Thursday, September 4, 2014

ETIKA DAN MODAL DALAM ILMU PENGETAHUAN (Bab 12)

BAB  12
ETIKA DAN MODAL
DALAM ILMU PENGETAHUAN


A.  PENDAHULUAN

Socrates, seorang filsur besar Yunani, telah berbicara pada abad sebelum masehi. kenalilah dirimu sendiri, demikianlah kurang lebih pesan yang ingin di sampaikan. Manusia ialah makhluk berpikir yang dengan itu menjadikan dirinya ada R.F. Beerling, seorang professor Belanda mengemukakan teorinya tentang manusia bahwa manusia itu ialah makhluk yang suka bertanya, manusia menjelajahi pengembangannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal ini yang menyangkut asal mula atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia sebagai makhluk yang sedikit berbeda dengan hewan.
Sebagaimana Aristoteles, filsuf Yunani yang lain mengemukakan bahwa manusia ialah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang berbicara berdasarkan akal pikiran (the animal that reason). W.E. Hacking, dalam bukunya What is an, menulis bahwa: “tiada cara penyampaian yang menyakinkan mengenai apa yang dipikirkan olh hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berpikir dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis sejarah, “William P. Tolley, dalam bukunya Preface Philosophy a Tex Book, mengemukakan bahwa  “our question are andless, what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god?”. Berbeda dengan hewan, manusia sangat concer mengenai asal mulanya akhirnya, maksud dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan.
Mungkin saja ia merupakan anggota  marga satwa, namun ia juga merupakan warga dunia idea dan nilai. Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang berpikir, intelektual, dan budaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyatan manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan pikirannya mengembara akhirnya bertanya. Berpikir yaitu bertanya, bertanya yaitu mencari jawaban, mencari jawaban mencari kebenaran, mencari jawaban tentang alam dan Tuhan yaitu mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah  pengetahuan, teknologi, kepercayaan, atau agama.


B.  HAKIKAT ETIKA

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara, hingga pergaulan hidup tingkat internasional, diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan itu menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata karma, protokoler, dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar. Perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasannya yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi mumumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Untuk itu perlu kiranya bagi kita mengetahui tentang pengetikan etika serta macam-macam etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengertian etika (etimologi) berasal bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “mos” dan dalam bentuk jamaknya” mores,”  yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang bai (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika yaitu untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah yang identik dengan etika, yaitu : usila (Sanskerta), lebih menunjukan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Dan yang kedua yaitu akhlak Arab), berarti  moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Menurut K. Bertens (2001), dalam filsafat Yunani etika dipakai untuk  menunjukan filsafat moral seperti yang acap ditemukan dalam konsep filsuf besar Aristoteles. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan memakai istilan modern, dapat dikatakan juga bahwa membahas tentang konvensi social yang ditemukan dalam masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,. etika diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sementara itu, Bertens (1993:6) mengartikan etika sejalan dengan arti dalam kamus tersebut. Pertama, etika  diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan kata lain, etika disini diartikan sebagai sistem nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat dan sangat me memengaruhi tingkah lakunya. Sebagai contoh, etika Hindu, etika Protestan, dan etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, atau biasa disebut kode etik. Sebagai contoh etika kedokteran, kode etik jurnalistik dank ode etik guru. Etika merupakan ilmu apabila asas atau nilai-nilai etis yang berlaku begitu saja dalam masyarakat dijadikan bahan refleksi atau kajian secara sistematis dan metodis.
Magnis Suseso (1987) memahami etika  harus dibedakan dengan ajaran moral. Morak dipandang sebagai ajaran, wejangan, khotbah, patokan , entah lisan atau tulisan, tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana harus hidup dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral yaitu orang-orang dalam berbagai kedudukan, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak.
Sumber dasar ajaran yaitu tradisi dann adat istiadat, ajaran agama atau ideology tertentu. Adapun etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika yaitu suatu ilmu, bukan suatu ajaran. Jadi, etika yaitu ajaran moral yang tidak berada pada tingkat yang sama.
