1.
Di atas sudah dijelaskan sebentar mengenai apa yang disebut sillogisme
hipotetis. Dalam bagian ini sillogisme tersebut mau diuraikan sedikit lebih
lanjut. Sillogisme hipotesis terdiri atas sillogisme
(hipotetis) kondisional, sillogisme (hipotetis) disyungtif dan sillogisme
(hipotetis) konyungtif.
1.1 Sillogisme (hipotetis) kondisional
Sillogisme
ini adalah sillogisme yang premis majornya berupa keputusan kondisional.
Keputusan kondisional itu terdiri atas dua bagian, yaitu : jika. . ., maka. . .
Bagian yang satu dinyatakan benar, kalau syarat yang dinyatakan dalam bagian
yang lainnya terpenuhi. Bagian keputusan kondisional yang mengandung
syarat disebut antecedens. Dan bagian keputusan yang mengandung apa yang
disyaratkan disebut consequens. Sebutan itu tidak berubah, meskipun urutan
keduanya diubah. Yang merupakan inti keputusan kondisional
ialah hubungan antara antecedens dan consequensnya. Karena itu, keputusan
kondisional benar, kalau hubungan bersyarat yang dinyatakan didalamnya benar.
Keputusan itu salah, kalau hubungan itu tidak benar.
1.1 Selanjutnya di sini disajikan hukum-hukum
sillogisme (hipotetis) kondisional itu. Bunyinya :
1. Kalau antecedensya benar (dan hubungannya
lurus), maka consequence (kesimpulan)nya juga benar.
2. Kalau consequens (kesimpulan)nya salah (dan
hubungannya lurus), maka antecedensenya juga salah.
Artinya, premis
major suatu sillogisme kondisional merupakan suatu keputusan kondisional yang
benar. Premis major itu, misalnya berbunyi ‘Jika hujan, aku tidak pergi’.
Antecedensnya adalah ‘jika hujan’, consequensnya adalah’aku tidak pergi’.
Jika
antecedensnya disebut A, dan consequensnya B, akan terjadilah yang berikut ini.
·
Jika A benar
(artinya: benar hujan), B juga benar (artinya: aku tidak pergi)
·
Jika B salah
(artinya: aku tidak pergi), A juga salah (artinya: tidak hujan)
·
Jika A salah
(artinya: tidak hujan), B dapat salah tetapi juga dapat benar (artinya: belum
pasti aku pergi)
·
Jika B benar
(artinya: aku tidak pergi), A dapat salah tetapi juga dapat benar (artinya:
belum pasti hujan)
2.Sillogisme (hipotetis) disyungtif
Sillogisme
ini adalah sillogisme yang premis majornya terdiri dari keputusan disyungtif.
Premis minor mangakui atau memungkiri salah satu kemungkinan yang sudah disebut
dalam premis major. Kesimpulan mengandung kemungkinan yang lain. Sillogisme (hipotetis) disyungtif
dibedakan menjadi Sillogisme (hipotetis) disyungtif
dalam arti yang sempit dan Sillogisme (hipotetis) disyungtif
dalam arti yang luas.
2.1 Sillogisme (hipotetis) disyungtif
dalam arti yang sempit.
Sillogisme ini hanya mengandung dua
kemungkinan, tidak lebih dan tidak kurang. Keduanya tidak dapat sama-sama
benar. Dari dua kemungkinan itu hanya satulah yang dapat benar. Tidak ada
kemungkinan yang ketiga. (baiklah kalau diingat kembali apa yang sudah di
katakana tentang perlawanan kontradiktoris. Ingatan kembali dapat membantu
memahami hal ini dengan lebih baik). Misalnya : Ia masuk
atau tidak masuk (= tinggal diluar). Ia masuk. Jadi, ia tidak tidak masuk (= tidak
tinggal diluar)
2.2 Sillogisme (hipotetis) disyungtif
dalam arti yang luas.
Dalam
sillogisme ini terdapat dua kemungkinan yang harus dipilih. Tetapi kedua
kemungkinan ini dapat sama-sama benar juga. Jika kemungkinan yang satu benar,
kemungkinan yang lain mungkin benar juga. Kedua kemungkinan itu bisa
dikombinasikan. Kombinasi ini menunjukkan adanya kemungkinan yang ketiga.
Karena itu sillogisme ini praktis tidak bisa dipakai untuk membuktikan sesuatu.
Misalnya
: Dialah yang pergi atau saya (premis major disyungtif dalam arti yang luas).
Dia Pergi. Jadi, (tidak dapat disimpulkan bahwa “saya tidak pergi”).
Contoh
ini menunjukkan adanya kemungkinan yang ketiga. Kemungkinan itu ialah : dia dan
saya pergi bersama-sama.
2.3 Sillogisme (disyungtif) dalam arti
sempit Nampak dalam dua corak.
·
Corak yang satu
ialah : mengakui satu bagian disyungsi dalam premis minor. Bagian yang lainnya
dimungkiri dalam kesimpulan. Corak ini disebut “modus ponendo tollens”.
Misalnya : Mobil kita diam atau tidak diam
(bergerak). Karena diam, jadi tidak bergerak (tidak
diam).
