Sunday, August 31, 2014

Sillogisme Hipotesis (BAB VIII)


1. Di atas sudah dijelaskan sebentar mengenai apa yang disebut sillogisme hipotetis. Dalam bagian ini sillogisme tersebut mau diuraikan sedikit lebih lanjut.                                    Sillogisme hipotesis terdiri atas sillogisme (hipotetis) kondisional, sillogisme (hipotetis) disyungtif dan sillogisme (hipotetis) konyungtif.
1.1 Sillogisme (hipotetis) kondisional
Sillogisme ini adalah sillogisme yang premis majornya berupa keputusan kondisional. Keputusan kondisional itu terdiri atas dua bagian, yaitu : jika. . ., maka. . . Bagian yang satu dinyatakan benar, kalau syarat yang dinyatakan dalam bagian yang lainnya terpenuhi.                         Bagian keputusan kondisional yang mengandung syarat disebut antecedens. Dan bagian keputusan yang mengandung apa yang disyaratkan disebut consequens. Sebutan itu tidak berubah, meskipun urutan keduanya diubah.                                                                           Yang merupakan inti keputusan kondisional ialah hubungan antara antecedens dan consequensnya. Karena itu, keputusan kondisional benar, kalau hubungan bersyarat yang dinyatakan didalamnya benar. Keputusan itu salah, kalau hubungan itu tidak benar.
1.1    Selanjutnya di sini disajikan hukum-hukum sillogisme (hipotetis) kondisional itu. Bunyinya :     
1.      Kalau antecedensya benar (dan hubungannya lurus), maka consequence (kesimpulan)nya juga benar.
2.      Kalau consequens (kesimpulan)nya salah (dan hubungannya lurus), maka antecedensenya juga salah.
Artinya, premis major suatu sillogisme kondisional merupakan suatu keputusan kondisional yang benar. Premis major itu, misalnya berbunyi ‘Jika hujan, aku tidak pergi’. Antecedensnya adalah ‘jika hujan’, consequensnya adalah’aku tidak pergi’.
Jika antecedensnya disebut A, dan consequensnya B, akan terjadilah yang berikut ini.
·         Jika A benar (artinya: benar hujan), B juga benar (artinya: aku tidak pergi)
·         Jika B salah (artinya: aku tidak pergi), A juga salah (artinya: tidak hujan)
·         Jika A salah (artinya: tidak hujan), B dapat salah tetapi juga dapat benar (artinya: belum pasti aku pergi)
·         Jika B benar (artinya: aku tidak pergi), A dapat salah tetapi juga dapat benar (artinya: belum pasti hujan)
2.Sillogisme (hipotetis) disyungtif
Sillogisme ini adalah sillogisme yang premis majornya terdiri dari keputusan disyungtif. Premis minor mangakui atau memungkiri salah satu kemungkinan yang sudah disebut dalam premis major. Kesimpulan mengandung kemungkinan yang lain.                                                       Sillogisme (hipotetis) disyungtif dibedakan menjadi                                                             Sillogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti yang sempit dan                                    Sillogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti yang luas.
2.1 Sillogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti yang sempit.
Sillogisme ini hanya mengandung dua kemungkinan, tidak lebih dan tidak kurang. Keduanya tidak dapat sama-sama benar. Dari dua kemungkinan itu hanya satulah yang dapat benar. Tidak ada kemungkinan yang ketiga. (baiklah kalau diingat kembali apa yang sudah di katakana tentang perlawanan kontradiktoris. Ingatan kembali dapat membantu memahami hal ini dengan lebih baik).                                                                                                                Misalnya  :  Ia masuk atau tidak masuk (= tinggal diluar).                                                                                     Ia masuk.                                                                                                                                    Jadi, ia tidak tidak masuk (= tidak tinggal diluar)
2.2 Sillogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti yang luas.
Dalam sillogisme ini terdapat dua kemungkinan yang harus dipilih. Tetapi kedua kemungkinan ini dapat sama-sama benar juga. Jika kemungkinan yang satu benar, kemungkinan yang lain mungkin benar juga. Kedua kemungkinan itu bisa dikombinasikan. Kombinasi ini menunjukkan adanya kemungkinan yang ketiga. Karena itu sillogisme ini praktis tidak bisa dipakai untuk membuktikan sesuatu.
Misalnya : Dialah yang pergi atau saya (premis major disyungtif dalam arti yang luas). Dia Pergi. Jadi, (tidak dapat disimpulkan bahwa “saya tidak pergi”).
Contoh ini menunjukkan adanya kemungkinan yang ketiga. Kemungkinan itu ialah : dia dan saya pergi bersama-sama.
2.3 Sillogisme (disyungtif) dalam arti sempit Nampak dalam dua corak.
·         Corak yang satu ialah : mengakui satu bagian disyungsi dalam premis minor. Bagian yang lainnya dimungkiri dalam kesimpulan. Corak ini disebut “modus ponendo tollens”.
Misalnya : Mobil kita diam atau tidak diam (bergerak).                                                                                           Karena diam, jadi tidak bergerak (tidak diam).
·         Corak yang lain ialah : memungkiri satu bagian disyungsi dalam premis minor. Dalam kesimpulan bagian lainnya diakui. Corak ini disebut “modus tollendo ponens”.
Misalnya : Mobil kita diam atau tidak diam (bergerak).                                                                         Karena tidak bergerak, jadi diam.

