaannya.
            Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, layak, pantas, patut dan Logos yang berarti teori, pemikiran. Jadi Aksiologi adalah "teori tentang nilai". Aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan (seni/estetika). Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Jadi, aksiologi yaitu teori tentang nilai-nilai ketiga aspek ini, yakni moral, keindahan, dan sosial politik.
            Lebih lanjut, menurut John Sinclair dalam Jujun S. Suriasumantri (2010), dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial, dan agama. Adapun nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Aksilogi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, Aksiologi merupakan ilmu yang mempelaiari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfadtkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.        
            Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus diaesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyara­kat; sehingga nilai kegunaan ilmu itu dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.   
            Aksiologi bisa juga diaebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi merupakan kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi, Aksiologi yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and objective). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsiaten untuk perilaku etis.
            Dewasa ini perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, melainkan bahkan kemungkinan menciptitakan tujuan hidup itu sendiri. Di sinilah moral sangat berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu, serta dituntut tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas keilmuannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.
            Nilai suatu ilmu berkaitan dengan kegunaan. Guna suatu ilmu bagi kehidupan manusia akan mengantarkan hidup semakin tahu tentang kehidupan. Kehidupan itu ada dan berproses yang membutuhkan tata aturan. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa ilmu itu digunakan. Ilmu tidak akan menjadi sia-sia jika kita dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula.


B.        KATEGORI DASAR AKSIOLOGI
            Menurut Susanto (2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiolo­gi: Pertama, objectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat un­sur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran objektivia, se­dangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subjektivia.

1.   Teori Nilai Intuitif (The Intuitive Theory of Value)
            Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefimisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksia dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi, karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksia sebagai piranti objek atau menyatu dalam hubungan antar-objek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali mengakui dan menemukan seseorang nilai itu melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.

2.   Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)
            Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat obiektif dan murni independen dari manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalat yang melakukan sesuatu ber­lawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran Tuhan nilai ultimo, objektif, absolut yang seharusnya mengarah­kan perilakunya.

3.   Teori Nilai Alamiah (The Naturaliatic Theory of Value)
            Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuh­an dan hasrat yang dislaminya. Nilai yaitu produk biososial, artefak ma­nusia yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalia mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak abso­lut tetapi bersifat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.

4.   Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)
            Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.