Selanjutnya Magnis Suseno mengatakan, bagaimana kita harus hidup bukan etika, melainkan ajaran moral. Pendapat Magnis bahwa etika merupakan ilmu yaitu sama dengan Bertens. Sebagaimana dikatakan Bertens, bahwa etika yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun menurut Bertens, pengertian etika selain ilmu juga mencakup moral, baik arti nilai-nilai moral, norma-norma moral, maupun kode etik. Adapun pendapat Magnis yang menyatakan etika sebagai filsafat juga sesuai dengan pandangan umum yang menempatkan etika sebagai salah satu  dari enam cabang filsafat, yakni metafisikal, epitemologi, metodologi, logika, etika dan estetika.
Bahkan oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 SM), etika sudah diginakan dalam  pengertian filsafat moral. Etika sebagai ilmu biasa dibedakan  menjadi tiga macam, yaitu etika deskriptif, etika normative, dan meta-etika deskriptif mempelajari tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, pandangan tentang baik dan buruk, perbuatan yang diwajibkan, dibolehkan, atau dilarang dalam suatu masyarakat, lingkungan budaya, atau periode sejarah
Koetjaraningrat (1980) mengatakan, etika dskriptif tugasnya, sebatas menggambarkan atau memeprkenalkan dan sama sekali tidak memberikan penilaian moral. Pada masa sekarag objek kajian etika deskriptif lebih banyak dibicarakan oleh antropologi budaya, sejarah, atau sosiologi. Karena sifatnya yang empiris, maka etika deskriftif lebih tepat dimasukkan ke dalam bahasa ilmu pengetahuan dan bukan filsafat.
K. Bertes (2011) menjelaskan lebih jauh, etika normative bertujuan merumuskan prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam perbuatan nyata. Berbeda dengan etika deskriptif, etika normative tidak bersifat netral tetapi memberikan penilaian terhadap tingkah laku moral berdasarkan norma-norma tertentu. Etika normatif tidak sekedar mendeskriptifkan atau menggambarkan melainkan bersifat preskriptif atau memberi petunjuk mengenai baik atau tidak baik, boleh atau tidak bolehnya suatu perbuatan. Untuk itu di dalamnya dikemukakan argument atau diskusi yang mendalam, dan etika normatif merupakan bagian penting dari etika.
Ada juga matematika yang dikenal secara popular, dia tidak membahas persoalan moral dalam arti baik atau buruknya suatu tingkah laku, tetapi membahas bahasa moral. Sebagai contoh, jika suatu perbuatan dianggap baik, maka pertanyaan antara lain : apakah arti baik dalam perbuatan itu, apa ukuran atau syaratnya disebut baik, dan sebagainya. Pertanyaan semacam itu dapat juga dikemukakan secara kritis dan mendalam tentang makna dan ukuran adil, beradab, manusiawi, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, keadilan,  kesejahteraan, dan daripada perilaku etis, dengan bergerak pada taraf bahasa etis (meta artinya melebihi atau melampaui).
Pandangan lain dikemukakan Sussanto (2011), yang mengatakan atika merupakan kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan  menilai). Etika juga merupakan prinsip atau standar perilaku manusia yang kadang-kadang disebut dengan  moral. Kegiatan menilai telah dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Bahwa tidak ada kejadian  yang dapat dijelaskan secara pasti tanpa toleransi. Terdapat spesifikasi  tentang toleransi yang dapat dicapai. Di alam ilmu yang berkembang langkah demi  selangkah, pertukaran informasi antarmanusia selalu merupakan permainan tentang toleransi. Ini berlaku dalam ilmu eksakta maupun bahasa, ilmu social, religi, ataupun politik, bahkan juga bagi setiap bentuk pikiran yang akan menjadi dogma. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi. Hal ini dikarenakan hasil penelitian dari suatu pengetahuan ilmiah sering tidak lama dengan sifat objek penelitian atau hasil penelitian pengetahuan ilmiah yang lain, terutama apabila pengetahuan itu tergolong dalam kelompok disiplin ilmu yang berbeda.
Disamping itu, ditinjau secara filosofi, sangat sukar untuk mengatakan sesuatu itu sebagai hal yang objektif. Sebab boleh dikatakan segala sesuatu mengenai  hampir semua kebenaran di alam ini merupakan hasil dari kesempatan, yang dipelopori oleh individu  atau kelompok yang di pandang memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Meskipun demikian, dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu pengetahuan pada umumnya universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti: Pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia, Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya. Adapun estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif atau subjektif sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai ini akan menjadi subjektif apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat fisik atau psikis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektual, dan hasil subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada sesuai dengan objek sesungguhnya.