3.Sillogisme (hipotetis) konyungtif
Sillogisme ini adalah sillogisme yang premis meyornya berupa keputusan konyungtif. Keputusan konyungtif adalah keputusan dimana penyesuaian beberapa predikat untuk satu subjek disangkal. Supaya keputusan itu sungguh konyungtif dituntut supaya antara predikat ada perlawanan. Misalnya : “Budi tidak mungkin sekaligus bergerak dan beristirahat”.
Sillogisme ini bisa nampak dalam dua kemungkinan.
1.      Kemungkinan yang pertama disebut afirmatif-negatif.                                            Artinya, premis minor afirmatif dan kesimpulannya negatif.
Misalnya : Kartu tidak mungkin sekaligus putih dan hitam.                                                                    Kartu itu putih.
                  Jadi, kartu itu hitam.
2.      Kemungkinan yang kedua disebut negatif-afirmatif.
Artinya, premis minor negatif dan kesimpulannya afirmatif.
Misalnya : Kartu tidak mungkin sekaligus putih dan hitam.
                  Kartu itu tidak putih.
                  Jadi, kartu itu hitam.
Ada hukum yang mengatur sillogisme (hipotetis) konyungtif ini. Hukum itu berdasarkan atas hukum perlawanan kontraris (A - E): Jika yang satu benar (artinya: dapat benar, tetapi juga dapat salah). Dan masih ada kemungkinan yang ketiga, yakni kedua-duanya sama-sama salah. Karena itu, kalau yang satu (premis minor sillogisme hipotetis konyungtif) salah, maka yang lainnya tidak pasti benar (dapat benar, tetapi juga dapat salah).                                               Dan kalau yang satu (premis minor sillogisme hipotetis konyungtif) salah, maka yang lainnya tidak tidak pasti benar (dapat benar, tetapi juga dapat salah).                                         Karena itu kemungkinan yang pertama (afirmatif-negatif) membuahkan kesimpulan yang tepat, benar. Sedangkan kemungkinan yang kedua (negative-afirmatif) tidak menghasilkan kesimpulan yang tepat, benar. Namun kalau kedua keputusan (hipotetis) konyungtif merupakan perlawanan kontradiktoris, maka semua kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang tepat, benar.                                                                                                                                      Misalnya : Mobil kita tidak mungkin sekaligus bergerak dan diam.                                                     Mobil kita tidak diam.                                                                                                                                    Jadi, mobil kita bergerak.
4.Dilemma
4.1 Dilemma dalam arti yang sempit merupakan suatu pembuktian. Dalam pembuktian itu ditarik kesimpulan yang sama dari dua atau lebih dari dua keputusan disyungtif. Di dalamnya dibuktikan bahwa dari setiap kemungkinan niscaya ditarik kesimpulan yang tidak dikehendaki. Dengan demikian ‘lawan’ dipojikkan. Pemojokan itu terjadi  dengan menghadapkannya pada suatu alternative. Tetapi setiap alternative menjurus kepada kesimpulan yang sama.
4.2 Ada persamaan antara dilemma dalam arti yang sempit dan silogisme (hipotetis) disyungtif. Baik sillogisme (hipotetis) disyungtif maupun dilemma mulai dengan keputusan disyungtif. Namun keduanya juga berberda satu sama lain. Prosedur dilemma berbeda dari prosedur sillogisme (hipotetis) disyungtif. Premis minor dilemma menunjukkan bahwa bagian mana pun yang dipilih oleh ‘lawan’, ‘lawan’ itu tetap salah. Padahal dalam sillogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti sempit hanya ada satu kemungkinan saja yang benar. Tidak dapat kedua-duanya benar. Pilihan menentukan mana bagian yang benar, mana bagian yang tidak benar.         Dalam arti yang luas, dilemma berarti setiap situasi dimana kita harus memilih dari antara dua kemungkinan. Kedua kemungkinan itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang tidak enak. Konsekuensi-konsekuensi yang tidak enak ini menyebabkan pilihan menjadi sukar.
4.3 Dan untuk dilemma dalam arti sempit terdapat hokum-hukum yang perlu diperhatikan baik-baik. Hukum-hukum itu adalah :
1.      Keputusan disyungtif haruslah lengkap atau utuh. Artinya, semua kemungkinan harus disebut. Tiap-tiap bagian harus sungguh selesai, habis atau tuntas, sehingga tidak ada kemungkinan yang lain lagi.
2.      Konsekuensinya haruslah lurus. Artinya, haruslah disimpulkan secara lurus dari tiap-tiap bagian.
3.      Kesimpulan yang lain tidak mungkin. Artinya, kesimpulan tersebut merupakan satu-satunya kesimpulan yang mungkin ditarik.