C.        NILAI DAN KEGUNAAN ILMU (AKSIOLOGI ILMU)
            Erliana Hasan (2011) mengatakan, bahwa nilai (value) termasuk da­lam pokok bahasan penting dalam filsafat ilmu, diaamping itu digunakan juga untuk menunjuk kata benda yang abstrak dan dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Menilai berarti menim­bang, yakni suatu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan ini menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif atau sebaliknya. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu jas­mani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaannya. Dengan demikian, nilai da­pat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bemanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadi­kan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku.
            Terdapat empat pengelompokan nilai, yaitu: (1) kenikmatan, (2) ke­hidupan, (3) kejiwaan, dan (4) kerohanian. sesuatu dikatakan material apabila sesuatu itu berguna bagi jasmani manusia. Demikian juga sesu'tu dikatakan bernilai vital ketika ia berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan, dan sesuatu bernilai kerohanian apabila ia ber­guna bagi rohani manusia.
            Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi value and val­uation ada tiga bentuk:
a.   Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam penger­tian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk ke­wajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi ialah bagian dari etika. Lewia menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperi estetis dari suatu karya seni, sebagai nilai intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b.   Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata su­atu nilai atau nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.   Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan eva­luasi ketika hal itu secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dia hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
            Dari defimisi mengenai aksiologi yang dikemukakan, Amsal Bakhtiar (2011) menyimpulkan, bahwa permasalahan yang utama dalam aksiologi itu mengenai nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang siapa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Selanjutnya. dikatakan Surajiyo (2010), pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang didalam dirinya memiliki karakteristik kritia, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu, masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kuat yaitu masalah kegunaan ilmu telah membawa manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kukuh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia, bukan sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak sangat diperlukan. Oleh karena itu, penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
            Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal sebagaimana dikemukakan Idzan Fau­tanu (2012), yaitu:
1.   Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang su­atu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, ma­ka sebaiknya mempelajari teori filsafatnya. Inilah kegunaan mem­pelajari teori filsafat ilmu.
2.   Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu se­bagai pandangan hidup gunanya yaitu untuk petunjuk dalam men­jalani kehidupan.
3.   Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mu­lti dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan sangat sederhana, maka biasanya masalah tidak terse­lesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
            Adapun dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan aksiologi dina­makan dengan value and valuation:
1.   Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk ke­wajiban, kebenaran, dan kesucian.
2.   Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata su­atu nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada se­suatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3.   Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, mem­beri nilai, atau dinilai. Dari defimisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama yaitu mengenai nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
            Pandangan Susanto (2011) mengatakan, filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal berikut: Pertama, persepsi ma­nusia akan kenyataan. Kedua, pemahaman berbagai dinamika alam. Ke­tiga, saling keterkaitan antara logika dan matematika, dan antara logika dan antara matematika pada satu sisi dan kenyataan pada sisi lain. Keempat, berbagai keadaan dari keberadaan teoretis. Kelima, berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya. Keenam, hakikat manusia, nilai-nilainya, tempat dan posisinya di tengah-tengah semua keberadaan lain, paling sedikit yang berada di lingkungan dekatnya.
            Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana makna etika memiliki dua arti, yaitu suatu kumpul­an pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
            Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesa­daran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bu­kan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.
            Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penye­lamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi ke­selamatan umat manusia, tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom atom yang me­nimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengeta­huan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan.
            Selanjutnya dikatakan berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat ma­nusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti: pertama, etika merupakan suatu kumpul­an pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Se­perti ungkapan "saya pernah belajar etika". Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan, atau ma­nusia yang lain. Seperti ungkapan "ia bersifat etis atau seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
            Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa objek formal etika yaitu norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Adapun estetika berkaitan dengan nilai pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terha­dap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
            Nilai itu objektif atau subjektifkah sangat tergantung dari hasil pan­dangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa memper­timbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan. Intelektualitas dan nilai hasil subjektif selalu mengarah pada sesuatu suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya seseorang melihat matahari terbenam di sore hari. Akibat yang dimunculkannya yaitu menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain akan memiliki kualitas yang berbeda. Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pan­dangan dalam filsafat tentang objektivisme. Ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar realitas benar-benar ada. Misalnya kebenaran tidak bergantung pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta, kebenaran tidak diper­kuat atau diperlemah oleh prosedur. Demikian juga dengan nilai orang yang berselera rendah tidak mengurangi keindahan suatu karya seni.
            Gagasan aksiologi dipelopori juga oleh Lotze Brentano, Husserl, Scheller, dan Nocolai Hatmann. Scheller mengontraskan dengan praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori moralitas menge­nai tindakan yang benar. Dalam penilaiannya terdapat dua bidang yang paling populer saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian, kita mengenai aksiologi alam dua jenis, yaitu etika dan estetika. Etika yaitu bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia dari sudut baik atau jahat. Etika dalam bahasa Yunani ethos, yang artinya kebiasaan atau habit atau custom. Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek, secara umum estetika mengkaji mengenai apa yang membuat rasa senang.
            Dagobert Runes mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yang menyangkut hakikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai. Mengenai hakikat nilai banyak dikemukakan diantaranya teori valuntariame. Teori ini mengemukakan bahwa nilai yaitu suatu pemuasan terhadap suatu keinginan atau kemauan. Menurut kaum hedoniame menyatakan bahwa hakikat nilai yaitu "pleasure" atau kesenangan. Semua manusia mengarah pada kesenangan. Menurut forma-lism nilai yaitu kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akal
rasional. Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai instrumental, sebagian alat untuk mencapai tujuan.
            Adapun tipe nilai dapat dibedakan antara lain intrinsik dan nilai in­strumental. Nilai intrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk mencapai nilai in­trinsik. Sebagai contoh nilai intrinsik yaitu nilai yang dipancarkan oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu merupakan nilai intrinsik dan merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur. Nilai instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat akan mencegah perbuatan yang keji atau jahat, yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat kebaha­giaan di dunia dan di akhirat.
Yang dimaksud dengan kriteria nilai yaitu sesuatu yang menjadi ukuran nilai, bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Kaum hedoniame menemukan nilai sejumlah "kesenangan" (plea­sure) yang dicapai oleh individu atau masyarakat. Bagi kaum pragmatic, kriteria nilai yaitu "kegunaannya" dalam kehidupan bagi individu atau masyarakat. Adapun yang dimaksud metafisik nilai yaitu bagaimana hu­bungan nilai-nilai itu dengan realitas, dan dibagi menjadi tiga bagian: Pertama, subjektivisme: value ia entirely dependent on and relative to hu­man experience of it. Kedua, logikal objektivisme, value are logical essences for subsiatences, independent of their being known, yet not eksistensial status of action in relity. Ketiga, metaphysical objektivisme, values or norm or ide­als are integral objective an active constituents of the Metaphysical real.
            Dalam pandangan objektivisme, nilai itu berdiri sendiri namun ber­gantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara manusia yang satu dan yang lainnya. Me­nurut objektivisme logis, nilai itu suatu kehidupan yang logis tidak ter­kait pada kehidupan yang dikenalnya, namun tidak memiliki status dan gerak di dalam kenyataan. Menurut objektivisme metafisik, nilai yaitu sesuatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.