C.  HAKIKAT MORAL VERSUS ILMU

Menurut K. Bertens (2011), secara etimologis kata moral sama dengan etika, meskipun kata asalnya beda. Pada tataran lain, jika kata moral dipakai sebagai kata sifatnya artinya sama dengan etis, jika dipakai sebagai kata benda artinya sama dengan etika. Moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ada lagi istilah moralitas yang mempunyai arti sama dengan norma (dari sifat Latin moralis), artinya suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas yaitu sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores,  yang artinya tata cara atau adat istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral artinya sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral yang dari segi substantif materialnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda.  Widjaja (1985) menyatakan, bahwa moral adalah ajaran  baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Sementara itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986), merumuskan pengertian moral secara lebih komperehensif rumusan formalnya sebagai berikut :
  1. Moral sebagai perangkat ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
  2. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
  3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
Agar diperoleh pemahaman yang jelas, perlu diberikan ulasan bahwa substansi materiek dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan tetapi bentuk formal ketiga batasan tersebut berbada. Batasan pertama dan kedua hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang tingkah laku. Adapun batasan moral belum terwujud tingkah laku, melainkan masih merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan pertama, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral. Ada[pun batasan ketiga, moral dapat dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan, atau sikap moral. Namun demikian, semua batasan tersebut tidak salah, sebab dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih sebagai seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kokret dari itu, moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan, sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma. Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berpikir.
Selanjutnya berbicara tentang ilmu istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu scientia, atau dalam kaidah bahasa Arab berasal dari kata “ilm’. Ilmu atau sains adalah pengkajian sejumlah pernyataan yang terbukti dengan fakta dan ditinjau yang disusun secara sistematis dan terbentuk menjadi hukum umum. Ilmu akan melahirkan kaidah umum  yang dapat diterima oleh semua pihak.
Dari definisi diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis, dapat diterima oleh akal melalui pembuktian empiris. Istilah empiris memang sering memunculkan persoalan, yaitu harus didasarkan fakta yang dapat dilihat. Empiris tentu tidak harus demikian, sebab banyak faktor keilmuan yang tidak dapat dilihat, tetapi ada. Kaidah yang mempelajari  fakta ilmu yang tidak tampak itu patut digai dengan aturan yang mapan. Di sisi lain ada suatu kategori, yaitu pseudo-ilmu. Secara garis besar pseudo-ilmu adalah pengetahuan atau praktik metodologis yang diklaim sebagai pengetahuan. Namun berbada dengan ilmu, pseudo-ilmu tidak memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh ilmu.
Keberadaan ilmu timbul karena adanya penelitian pada objek yang sifatnya empiris. berbeda halnya dengan pseudo-ilmu yang lahir dan timbul dari penelaan objek yang abstrak. Landasan dasar yang dipakai dalam pseudo-ilmu yaitu keyakinan atau kepercayaan. Hal  semacam ini sering memunculkan pandangan metafisika dalam filsafat ilmu. Perbedaan keduanya dapat diketahui dari penampakan yang menjadi objek penelitian masing-masing bidang. Atau dengan kata lain, perbedaan itu ada pada sisi epistemologisnya. Perbedaan juga dapat dilihat dari aspek fungsinya.
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Etika itu sejajar artinya dengan moral. Etika keilmuan merupakan etika yang normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan yaitu yang b aik dan yang menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan bertanggung jawab nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan yaitu nilai dan orma nilai. Lalu apa yang menjadi criteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, dan budaya; yang paling utama dalam nilai moral yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudur etis.
Dibidang etika, tanggung jawab seorang ilmu bukan lagi memberi informasi melainkan harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah  yang tak terkendali, tetapi harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksitensi ilmu pengetahuan bukan “melulu” untuk mendesak kemanusiaan, melainkan kemanusiaan yang menggenggam  ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filsuf dan para ulama. Sebagian  berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi prang yang menekuninya, dan mereka yngkapkan hal ini dengan ungkapan ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan kesehatan. Adapun pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan.
Perkembangan ilmyu tidak pernah lepas dari ketersinggunganya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral para penggunannya. Peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan suatu contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada zamannya.
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa perkembangannya, ilmu sering kali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu, seperti Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss dan Galileo Galilei.