Friday, August 29, 2014

Penyimpulan (BAB VI)


Penyimpulan adalah suatu kegiatan manusia yang tertentu dalam dan dengan kegiatan itu ia bergerak menuju ke pengetahuan yang baru dari pengetahuan yang telah di milikinya dan berdasarkan pengetahuan yang telag di milikinya itu.

-          Di sebut ‘ kegiatan manusia’. Karena mencakup seluruh diri manusia meskipun akal budinya yang memegang tampuk pimpinan .

-          Dengan kata ‘ bergerak’ mau di nyatakan perkembangan pikiran manusia

-          Ke pengetahuan yang baru menunjukan tujuan yang mau di capai dalam pemikiran , pengetahuan yang baru itu juga di sebut ke simpulan atau consequens. Hal ini juga menyatakan adanya sesuatu kemajuan, kemajuan itu terletak dalam hal ini : pengetahuan yang baru sudah terkandung dalam pengetahuan yang lama, tetapi belum di mengerti dengan jelas. Dalam pengetahuan yang baru itu barulah di demengerti dengan baik dasar serta sebab suatu kesimpulan di tarik ;

-          Dari pengetahuan yang di miliki menunukan titik pangkal serta dorongan untuk maju , dalam logika hal ini di sebut antecedens ( yang mendahului ) atau praemissae (premis , titik pangkal)

-          Berdasarkan pengetahuan yang telah di milikinya itu menunjukan bahwa antara pengetahuan yang baru dan pengetahuan yang baru dan pengetahuan yang lama ada hubungan yang bukan kebetulan. Hubungan ini di sebut konsekuensi ( consequencia) atau hubungan penyimpulan

Baik antecedens maupun consequens selalu terdiri atas keputusan . keputusan pada gilirannya terdiri atas term-term . baik keputusan –keputusan maupu term-term meruapakan materi merupakan materi penyimpulan . sedangkan hubungan penyimpulan (konsekuensi) meruapakan forma penyimpulan itu

Kesimpulan bisa lurus bisa tidak lurus atau palsu . ke simpulan itu harus lurus apabila dan dapat di tarik dari antecedensnya . kesimpulan itu tidak lurus atau palsu. Apabila tidak ada atau tidak boleh di tarik dari padanya.