D.        KARAKTERISTIK NILAI AKSIOLOGI
            Erliana Hasan (2011) mengatakan ada dua karakteristik yang berkait­an dengan teori nilai, yaitu: Pertama, nilai objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika ia tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada realisasinya subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik. Suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai itu memiliki kebenarannya tanpa memper­hatikan pemilihan dan penilaian manusia. Contohnya, nilai-nilai baik, jika benar, cantik, merupakan realitas alam, yang merupakan bagian dari sifat yang dimiliki oleh Benda atau tindakan itu. Nilai itu subjektif apabila me­miliki preferensi pribadi, dikatakan baik karena dinilai oleh seseorang. Kedua, nilai dikatakan absolut atau abadi. Apabila nilai yang berlaku se­karang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku secara absah sepanjang masa serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan atau kelas sosial.
            Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan harapan dan keinginan manusia yang selalu berubah, maka nilai itu pun mengungkapkan perubahan itu. Nilai berubah merespons dalam kondisi baru, ajaran baru, agama baru, penemuan baru dalam sains dan teknologi, kemajuan dalam pendidikan, dan lainnya.
            Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika yaitu cabang filsafat yang membahas secara kritia dan sistematis masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada perilaku, norma, dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa ocrates dan para kaum sofia. Di situ dipersoalkan mengenai masalah ke­baikan, keutamaan, keadilan, dan sebagainya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnin Suseno diartikan sebagai pe­mikiran kritia, sistematis, dan mendasar tentang ajaran dan pandang­an moral. Isi dari pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan diatas norma-norma, adat, wejangan, dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, tatapi suatu pemikiran yang kritia dan mendasar tujuan dari etika yaitu agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
            Aspek aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk
ilmu itu digunakan. Selanjutnya Erliana mengutip pendapat Bramel,
alam aspek aksiologi ini ada moral conduct, estetic expresion, dan sosiolitical. Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan. Namun salah satu tanggung jawab seorang ilmuwan yaitu dengan melakukan sosialiaasi tentang penemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan itu. Dan, moral yaitu hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang meminta permintaan, moral yaitu suatu tuntutan. Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metodis, sistematis, dan uni­versal. Dan, knowledge yaitu keahlian maupun keterampilan yang diper­oleh melalui pengalaman maupun pemahaman dari suatu objek.
            Pandangan lain Amsal Bakhtiar (2011) mengatakan, sains meru­pakan kumpulan hasil observasi yang terdiri dari perkembangan dan pengujian hipotesis, teori, dan model yang berfungsi menjelaskan data. Dihadapkan dengan masalah dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersi­fat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terha­dap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya, apakah akan diguanakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melan­jutkan tradisi kenetralan ilmu secara total. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada meta­fisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: (a) ilmu secara faktual telah digunakan secara destruk­tif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan; (b) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan; (c) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bah­wa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.