Selain itu ada pula beberapa kejadian di mana ilmu harus didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal itu bersumber dari pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama). Karena berbagai sebab di atas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otonomi dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan, setelah pertarungan ideology selama kurun waktu ratusan tahun, akhirnya para ilmuwan mendapat kebebasan dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat dogmatik.
Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mjulai berani mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang dikonkretkan dalam bentuk teknik. Yang dimaksud teknik di sini yaitu penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan bukan saja untuk memlepajari dan memahami berbagai faktor yangberkaitan dengan masalah manusia, melainkan berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah manusia, melainkan juga untuk mengontrol  dan mengarahkannya. hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan moral.
Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda, yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa penggunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan.
Kelompok pertama memandang bahwa ilmu harus bersifat netral dan terbatas dari berbagai masalah yang dihadapi pengguna. Dalam hal ini tugas ilmuwan yaitu meneliti dan menemukan pengetahuan dan itu kepada orang lain akan menggunankan pengetahuan tersebut atau tidak , atau digunakan untuk tujuan yang baik atau tidak.
Kelompok kedua memandang bahwa netralitas  ilmu hanya pada proses penemuan ilmu saja, dan tidak pada hal penggunaannya. Bahkan pada pemilihan bahan peneliti, seorang ilmuwan harus berlandaskan pada nilai-nilai moral. Kelompok ini memandang bahwa sejarah telah membuktikan, bahwa ilmu dapat digunakan sebagai alat penghancur peradaban, hal ini dibuktikan dengan banyaknya peran  yang menggunakan teknologi keilmuan. Alasan lain yaitu bahwa ilmu telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui akibat yang mungkin terjadi serta  pemecahannya, bila terjadi penyalahgunaan. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka kelompok kedua berpendapat.  bahwa ilmu secara moral harus ditunjukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia.
Perihal ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi, keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya yaitu tidak bermoral atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan demikian, kekuasaan ilmu ini  mengharuskan seorang ilmuwan yang memiliki landasann moral yang kuat, ia harus tetap memegang ideology dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuwan bida menjadi monster yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat terjadi. kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi menuais. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan, merupakan kenyataan yang tidak bisa dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu  merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan menyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi  manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negative yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom dan terjadi di Bali.
Disini ilmu harus diletakan secara proposional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi yaitu bencana dan malapetaka. etiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis, baik yang berupa perangkat keras (haedware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala itu untuk mengontrol dan mengarahkan proses dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul kembali, namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi moral berkaitan dengan metafisika, maka dalam tahap ma­nipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pe­ngetahuan. Atau, secara filsafat dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
Nilai moral berkaitan dengan tanggung jawab dan hati nurani. Ni­lai bersikap mewajibkan dan formal. Nilai merupakan fenomena psikis manusia yang menganggap sesuatu hal bermanfaat dan berharga dalam kehidupannya, sehingga seseorang dengan sukarela terlibat fisik dan mental ke dalam fenomena itu. Ada beberapa jenis nilai, misalnya nilai moral, nilai religius, nilai ekonomi, nilai keindahan, dan nilai psikologis.
Norma adalah aturan atau kaidah yang dipakai untuk tolok ukur dalam menilai sesuatu. Ada tiga jenis norma umum, yaitu norma keso­panan atau etiket, norma hukum, dan norma moral. Etiket hanya meng­ukur apakah suatu situasi sopan atau tidak. Norma moral menentukan perilaku seseorang baik atau buruk dari segi etis. Norma moral yaitu norma tertinggi yang tidak dapat dikalahkan untuk kepentingan norma yang lain. Norma moral bertugas menilai norma-norma lainnya.
Norma moral bersifat objektif dan universal. Norma moral hendak­nya mampu mengajak manusia untuk menjunjung martabat sesamanya. Norma moral bersifat absolut, tidak relatif, norma moral bersifat ya dan tidak, atau boleh dan tidak boleh. Ketegasan terhadap norma moral me­nyebabkan seseorang memiliki ketetapan hati yang kuat, tidak mudah menyerah kepada perbuatan amoral dan menuntut ilmuwan untuk me­nunaikan panggilan tugasnya, yaitu membuat kemaslahatan dan kema­juan bagi dunia, manusia dan kemanusiaan.