2. macam-macam penyimpulan

2.1. dari sudut bagaimana terjadinya kita menemukan

1.      penyimpulan yang langsung ( secara intuitif)

Dalam penyimpulan ini tidak di perlukan pembuktian –pembuktian , secara langsung di simpulkan bahwa subyek (s) = predikat (p) . hal ini terjadi pada azas-azas pemikiran (bab IX). Pembalikan dan perlawanan bab V) ekuivalensi (misalnya : tidak semua orang kurus = beberapa semua orang kurus = beberapa orang kurus) dan keputusan –keputusan langsung ( misalnya : ini hijau , budi , dsc).


2.      peyimpulan yang tidak langsung

Penyimpulan ini di peroleh dengan mengunkan term-an tara (M). dengan term –antara di berikan alasan mengapa subyek (s) = predikat (p) atau subyek (s) =/ predikat (p).

2.2    juga dapat dilihat dari isi ( benar) dan bentuk lurusnya . kesimpulan pasti benar :

1.       apabila premisnya benar dan tepat . hal ini adalah material penyimpulan

2.       apabila jalan pikiranya lurus  jalan pikirannya lurus. Artinya , hubungan antara premis dan        kesimpulannya haruslah lurus. Dan inilah sudut formal suatu penyimpulan.

3.       sehubungan dengan ini baiklah di berikan hukum-hukum yang berlaku untuk segala macam penyimpulan. Beginilah bunyinya :

1.       jika premis –premis benar , maka kesimpulan juga benar
2.       jika premis-premis salah maka kesimpulan dapat salah tetapi dapat juga kebetulan benar
3.       jika kesimpulan salah, maka premis-premis juga salah ;
4.       jika kesimpulan benar , maka premis-premis dapat benar tetapi dapat juga salah .

dengan ini mau di katakan bahwa :

1.       jika premis-premis benar, tetapi kesimpulan salah , maka jalan pikirannya ( bentuknya) tidak lurus;

2.       jika jalannya (bentuknya ) memang lurus tetapi kesimpulannya tidak benar, maka premis-premisnya salah dari salahnnya kesimpulan dapat di buktikan salahnya premis-premis.

3.       Ketika perlawanan subaltern di bicarakan kata induksi dan dedukasi sudah di singgung sebentar kata ‘induksi’ dan deduksi’ sudah  di singgung sebentar. Sekarang kedua kata  itu mau di uraikan sedikit lebih khusus

4.1.  Induksi adalah suatu proses yang tertentu. Dalam proses itu akal budi kita menyimpulkan pentehauan yang umum atau universal  dari pengetahuan yang ‘ khusus’ atau partikular. (ingatlah akan bedaan antara keputisan ‘universal’ dan keputisan ‘umum ‘. Bab IV).

4.2. Desuksi sebaliknya juga merupakan suatu proses tertentu dalam proses itu akal budi kita menyimpulkan pengetahuan yang lebih ‘khusus’ dari pengetahuan yang lebih ‘ umum’ . yang lebih khusus itu sudah termuat secara implisit dalam pengetahuan yang lebih umum.

4.3. Induksi dan deduksi selalu berdampingan .keduanya selalu bersama-sama dan saling memuat. Induksi tidak dapat ada tanpa deduksi. Deduksi selalu di jiwai oleh induksi . dalam proses memperoleh ilmu pengetahuan , induksi biasanya mendahuli deduksi . sedangkan dalam logika biasanya deduksi yang terutama di bicarakan lebih dahulu. Deduksi di pandang lebih penting untuk latihan dan perkembangan pikiran


Sillogisme Kategoris (BAB VII)

1.       Sillogisme adalah setiap penyimpulan, dimana dari dua keputusan (premis-premis) disimpulkan suatu keputusan yang baru (kesimpulan). Keputusan yang baru itu berhubungan erat sekali dengan premis-premisnya. Keeratannya terletak dalam hal ini : Jika premis-premisnya benar, dengan sendirinya atau tidak dapat tidak kesimpulannya juga benar.

2.       Ada dua macam sillogisme itu. Yang satu disebut sillogisme kategoris dan yang lainnya disebut sillogisme hipotesis.