E.        KORELASI ANTARA FILSAFAT ILMU DAN AKSIOLOGI
            Dalam kaitan antara nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun il­mu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat berman­faat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat sub­jektif Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada objekitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan pengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
            Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dan anggapan umum yaitu terletak pada objektivitasnya. Seorang ilmuwan harus melihat realitas emperis dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat ideologis, agama, dan budaya. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen. Ketika Seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai aktif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
            Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana makna etika memiliki dua arti, yaitu merupakan satu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang­-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergan­gu pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan ada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjeknya berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperha­tikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
            Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia
sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, karena itu kita tidak bisa dimungkiri peradaban manusia berutang budi pada sains dan teknologi. berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan de­ngan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah memper­mudah kehidupan manusia.
            Sejak dalam tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, di samping itu ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusia­an, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang melampaui perkem­bangan budaya dan peradaban manusia.

F.         SIKAP DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN
            Sikap seorang ilmuwan dilihat dari sudut atau cara berpikirnya, yang pada hakikatnya adalah mereka yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya yang mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam.
            Ilmu merupakan hasil karya seorang ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka jelaslah, jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar bukan saja karena ia merupakan warga ma­syarakat, melainkan karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam ma­syarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak hanya sebatas penelitian bi­dang keilmuan, tetapi juga bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta bertanggung jawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalahgunakan.
            Selain itu pula, dalam masyarakat sering kali terdapat berbagai masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah itu. Seorang ilmuwan dengan ke­mampuan berpikirnya mampu memengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggungjawab sosial seorang ilmuwan yaitu memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif apat dimungkinkan.
            Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan yaitu dalam bi­dang etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus memosisikan dirinya seba­gai pemberi contoh. Seorang ilmuwan haruslah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan pada hakikatnya merupakan manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesu­atu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu. Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri teladan dalam masyarakat.
            Dengan kemampuan pengetahuannya, seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah yang seyogianya me­reka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, il­muwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisianya, melainkan juga integritas kepribadiannya. Di bidang etika, tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi melainkan memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang di­nggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya digunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang menggunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat, para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan harus dipu­puk subur kembangkan dan berada pada tempat yang tepat, baik tang­gung jawabnya secara akademis maupun tanggung jawab moral dan so­sial masyarakat.