Kajian cabang aksiologi yang memaparkan etika dan estetika juga harus memperhitungkan motivasi seseorang dalam mempelajari dan menerapkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan terus berkembang seiring dengan terus berkembangnya teknologi. Di sisi lain, banyak ke­khawatiran akan perkembangan ilmu dan teknologi ini. Kekhawatiran itu beragam, mulai dari adanya kerusakan fisik Bumi, biologis, kerusakan bu­daya, kerusakan sistem sosial dan mental manusia.
Kekhawatiran ini sebenarnya sudah berkembang semenjak awal abad modern, di mana terjadi permasalahan dengan ditemukannya teori yang  membutuhkan kenyakinan saintis sebelumnya. Walupun kemudian dikisahkan selanjutnya sebagai bentuk pertentangan yang bermotif teologis, namun sebenarnya semua itu hanyalah pertentangan antara kemapanan. lama dan usaha untuk memperjuangkan kemapanan baru.
Ilmu pengetahuan dan teknologi identik dengan sesuatu yang baru, sekaligus lama. Sebagai sesuatu yang baru yang dihasilkan dari pengem­bangan i1mu. suatu pengetahuan dan teknologi selalu berpijak pada ben­tuk ilmu pengetahuan lama dan kehadiran sesuatu yang benar-benar baru, namun merupakan suatu hasil revisi dari konsep lama, atau me­rupakan bentuk gabungan beberapa konsep yang sebelumnya sudah ada.
Sejak awal pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Dari interaksi ilmu dan moral itu timbul konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo. Dalam tahap manipulasi, masalah moral muncul kembali. Ka­lau dalam tahap kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafi­sika keilmuan, maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengeta­huan yang diperoleh.
Erliana Hasan (2011) memahami ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri. Pengetahuan mempunyai ber­bagai cabang pengetahuan, dan ilmu merupakan salah satu cabang pe­ngetahuan itu. Karakteristik keilmuan itulah yang mencirikan hakikat keilmuan dan sekaligus membedakan ilmu dari berbagai cabang penge­tahuan lainnya, atau dengan perkataan lain karakteristik keilmuan men­jadikan ilmu merupakan suatu pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Pengetahuan diartikan secara lugas, yang mencakup segenap apa yang kita tahu tentang objek tertentu. Pengetahuan yaitu terminologi generik yang mencakup segenap cabang pengetahuan, seperti seni, moral, dan ilmu. Manusia mendapatkan pengetahuan berdasarkan kemampuannya selaku makhluk yang mampu untuk berpikir, merasa, dan mengindera. Secara garis besar, pengetahuan dapat digolongkan menjadi tiga kategori utama. Pertama, pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk (etika). Kedua, pengetahuan tentang apa yang indah dan jelek (estetika). Ketiga, pengetahuan apa yang benar dan salah (Logika).
Ilmu merupakan pengetahuan yang termasuk ke dalam kategori ke­tiga, yakni logika. Logika di sini diartikan secara luas, sebab terdapat pe­ngertian dari logika yang lebih sempit, yakni cara berpikir menurut suatu aturan tertentu. Aturan cara berpikir tersebut dalam kegiatan keilmuan dipatuhi dengan penuh kedisiplinan yang menyebabkan ilmu dikenal sebagai disiplin pengetahuan yang relatif teratur dan terorganisasikan. Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu dalam arti luas, yakni suatu kemampuan yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk lainnya, dan secara analitis kemampuan untuk mengetahui segala se­suatu.
Lebih jauh Erliana (2011) mengatakan ada tiga kemampuan besar manusia. Pertanza, kemampuan kognitif, yakni kemampuan untuk me­ngetahui dalam arti kata yang lebih dalam berupa mengerti, memahami, menghayati, dan mengingat apa yang diketahui itu. Landasan kognitif yaitu rasio atau akal dan kemampuan ini bersifat netral. Kedua, kemam­puan afektif, yakni kemampuan untuk merupakan tentang apa yang di­ketahuinya, yaitu rasa cinta dan rasa indah. Bila kemampuan kognitif bersifat netral, maka kemampuan afektif tidak bersifat netral lagi. Rasa cinta dan rasa indah, keduanya merupakan kontinum yang berujung pada sifat poller. Landasan afeksi yaitu rasa atau kalbu atau disebut jugs hati nurani. Ketiga, kemampuan konatif, yaitu kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu. Konasi antara lain kemauan, keinginan, hasrat, yakni daya dorong untuk mencapai atau menjauhi segala apa yang didik­tekan oleh rasa. Rasalah yang memutuskahn apakah sesuatu itu dicintai atau dibenci, dinyatakan indah atau dinyatakan buruk, dan menjadi si­fat manusia untuk menginginkan atau mendekati yang dicintainya dan yang dinyatakan indah dan sebaliknya, membuang atau menjauhi yang dibencinya dan dinyatakan buruk. Kemampuan, kemauan, dan kekuatan manusia untuk bergerak mendekati atau menjauhi sesuatu inilah yang disebut dengan kemampuan konatif. Dengan perkataan lain, kemampuan konatif yaitu kemampuan yang mengedepankan kekuatan fisik dalam bentuk aksi.