Sillogisme kategoris adalah sillogisme yang premis-premis dan kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Sillogisme ini dapat dibedakan menjadi

-          Sillogisme kategoris tunggal, karena terdiri atas dua premis;
-          Sillogisme kategoris tersusun, karena terdiri atas lebih dari dua premis;

Sillogisme hipotesis adalah sillogisme yang terdiri atas satu premis atau lebih yang berupa keputusan hipotesis. Dan sillogisme ini juga dapat dibedakan menjadi

-          Sillogisme (hipotesis) kondisional, yang ditandai dengan ungkapan : jika …, (maka) …;
-          Sillogisme (hipotesis) disyungtif, yang ditandai dengan ungkapan : atau ..., atau …;
-          Sillogisme (hipotesis) konyungtif, yang ditandai dengan ungkapan : tidak sekaligus … dan …

3.       Baiklah sillogisme kategoris tunggal dibicarakan secara khusus dahulu.

Sillogisme kategoris tunggal merupakan bentuk sillogisme yang terpenting. Sillogisme ini terdiri atas tiga term, yakni subyek (S), predikat (P) dan term-antara (M).
Biasanya sillogisme ini dibagankan sebagai berikut :

                Setiap manusia dapat mati           M – P
                Budi adalah manusia                       S – M
                Jadi, Budi dapat mati                      S – P

Term major adalah predikat dari kesimpulan. Term itu harus terdapat dalam kesimpulan dan salah satu premis, biasanya dalam premis yang pertama. Premis yang mengandung predijat itu disebut major.  Kemudian term minor adalah subyek dari kesimpulan. Term itu biasanya terdapat dalam premis yang lain, biasanya dalam premis yang kedua. Premis yang mengandung subyek itu disebut minor. Dan akhirnya term-antara ialah term yang terdapat dalam kedua premis, tetapi tidak terdapat dalam kesimpulan. Dengan term-antara ini subyek dan predikat dibandingkan satu sama lain. Dengan demikian subyek dan predikat dipersatukan atau dipisahkan satu sama lain dalam kesimpulan.  Namun dalam percakapan sehari-hari, dalam buku-buku atau tulisan-tulisan, bagan seperti ini tidak selalu nampak dengan jelas. Sering kali ada keputusan yang tersembunyi. Kesulitan yang sama juga terdapat dalam keputusan. Ketika berbicara tentang keputusan, sudah dianjurkan supaya keputusan itu dijabarkan dalam bentuk logis. Dan sekarang juga dianjurkan supaya pemikiran-pemikiran dijabarkan dalam bentuk sillogisme kategoris. Artinya, dianjurkan supaya dirumuskan sedemikian rupa sehingga titik pangkalnya serta jalan pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diperlihatkan dengan jelas. Untuk itu perlulah

1.       Menentukan dahulu kesimpulan mana yang ditarik;
2.       Mencari apakah alasan yang disajikan (M);
3.   Lalu menyusun sillogisme berdasarkan subyek dan predikat (kesimpulan) serta term-antara(M).

4.       Ada hukum-hukum yang perlu ditepati dalam sillogisme kategoris. Hukum-hukum itu dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok yang satu menyangkut term-term dan yang lainnya menyangkut keputusan-keputusan.

4.1   Yang menyangkut term-term

1.       Sillogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term.
Kurang dari tiga term berarti tidak ada sillogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya perbandingan. Kalaupun ada tiga term, ketiga term haruslah digunakan dalam arti yang sama tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari tiga term.

Misalnya : Anjing itu menggonggong
                Binatang itu anjing.
                Jadi bintang itu menggonggong.

2.       Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini sebenarnya sudah jelas dari bagan sillogisme. Selain itu masih dapat dijelaskan begini. Term-antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term. Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis. Karena itu term-antara (M) hanya berguna dalam premis-premis saja.

3.       Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis-premis.

Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh universal, kalau dalam premis-premis particular. Ada bahaya ‘latius hos’. Istilah ini sebenarnya merupakan ‘singkatan’ dari hukum sillogisme yang berbunyi: ‘Latius hos quam praemissae conclusion non vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja dengan ‘generalisasi’. Baik ‘latius hos’ maupun ‘generalisasi’ menyatakan ketidakberesan atau kesalahan dalam penyimpulan, yakni menarik kesimpulan yang terlalu luas. Menarik kesimpulan yang universal padahal yang benar hanyalah kesimpulan dalam bentuk keputusan yang particular saja.