G.        HIERARKI DAN ASPEK NILAI DALAM PENGETAHUAN
            Sutardjo Wiramihardja (2007) menguraikan ada tiga pandangan yang berkaitan dengan hierarki nilai: Pertama, kaum idealis berpandangan se­cara pasti terhadap tingkatan nilai, di mana nilai spiritual lebih tinggi daripada nonspiritual (nilai material). Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat yang tinggi karena nilai religi membantu manusia dalam menemukan akhir hidupnya, dan merupakan kesatuan dengan nilai spi­ritual. Kedua, kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkat­an nilai, di mana mereka menempatkan nilai rasional dan emperis pada tingkatan atas, sebab membantu manusia realitas objektif, hukum alam dan aturan berpikir logis. Ketiga, kaum pragmatis menolak tingkatan ni­lai secara pasti. Menurut mereka suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya apabila memuaskan kebutuhan yang penting dan memiliki nilai instrumental.
            Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen. Kebebasan inilah nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, ia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, dan nilai adat. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dan kebenaran ilmiahnya sangat penting.
            Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia. Manusia terbebas dari kutuk yang memba­wa malapetaka dan kesengsaraan. Memang dengan jalan mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi dan keselamatan manusia tetapi di pihak lain hal ini juga bisa berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
            Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensi­nya sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa ebenarnya nilai itu digunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus berpaling pada hakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat pada persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Conper­nicus mengemukakan teorinya "Bumi berputar mengelilingi matahari" se­mentara ajaran agama menilai sebaliknya maka timbullah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonota&i metafisik, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan yang terdapat dalam ajaran di luar bidang keilmuan, di antaranya agama. Timbul konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulmi­asi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih 2,5 abad memengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan "ilmu yang bebas nilai", setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan mem­peroleh keotonomian ilmu. Artinya, kebebasan dalam melakukan peneli­tian dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
            Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap misi yang bersifat dogmatis, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan. Lirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret, seperti teknologi. eknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan atau masalah moral? Apakah teknologi itu menimbulkan akses yang negatif terhadap masyarakat.
            Dihadapkan dalam masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi ­yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis, dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah pada orang lain untuk menggunakannya, apakah akan digunakan un­tuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melajutkan tradisi ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo. Golongan yang kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: Pertama, ilmu se­cara faktual telah digunakan secara deduktif oleh manusia yang dibuk­tikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan. Kedua, ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin eso­teris hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. Ketiga, ilmu telah berkem­bang pesat sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.
            Berdasarkan hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditunjukkan untuk kebaikan manusia tanpa me­rendahkan hakikat dan mengubah kemanusiaan. Dari kedua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epiatemo­logisnya saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun, selain kepada ke­benaran yang nyata. Adapun secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
            Etika keilmuwan merupakan etika yang normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuwan yaitu agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan yang menghindarkan dari yang buruk ke dalam peri­laku keilmuannya. Sehingga ia menjadi ilmuwan yang mempertanggung­jawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan apa yang seharus­nya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
            Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada "elemen-elemen" kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan serta tanggung jawab nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
            Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan yaitu nilai dan norma nilai. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, dan budaya; yang paling utama dalam nilai moral yaitu yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan men­jadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
            Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmu­wan, apakah itu berupa teknologi ataupun teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan itu sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah ma­yarakat luasdan masyarakat akan mengujinya.
            Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan pene­rapan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal positif. Namun ti­dak semua teknologi dan ilmu pengetahuan mempunyai dampak positif ketika berada di tengah masyarakat. Kadang kala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu teknologi bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetik (cloning manusia), yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat manusia atau ajaran agama. Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi seorang ilmuwan, apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar, bersifat terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologi yang tepat.
            Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi melainkan harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil di depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap seperti seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
            Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu pengetahuan yang terkait de­ngan nilai-nilai? Suwardi Endraswara (2012) mengemukakan, ilmu pe­ngetahuan harus terbuka pada konteksnya dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan ha­kikinya, yakni memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada tataran praksis, pada kemu­dahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur'an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai yaitu dengan cara mengembagikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa mudarat.
            Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu penge­tahuan bukan hanya untuk mendesak kemanusiaan melainkan kemanu­siaan yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
            Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan penda­pat antara filsuf dan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa penge­tahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan hal ini dengan ungkapan ilmu pengetahuan un­tuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain se­bagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambah kesenangan manusia dalam kehidupan yang ter­batas di muka Bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengeta­huan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan kesehatan. Adapun pendapat yang lainnya cende­rung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan.
            Lebih jauh Suwardi mengemukakan ilmuwan perlu menjaga kredibi­litas ilmu yang dimiliki. Ilmu pengetahuan perlu diraih dengan langkah-­langkah yang tepat, jauh dari plagiarisme. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyara­kat. Proses ilmu pengetahuan menjadi suatu teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari moral il­muwannya. Untuk seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan Serta masalah bebas nilai.
            Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat. Tanggung jawab akademis dan tang­gung jawab moral mengenal apa yang dimaksud aksiologi. Dengan ke­mampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini, ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya, melainkan juga integritasnya. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia menge­tahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membuat mereka keli­ru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
            Berbicara tentang aspek nilai dalam ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara (2012) mengatakan nilai-nilai kehidupan menjadi wilayah ga­rapan dalam aksiologi. Nilai akademik selalu membingkai perilaku keil­muan. Nilai akan mengukur, apakah seseorang melanggar etika akademik atau tidak. Nilai merupakan konsep abstrak mengenai masalah dasar baik yang merupakan sifat maupun sikap, perilaku perbuatan seseorang atau kelompok yang sangat penting dan berguna bagi kehidupan manusia dan masyarakat lahir dan batin.
            Keingintahuan seseorang dalam bidang ilmu, jika tanpa nilai, akan berjalan tidak wajar. Akibatnya banyak yang menerjang etika keilmuan. Rasa keingintahuan manusia ternyata menjadi titik perjalanan manu­sia yang takkan pernah usai. Namun rasa ingin tabu itu perlu diimbangi dengan etika tertentu. Etika yaitu bangunan nilai, yang diterapkan untuk mengukur perilaku manusia. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesis awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat merupakan titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia di mana manusia berusaha untuk mengorek, memerinci, dan melakukan pembuktian yang tak lepas dari kungkungan. Kemudian dirumuskanlah suatu teori pengetahuan di mana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir suatu konsep yang dinamakan ilmu.
            Kemudian Suwardi menjelaskan lebih jauh bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengeta­huan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi se­perti bom atom nuklir, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia pada pencip­taan bom atom yang menimbulkan malapetaka bagi manusia. Di sinilah fungsi ilmu teruji keberadaannya, apakah dia bernilai atau tidak bagi ke­maslahatan manusia, atau sebaliknya menjadi malapetaka bagi kehidup­an makhluk dan manusia.
            Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu se­seorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francia Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, yaitu bahwa "pengetahuan yaitu kekuasaan", apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun ter­jadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk tetapi ter­gantung pada pemilik atau manusia dalam menggunakannya.