Dari ketiga kemampuan manusia tersebut, ternyata kemampuan afektiflah yang menjadi titik sentralnya, dan pada bidang kemampuan afektif inilah terutama manusia mendapat petunjuk yang saling bertentangan inilah yang akan mengantarkan manusia sam­pai pada pemilikan ilmu pengetahuan, apakah manusia memutuskan untuk mendengar bujukan setan atau akan tetap bertahan dengan tetap tegar berada pads jalan yang diridhai Tuhan, terserah kepada pilihan ma­nusia itu sendiri. Daya dorong inilah yang menentukan nasib manusia, keagungan atau kenistaan. sementara kemampuan kognitif hanya meng­iringi apa yang ditetapkan oleh rasa manusia.

D. ASPEK DAN SIFAT MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN

1.   Moralitas Versus legalitas dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Immanuel Kant dalam Tjahjadi (1991), filsafat Yunani di­bagi menjadi tiga bagian, yaitu fisika, etika, dan logika. Logika bersifat apriori, maksudnya tidak membutuhkan pengalaman empiris. Logika si­buk dengan pemahaman dan rasio itu sendiri, dengan hukum pemikiran universal. Fisika, di samping memiliki unsur apriori juga memiliki unsur empiris atau aposteriori, sebab sibuk dengan hukum alam yang berlaku bagi alam sebagai objek pengalaman. Demikian pula halnya dengan eti­ka, di samping memiliki unsur apriori juga memiliki unsur empiris, sebab sibuk dengan hukum tindakan manusia yang dapat diketahui darn peng­alaman. Tindakan manusia dapat kita tangkap melalui indra kita, akan tetapi prinsip yang mendasari tindakan itu tidak dapat kita tangkap de­ngan indra kita. Menurut Kant, filsafat moral atau etika yang murni justru yang bersifat apriori itu. Etika apriori ini disebut metafisika kesusilaan.
Pemahaman tentang moralitas yang didistingsikan dengan legalitas ditemukan dalam filsafat moral Kant. Menurut pendapatnya, moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum ba­tiniah, yakni apa yang oleh Kant dipandang sebagai "kewajiban." Ada-pun legalitas adalah kesesuaian sikap dan tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian ini belum bernilai moral, sebab tidak didasari dorongan batin. Moralitas akan tercapai jika dalam menaati hu­kum lahiriah bukan karena takut pada akibat hukum lahiriah itu, melain­kan karena menyadari bahwa tact pads hukum itu merupakan kewajiban.
Dengan demikian, kata Tjahjadi (1991), nilai moral baru akan ditemukan di dalam moralitas. Dorngan batin itu tidak dapat ditangkap dengan indra, sehingga orang tidak mungkin akan menilai moral secara mutlak. Kant dengan tegas mengatakan, hanya Tuhan yang mengetahui­ bahwa dorongan batin seseorang bernilai moral. Kant memahami morali­tas masih dibedakan menjadi dua, yaitu moralitas heteronoln dan morali­tas otonom. Dalam moralitas heteronom suatu kewajiban ditaati, tapi bu­kan karena kewajiban itu sendiri melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak orang itu sendiri, misalnya karena adanya imbalan tertentu atau karena takut pada ancaman orang lain. Adapun dalam mo­ralitas otonom, kesadaran manusia akan kewajibannya yang harus ditaati sebagai sesuatu yang is kehendaki, karena diyakini sebagai hal yang baik.