Misalnya :   Anjing adalah makhluk hidup.
                  Manusia bukan anjing.
                  Jadi manusia bukan makhluk hidup.

4.       Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara particular baik dalam premis major maupun minoe, mungkin sekali term-antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau begitu term-antara tidak lagi berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan (memisahkan) subyek dan predikat.

Misalnya:     Banyak orang kaya kikir.
                   Budi adalah seorang kaya.
                   Jadi Budi kikir.

4.2   Yang menyangkut keputusan-keputusan
1.       Jika kedua premis (yakni major dan minor) afirmatif atau positif, maka kesimpulannya harus afirmatif atau positif pula.

2.       Kedua premis tidak boleh negative.

Sebab, term-antara (M) tidak lagi berfungsi sebagai penghubung atau pemisah subyek dan predikat. Dalam sillogisme sekuran-kurangnya satu, yakni subyek atau predikat, harus dipersamakan dengan term-antara (M).

Misalnya:     Batu bukan binatang.
                   Anjing bukan batu.
                   Jadi anjing bukan binatang.

3.       Kedua premis tidak boleh particular.

Sekurang-kurangnya satu premis harus universal. Kalau tidak, hukum yang disebut dalam 4.1.3 dan 4.1.4 dilanggar.

Misalnya:     Ada orang kaya yang tidak tenteram hatinya.
                   Banyak orang jujur tenteram hatinya.
                   Jadi orang-orang kaya tidak jujur.

4.       Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah.
Keputusan particular adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang universal. Keputusan negative adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang afirmatif atau positif.

Karena itu,
-          Jika salah satu premis particular, kesimpulan juga harus particular
-          Jika salah satu premis negative, kesimpulan juga harus negative;
-          Jika salah satu premis negative dan particular, kesimpulan juga harus negative dan particular. Kalau tidak, ada bahaya ‘latius hos’ lagi.

Misalnya:             Beberapa anak puteri tidak jujur.
                           Semua anak puteri itu manusia (orang).


                           Jadi beberapa manusia (orang) tidak jujur.

5. Susunan sillogisme yang lurus
Sillogisme yang baru dijelaskan tadi merupakan bentuk logis dari penyimpulan. Penyimpulan ini tersusun dari tiga term. Ketiga term itu adalah subyek, predikat dan term-antara (M). Yang terakhir ini merupakan kunci sillogisme. Sebab, term-antara (M) itulah yang menyatakan mengapa subyek dipersatukan dengan predikat atau dipisahkan dari padanya dalam kesimpulan. Kemudian, penyimpulan juga tersusun dari tiga keputusan. Ketiga keputusan itu adalah premis major, premis minor dan kesimpulan. Dan akhirnya, ketiga keputusan ini dapat dibedakan menurut bentuk dan luasnya. Pembedaan ini menghasilkan keputusan A, keputusan E, keputusan I dan keputusan O.

5.1 Unsur-unsur yang terdapat di atas dapat dikombinasikan satu sama lain. Kalau dikombinasikan, terdapatlah susunan-susunan yang berikut:

·         Menurut tempat term-antara (M)

1. M – P                2. P – M                3. M – P                4. P – M
                  S – M                       S – M                 M – S                         M – S
                S – P                          S – P                      S – P                      S – P

·         Setiap keputusan tadi masih dapat berupa keputusan A, E, I dan O, menurut bentuk dan luasnya. Dan kalau semuanya dikombinasikan, secara teoritis diperoleh 64 (bahkan 256) kemungkinan. Tetapi nyatanya tidak setiap kombinasi menghasilkan susunan sillogisme yang lurus. Dengan memperhatikan hukum-hukum sillogisme, hanya terdapat 19 kombinasi yang lurus. Kombinasi-kombinasi ini pun masih harus menepati beberapa syarat lagi.

5.2 Susunan yang pertama: M – P
                                                      S – M
                                                      S – P

·         Susunan ini merupakan susunan yang paling sempurna dan tepat sekali untuk suatu eksposisi yang positif.
·         Syarat-syaratnya ialah: premis minor harus afirmatif dan premis major universal.
·         Karena itu kombinasi-kombinasi yang mungkin ialah AAA, EAE, AII dan EIO (AAI dan EAO tidak lazim di sini).