H.        ASPEK PENELITIAN DALAM PEMANFAATAN
            DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
            Solly Lubis (2012) mengatakan dasar pendekatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah sama, tetapi di dalam perkem­bangan metode yang digunakan mengalami perbedaan dalam penggu­naan pendekatan metode penelitian. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan, pertumbuhan dan perkembangan bidang-bidang ilmu pe­ngetahuan itu sendiri. Metode ilmiah untuk pengembangan dapat ber­beda-beda antara ilmu sosial dan yang lainnya. Adapun metode pene­litian pada hakikatnya sama untuk semua bidang ilmu pengetahuan. Penelitian dapat berperan dalam ilmu pengetahuan di dalam hal berikut: Pertama, menemukan bidang baru pengetahuan dengan penemuan dan motivasi. Kedua, memantapkan dan mengukuhkan bidang baru itu melalui pengujian atas hipotesis yang relevan dengan bidang ilmu yang dikaji. Ketiga, mengembangkan jangkauan wewenang ilmu itu dengan teori dan disiplin.
            Adapun peran konkret penelitian dalam pengembangan ilmu, kata Solly yaitu: Pertama, penyusunan teori (teoretisasi). Dari hasil peneli­tian atas fakta, diperoleh penjelasan yang berupa pengertian tentang fenomena alamiah, dan diberi generalisasi dari fenomena itu. Dari gene­ralisasi ini disusun prinsip yang merupakan hubungan antara fenomena yang satu dan yang lainnya, dan selanjutnya jika ini telah mapan, ia akan menjadi hukum atau aturan main. jika hukum ini telah berlaku umum, tidak tergantung kepada waktu dan tempat ditemukannya fenomena ala­miah tersebut, pertama kali ia akan dibangun menjadi teori atau hipotesis umum dari bidang ilmu. Teori ini harus terdiri dari aksioma, yakni ketentuan yang berupa anggaran dasar, teorama atau dalil, hipotesis, yang merupakan kesimpulan dan metode. Ada tiga syarat agar suatu teori dapat meningkat menjadi ilmu yaitu bahwa teori itu harus mengandung suatu statement, metode tertentu, dan hipotesis, yang semuanya itu harus teruji kebenarannya.
            Kedua, verifikasi (memeriksa). Dari teori ilmu pengetahuan yang kadang-kadang seorang ilmuwan menemukan gejala atau fenomena ada, kadang yang relevan dengan teori tertentu, tetapi ia merasakan adanya ketidak­cocokan yang untuknya merupakan keadaan problematik. Dari keadaan ini ia memformulasikan masalahnya. Sebagaimana hal yang logis dalam ilmu pengetahuan, maka ia akan menyusun suatu kesimpulan sementara atau hipotesis dari fenomena itu. Oleh Jujun S. Suriasumantri (2010) dan proses ilmu pengetahuan melalui metode ilmiah ini disebut dengan logico, hipotetico, dan verifikasi.
            Tindak selanjutnya dari ilmuwan itu yaitu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang relevan dengan masalah tersebut. Tindakan ini yang sebenarnya merupakan penelitian, akan memberikan hasil yang dapat mendukung hipotesis atau menolak hipotesis itu. Dari hasil penolakan atau dukungan atas hipotesisnya, si ilmuwan dapat menerima atau tidak dapat menerima teori pengetahuan tentang fenomena alamiah ilmu.
            Pernikiran rasional yaitu setiap pemikiran yang sesuai dengan norma-norma logika. Yang dimaksud di sini yaitu membedakan benda-benda tidak identik dan diikuti dengan proses penalaran silogistik tentang        hubungan dari benda atau sesuatu. Tetapi rasionalitas logis tidak mempunyai hubungan satu-satu dengan ilmu pengetahuan, sebab rasionalitas juga menjadi sumber yang lainnya, seperti keindahan, rasa, dan etik.       Ilmu pengetahuan hanya ada jika sesuatu yang tersedia untuk dirasakan
oleh indra kita atau oleh instrumen ilmiah. Oleh karena itu ilmu pengetahuan harus rasional dan empiris.
            Fungsi utama ilmu pengetahuan yaitu sebagai himpunan ide siatematik dan umum yang merupakan inti dari ilmu pengetahuan modern       yang telah berkembang. Yang dimaksud dengan skema konseptual yaitu sistem umum proposisi dari acuan empiris yang menyatakan kondisi penentu di mana fenomena empiris berhubungan satu sama lain. Skema konseptual yang baik merupakan komponen kumulatif yang utama dari ilmu pengetahuan.    