Dalam hal ini, seseorang yang mematuhi hukum lahiriah bukan ka­rena takut pada sanksi melainkan sebagai kewajiban sendiri, karena me­ngandung nilai kebaikan. Prinsip moral semacam ini disebutnya seba­gai otonomi moral, yang merupakan prinsip tertinggi moralitas. Jika dihubungkan dengan teori perkembangan penalaran moralnya Kohlberg, kesesuaian sikap dan tindakan semacam ini sudah memasuki tahapan perkembangan yang ke-6 atau tahapan tertinggi, yakni orientasi prinsip etika universal.
Di bagian lain, Kant mengemukakan adanya dua macam prinsip yang mendasari tindakan manusia, yaitu maksim (inaxime) dan kaidah objek­tif. Maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif, yang dasarnya yaitu pandangan subjektif dan menjadikannya sebagai dasar bertindak. Meskipun memiliki budi, akan tetapi manusia sebagai subjek merupakan makhluk yang tidak sempurna, yang juga memiliki nafsu, emosi, selera, dan lain-lain. Oleh karena itu, manusia memerlukan prinsip lain yang memberinya pedoman dan menjamin adanya "tertib hukum" di dalam dirinya sendiri, yaitu yang disebut kaidah objektif tadi. Kaidah ini tidak dicampuri pertimbangan unsur atau rugi, menyenangkan atau menyu­sahkan.
Dalam kaidah objektif tersebut terkandung suatu perintah atau imperatif yang wajib dilaksanakan, yang disebut im-peratif kategoris. Im-peratif kategoris yaitu perintah mutlak, berlaku umum, Berta tidak ber­hubungan dengan suatu tujuan yang ingin dicapai atau tanpa syarat apa pun. Imperatif kategoris ini memberikan perintah yang harus dilak­sanakan sebagai suatu kewajiban. Menurut Kant, kewajiban merupakan landasan yang paling utama dari tindakan moral. Suatu perbuatan akan mempunyai nilai moral apabila hanya dilakukan demi kewajiban itu sendiri. Di samping imperatif kategoris, juga dikenal apa yang disebut­nya imperatif hipotetis, yaitu perintah bersyarat, yang dilakukan karena dipenuhinya syarat-syarat untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana yang telah dikemukakan.
Pandangan Kant tentang moralitas yang didasari kewajiban itu tam­paknya tidak berbeda dengan moralitas Islam (akhlak), yang berkaitan dengan "niat." Di sini berlaku suatu prinsip/ajaran bahwa nilai suatu per­buatan itu sangat tergantung pada niatnya. jika niatnya baik, maka per­buatan itu bernilai kebaikan. Perbuatan yang dimaksudkan di sini sudah tentu perbuatan yang baik, bukan perbuatan yang buruk. Dengan demiki­an, niat yang baik tidak berlaku untuk perbuatan yang buruk.

2.   Moralitas Objektivistik Versus Relativistik dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Kurtines dan Gerwitz (1992), timbulnya perbedaan pan­dangan tentang sifat moral sebagaimana dikemukakan itu tak terlepas dari sejarah perkembangan intelektual Barat yang dibagi dalam tiga pe­riode, yaitu zaman Abad Klasik, Abad Pertengahan, dan Abad Modern. Sejarah ide dunia Barat dimulai sejak zaman Yunani Kuno sekitar abad ke-5 SM, dengan ahli pikirnya yang sangat terkenal, yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiga pemikir terbesar Abad Klasik ini berpandangan bahwa prinsip moral itu bersifat objektivistik, naturalistik, dan rasional. Maksudnya, meskipun bersifat objektif sebagaimana yang telah dike­mukakan, akan tetapi moral itu merupakan bagian dari kehidupan du­niawi (natural) dan dapat dipahami melalui proses penalaran atau peng­gunaan akal budi (rasional).
Socrates yang meninggal pads 399 SM, meskipun tidak meninggalkan karya tulis, ia mengajarkan tentang adanya kebenaran yang bersifat mut­lak. Untuk mempunyai pengetahuan yang objektif tentang kebenaran itu merupakan sesuatu yang sangat mungkin bagi manusia, melalui pena­laran atau akal budi. Plato (427-347 SM), pencipta istilah ide, mengatakan bahwa ide itu memiliki eksistensi yang nyata dan objektif. Pendapat ini sekaligus untuk menyanggah kaum sofisme yang mengatakan bahwa ti­dak mungkin terdapat suatu pengetahuan dan juga moral yang bersifat objektif, sedangkan dunia itu sendiri terus-menerus berubah.