·         Misalnya: AAA   : Semua manusia dapat mati.
                                                  Semua orang Indonesia adalah manusia.
                                                  Jadi, semua orang Indonesia dapat mati.

                                    (AAI) : Semua manusia dapat mati.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Jadi, beberapa orang Indonesia dapat mati.

EAE    : Semua manusia bukanlah abadi.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Jadi, semua orang Indonesia bukanlah abadi.

(EAO)                : Semua manusia bukanlah abadi.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Jadi, beberapa orang Indonesia bukanlah abadi.

AII      : Semua anjing menyalak.
Bruno adalah anjing
Jadi, Bruno menyalak.

EIO     : Tidak semua manusia pun adalah seekor harimau.
Beberapa hewan adalah manusia.
Jadi, beberapa hewan bukanlah harimau.

5.3 Susunan yang kedua : P – M
                                                   S – M
                                                   S – P

·         Susunan ini tepat sekali untuk menyusun suatu sanggahan. Susunan ini juga dapat dijabarkan menjadi susunan yang pertama.
·         Syarat-syaratnya ialah sebuah premis harus negative, premis major harus universal.
·         Karena itu kombinasi-kombinasi yang mungkin ialah : EAE, AEE, EIO dan AOO (EAO dan AEO tidak lazim di sini).

·         Misalnya: EAE    : Tidak ada kucing yang mempunyai sayap.
Semua burung mempunyai sayap.
Jadi, tidak ada burung yang adalah kucing.

(EAO)                : Tidak ada kucing yang mempunyai sayap.
Semua burung mempunyai sayap.
Jadi, seekor burung bukanlah kucing.

AEE  : Semua manusia berakal budi.
Kera tidak berakal budi.
Jadi, kera bukanlah manusia.

(AEO)                : Semua manusia berakal budi.
Kera tidak berakal budi.
Jadi, seekor kera bukanlah manusia.

EIO     : Semua manusia yang normal bukanlah ateis.
Beberapa orang Indonesia adalah atheis.
Jadi, beberapa orang Indonesia bukanlah manusia yang normal.

AOO  : Semua ikan dapat berenang.
Beberapa burung tidak dapat berenang.
Jadi, beberapa burung bukanlah ikan.

5.4 Susunan yang ketiga : M – P
                                                   M – S
                                                   S – P

·         Susunan ini tidaklah sesederhana susunan yang pertama dan yang kedua. Karena itu janganlah susunan ini dipakai terlalu sering. Susunan ini juga bisa dijabarkan menjadi susunan yang pertama.
·         Syarat-syaratnya ialah : premis minor harus afirmatif dan kesimpulan particular.
·         Karena itu kombinasi-kombinasi yang mungkin ialah : AAI, IAI, AII, EAO, OAO dan EIO.

·         Misalnya : AAI   : Semua manusia berakal budi.
Semua manusia adalah hewan.
Jadi beberapa hewan berakal budi.

IAI    : Beberapa murid nakal.
Semua murid adalah manusia.
Jadi, beberapa manusia (adalah) nakal.

AII    : Semua mahasiswa adalah manusia.
Beberapa mahasiswa (adalah) pandai.
Jadi, beberapa manusia (adalah) pandai.

EAO : Semua manusia bukanlah burung.
Semua manusia adalah hewan.
Jadi, beberapa hewan bukanlah burung.

OAO                : Beberapa ekor kuda tidak ada gunanya.
Semua kuda adalah binatang.
Jadi, beberapa binatang tidak ada gunanya.

EIO   : Tidak ada seorang manusia pun mempunyai ekor.
Beberapa manusia berbadan kekar.
Jadi, beberapa orang yang berbadan kekar tidak mempunya iekor.

5.5 Susunan yang keempat : P – M
                                                        M – S
                                                        S – P

·         Susunan ini tidak lumrah dan hampir tidak pernah dipakai. Karena itu susunan ini sebaiknya disingkirkan saja. Susunan ini dengan mudah dapat dijabarkan menjadi susunan yang pertama.