·
Corak yang lain
ialah : memungkiri satu bagian disyungsi dalam premis minor. Dalam kesimpulan
bagian lainnya diakui. Corak ini disebut “modus tollendo ponens”.
Misalnya : Mobil kita diam atau tidak diam
(bergerak). Karena tidak bergerak, jadi diam.
3.Sillogisme (hipotetis) konyungtif
Sillogisme
ini adalah sillogisme yang premis meyornya berupa keputusan konyungtif.
Keputusan konyungtif adalah keputusan dimana penyesuaian beberapa predikat
untuk satu subjek disangkal. Supaya keputusan itu sungguh konyungtif dituntut
supaya antara predikat ada perlawanan. Misalnya : “Budi tidak mungkin sekaligus
bergerak dan beristirahat”.
Sillogisme
ini bisa nampak dalam dua kemungkinan.
1.
Kemungkinan yang
pertama disebut afirmatif-negatif.
Artinya, premis minor afirmatif dan kesimpulannya negatif.
Misalnya : Kartu tidak mungkin sekaligus putih
dan hitam. Kartu itu putih.
Jadi, kartu itu hitam.
2.
Kemungkinan yang
kedua disebut negatif-afirmatif.
Artinya, premis minor negatif dan
kesimpulannya afirmatif.
Misalnya : Kartu tidak mungkin sekaligus putih
dan hitam.
Kartu itu tidak putih.
Jadi, kartu itu hitam.
Ada
hukum yang mengatur sillogisme (hipotetis) konyungtif ini. Hukum itu
berdasarkan atas hukum perlawanan kontraris (A - E): Jika yang satu benar
(artinya: dapat benar, tetapi juga dapat salah). Dan masih ada kemungkinan yang
ketiga, yakni kedua-duanya sama-sama salah. Karena itu, kalau yang satu (premis
minor sillogisme hipotetis konyungtif) salah, maka yang lainnya tidak pasti
benar (dapat benar, tetapi juga dapat salah). Dan kalau yang satu (premis minor
sillogisme hipotetis konyungtif) salah, maka yang lainnya tidak tidak pasti
benar (dapat benar, tetapi juga dapat salah).
Karena itu kemungkinan yang pertama (afirmatif-negatif) membuahkan kesimpulan
yang tepat, benar. Sedangkan kemungkinan yang kedua (negative-afirmatif) tidak
menghasilkan kesimpulan yang tepat, benar. Namun kalau kedua keputusan
(hipotetis) konyungtif merupakan perlawanan kontradiktoris, maka semua
kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang tepat, benar. Misalnya : Mobil kita tidak mungkin
sekaligus bergerak dan diam. Mobil
kita tidak diam. Jadi,
mobil kita bergerak.
4.Dilemma
4.1
Dilemma dalam arti yang sempit merupakan suatu pembuktian. Dalam pembuktian itu
ditarik kesimpulan yang sama dari dua atau lebih dari dua keputusan disyungtif.
Di dalamnya dibuktikan bahwa dari setiap kemungkinan niscaya ditarik kesimpulan
yang tidak dikehendaki. Dengan demikian ‘lawan’ dipojikkan. Pemojokan itu
terjadi dengan menghadapkannya pada
suatu alternative. Tetapi setiap alternative menjurus kepada kesimpulan yang
sama.
4.2
Ada persamaan antara dilemma dalam arti yang sempit dan silogisme (hipotetis)
disyungtif. Baik sillogisme (hipotetis) disyungtif maupun dilemma mulai dengan
keputusan disyungtif. Namun keduanya juga berberda satu sama lain. Prosedur
dilemma berbeda dari prosedur sillogisme (hipotetis) disyungtif. Premis minor
dilemma menunjukkan bahwa bagian mana pun yang dipilih oleh ‘lawan’, ‘lawan’
itu tetap salah. Padahal dalam sillogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti
sempit hanya ada satu kemungkinan saja yang benar. Tidak dapat kedua-duanya
benar. Pilihan menentukan mana bagian yang benar, mana bagian yang tidak benar.
Dalam arti yang luas, dilemma berarti setiap situasi dimana kita harus
memilih dari antara dua kemungkinan. Kedua kemungkinan itu mempunyai
konsekuensi-konsekuensi yang tidak enak. Konsekuensi-konsekuensi yang tidak
enak ini menyebabkan pilihan menjadi sukar.
4.3
Dan untuk dilemma dalam arti sempit terdapat hokum-hukum yang perlu diperhatikan
baik-baik. Hukum-hukum itu adalah :
1. Keputusan disyungtif haruslah lengkap atau
utuh. Artinya, semua kemungkinan harus disebut. Tiap-tiap bagian harus sungguh
selesai, habis atau tuntas, sehingga tidak ada kemungkinan yang lain lagi.
2. Konsekuensinya haruslah lurus. Artinya,
haruslah disimpulkan secara lurus dari tiap-tiap bagian.
3. Kesimpulan yang lain tidak mungkin. Artinya,
kesimpulan tersebut merupakan satu-satunya kesimpulan yang mungkin ditarik.
No comments:
Post a Comment