            Bentuk ideal dari skema konseptual yaitu yang memiliki generalitas yang luas, yakni yang didalamnya jumlah dari kategori konseptual atau variabel kecil dalam artian proporsi umum yang abstrak. Hal seperti ini hanya terdapat dalam ilmu pengetahuan alam, tetapi tidak demikian dalam ilmu pengetahuan sosial. Tetapi skema konseptual memiliki acuan kepada data empiris, maka harus ada teknik untuk mengumpulkan data dan teknik lain untuk menyusun data itu kepada kategori konseptual yang sesuai. Hubungan antara skema konseptual dan teknik bukanlah sesuatu yang sederhana, kendatipun ada ketergantungan satu sama lain.
Di sana juga ada kebebasan satu sama lain. Skema konseptual dengan penalaran deduktif dapat secara independen meramalkan data di mana       teknik yang ada tidak mampu mengobservasinya.
            Sebaliknya, teknik observasi dan penyusunan data yang ada dapat mengumpulkan data yang tidak cocok ke dalam skema konseptual. Hal ini sesuatu yang lumrah dalam ilmu pengetahuan, dan keadaan ini sering kali menimbulkan stimulasi untuk rekonstruksi skema konseptual yang ada, yang merupakan jalan ke kemajuan ilmu pengetahuan.
            Ilmu pengetahuan tidak hanya merupakan kumpulan dari sejumlah besar fakta. Tetapi ia merupakan kumpulan dan susunan fakta dalam kaitan satu skema konseptual, yakni skema yang selalu direkonstruksi jika penggunaannya atau digunakannya teknik pengumpulan data dan menghasilkan fakta baru. Skema konseptual dan teknik mungkin sekali tidak terpadu secara sempurna dan sering kali dari kesenjangan ini fakta  yang dapat mengkonstruksi skema konseptual yang lebih umum dan sistematis.
            Dari penjelasan di atas dan perkembangannya, di dunia ilmu penge­tahuan ada dua pandangan tentang ilmu pengetahuan yakni pandangan statis dan dinamis. Dari sudut pandangan statis, ilmu pengetahuan yaitu suatu kegiatan yang menyajikan informasi secara sistematis kepada du­nia. Tugas seorang ilmuwan hanya menemukan fakta baru dan kemudian menambahkannya kedalam informasi yang telah ada. Jadi, ilmu pengetahuan hanya merupakan kumpulan fakta dan cara untuk menjelaskan fenomena yang diamati.
            Solly Lubis (2012) mengatakan lebih jauh, ada dua pandangan tentang fungsi ilmu pengetahuan. Pertama, untuk seorang praktisi, ilmu pengetahuan merupakan satu disiplin atau kegiatan yang diarahkan un­tuk memperbaiki sesuatu dalam membuat kemajuan. Maka fungsi ilmu pengetahuan yaitu membuat penemuan mempelajari fakta, demi untuk mengembangkan pengetahuan atau memperbaiki sesuatu.
            Adapun pandangan kedua dari kalangan teoretisi, di mana fungsi il­mu pengetahuan membentuk hukum umum yang meliputi perilaku dari peristiwa emperis atau objek, sehingga kita mampu mengembangkan pe­ngetahuan atas peristiwa yang terpisah, dan dapat membuat ramalan atas peristiwa yang belum diketahui.
            Secara definitif, teknokrat merupakan tokoh yang memiliki ke­mampuan teknis berdasarkan disiplin ilmu tertentu yang dikuasainya dan sekaligus ia terlibat dalam kegiatan berkuasa dan memerintah. Dari hal ini terdapat fungsi ganda pada kalangan teknokrat, yakni: Pertama, selaku teoretisi, ia menganggap bahwa fungsi ilmu pengetahuan yaitu membentuk hukum umum dari temuan peristiwa empiris atau objek, yaitu mengembangkan pengetahuan, selain menjelaskan apa hakikat peristiwa yang diamatinya, dan membuat prediksi ke depan. Kedua, selaku praktisi, teknokrat itu memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin kegiatan berpikir dan bertindak menganalisis fakta, dengan tujuan untuk menawarkan solusi sejauh diperlukan.
            Dalam konteks sikap terhadap ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara (2012) mengungkapkan bahwa setiap sikap dan perilaku terkait dengan ilmu pengetahuan harus ada nilai-nilai yang berhubungan de­ngan seluruh keyakinan. Di dalam ilmu sendiri sebenarnya terdapat pro­ses keyakinan. Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Berbagai ragam nilai akan menawarkan pilihan bagi kehidupan. Manusia harus menjatuhkan pilihan sesuai keinginan. Pilihan nilai itu berkaitan pula dengan percobaan manusia untuk mewujudkan rasa ingin tabu terhadap ilmu pengetahuan yang dimilikinya.


Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)

1 comment:

  1. apa kesimpulan dan saran dari materi ini,mohon dijawab

    ReplyDelete