·         Syarat-syaratnya ialah :
·         Apabila premis major afirmatif, premis minor harus universal;
·         Apabila premis minor afirmatif, kesimpulan harus particular;
·         Apabila salah satu premis negative, premis major harus universal.

·         Karena itu kombinasi – kombinasi yang mungkin ialah : AAI, AEE, IAI, EAO dan EIO (AEO tidak lazim di sini).

        Misalnya:

1.       AAI : Semua manusia adalah hewan. Semua hewan dapat mati. Jadi, beberapa yang dapat mati adalah manusia.

2.       AEE : Semua orang sombong (adalah) keras kepala. Tidak ada seorang yang keras kepala pun disenangi orang. Jadi, yang tidak disenangi orang adalah orang sombong.

3.       IAI : Beberapa orang kaya (adalah) licik. Semua yang licik adalah manusia. Jadi, beberapa manusia adalah orang kaya.

4.       EAO : Tidak ada bangsat yang disayangi. Semua yang disayangi adalah yang baik tingkah lakunya. Jadi, beberapa yang baik tingkah lakunya bukanlah bangsat.

5.       EIO : Tidak ada mahasiswa bodoh yang bisa lulus. Beberapa yang lulus (adalah) rajin. Jadi,  beberapa yang rajin bukanlah mahasiswa yang bodoh.

6.       (AEO) : Semua yang cinta akan tanah air Indonesia (adalah) cinta akan pancasila. Tidak ada seorang pun yang cinta akan Pancasila memprogandakan kekerasan. Jadi, beberapa orang yang mempropagandakan kekerasan tidak cinta akan tanah air Indonesia.


6. Sillogisme tersusun

Ada beberapa sillogisme yang disebut sillogisme tersusun. Sillogisme-sillogisme itu ialah :

6.1. Epicherema

Epicherema adalah sillogisme yang salah satu premisnya atau juga kedua-duanya disambung dengan pembuktiannya. Sillogisme ini juga disebut sillogisme dengan suatu premis kausal.

Misalnya : Setiap pahlawan itu agung, karena pahlawan adalah orang yang berani mengerjakan hal-hal yang mengatasi tuntutan kewajibannya.
Jendral Sudirman adalah seorang pahlawan. Jadi, Jendral Sudirman adalah agung.

6.2. Enthymema

Enthymema adalah sillogisme yang salah satu premisnya atau kesimpulannya dilampaui. Juga disebut sillogisme yang dipersingkat.

Misalnya : Jiwa manusia adalah rohani. Jadi, tidak akan mati.
Kalau dijabarkan menjadi sillogisme yang lengkap, sillogisme itu tersusun begini :
Yang rohani itu tidak dapat (akan) mati.
Jiwa manusia adalah rohani.
Jadi, jiwa manusia tidak dapat (akan) mati.

6.3. Polysillogisme

Polysillogisme adalah suatu deretan sillogisme. Sillogisme itu dideretkan sedemikian rupa, sehingga kesimpulan sillogisme yang satu menjadi premis untuk sillogisme yang lainnya.

Misalnya : Seorang, yang menginginkan lebih dari pada yang dimilikinya, merasa tidak puas.
Seorang yang rakus, adalag seorang yang menginginkan lebih dari pada yang dimilikinya.
Jadi, seorang yang rakus merasa tidak puas.
Seorang yang kikir adalah seorang yang rakus.
Jadi, seorang yang kikir merasa tidak puas.
Budi adalah seorang yang kikir.
Jadi, Budi merasa tidak puas.

6.4. Sorites

Sorites adalah suatu macam polysillogisme, suatu deretan sillogisme-sillogisme itu terduri atas lebih dari tiga keputusan. Keputusan-keputusan itu dihubungkan satu sama lain sedemikian rupa, sehingga predikat dari keputusan yang satu selalu menjadi subyek dari keputusan yang pertama dihubungkan dengan predikat keputusan yang terakhir.

Misalnya : Orang yang tidak mengendalikan keinganannya, menginginkan seribu satu macam barang.
Orang yang menginginkan seribu satu macam barang, banyak sekali kebutuhannya.
Orang yang banyak sekali kebutuhannya, tidak tenteram hatinya.
Jadi, orang yang tidak mengendalikan keinginannya, tidak tenteram hatinya.