Menurut Plato, pengetahuan maupun moral yangbersifat objektif itu sangat mungkin, meskipun tidak di dunia fisik. Ia mengemukakan adanya dunia, yaitu dunia fisik dan dunia ide. Dunia fisik itu terns berubah, se­mentara dunia ide atau dunia cita itu merupakan dunia yang abadi. Lagi pula, dunia ide itu lebih tinggi daripada dunia fisik, sebab dunia ide tidak rusak dan tidak berubah, tidak seperti halnya dunia fisik. Bagi realisme Plato, dunia ide itu merupakan realitas yang sesungguhnya dan lebih nyata dibanding dengan dunia indriawi. Untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran atau realitas yang lain tidak mungkin dicapai melalui pengalaman indra yang sifatnya terbatas. Hanya melalui akal budi atau penalaran, sebagai kekuatan khas yang hanya dimiliki manusia, sese­orang akan mampu memahami dunia ide itu. Sebagaimana halnya Plato, Aristoteles (384-322 SM) ialah seorang penganut realisme yang meta­fisik, namun terdapat perbedaan penting di antara keduanya.


Menurut Aristoteles, materi lebih pokok dibanding dengan bentuk. Dalam bukunya yang berjudul The Nicoinacheali Ethics, dikemukakan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang ingin kita raih dan untuk me­raihnya itu melalui kegiatan yang kita lakukan. Lagi pula, kebenaran itu sifatnya bertingkat-tingkat, dalam arti bahwa ada 11 jenis kebenaran yang lebih baik dari kebenaran lainnya. Hal ini sekaligus menimbulkan pertanyaan, apakah dengan demikian tidak berarti bahwa kebenaran itu sifatnya relatif? Pertanyaan lain yang dikemukakan, adakah kebenaran yang ingin kita raih demi kebenaran yang lebih tinggi? Sekiranya ada, maka kebenaran tertinggi itulah yang merupakan kebenaran mutlak. Un­tuk itu, manusia perlu mempunyai pengetahuan tentang kebenaran itu guna menjadi acuan dalam perilaku hidupnya. Menurut Aristoteles, ke­benaran yang mutlak itu yaitu kebahagiaan dan berperilaku baik. Keba­hagiaan itu yaitu sesuatu yang tuntas dan merupakan tujuan akhir. Kita mencapai sesuatu itu demi kebahagiaan, bukan mencapai kebahagiaan demi sesuatu yang lain. Konsepsi Aristoteles tentang moralitas tersebut lebih duniawi, lebih empiris, atau lebih aktual dibanding konsepsi Plato.
Selanjutnya dikatakan Aristoteles, hidup secara baik merupakan ak­tualisasi fungsi moral yang khas insani. Dalam dunia intelektual, morali­tas itu tampil dalam proses pencarian kebenaran. Abad Pertengahan ber­langsug selama seribu tahun, sejak runtuhnya Romawi pada abad ke-5 hingga Renaisans di abad ke-15, sering disebut sebagai abad kepercayaan. Sepanjang zaman itu, sejarah pemikiran Barat dipengaruhi oleh keper­cayaan yang kukuh akan kebenaran wahyu Kristiani. Dalam masa seribu tahun lamanya, persoalan moralitas dan bahkan realitas alam ditempat­kan dalam suatu kerangka pikir yang lebih didasarkan pada kepercayaan dibanding penalaran.
Jawaban atas persoalan moral yang lebih bersumber dari kepercayaan itu dipandang sebagai jawaban yang mutlak dan objektif. Alam pikir­an Abad Pertengahan dibangun atas dasar asimilasi antara kepercayaan dan penalaran, antara doktrin Kristiani dan doktrin rasional dan sekuler dari para filsuf Abad Klasik. Agustinus (345-430), pemikir Abad Perte­ngahan yang karya-karyanya dipandang memiliki otoritas yang hampir sebanding dengan kitab suci, berpenclapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang mutlak dan objektif dapat dicapai melalui mistik tentang kebenaran Ilahi yang diterima secara langsung.
Lebih jauh Kurtines dan Gerwitz (1992) mengatakan, pandangan Agustinus menjadi paradigma berpikir Abad Pertengahan hingga mun­culnya mazhab pikir Thomisme. Thomas Aquinas (1225-1274) ialah filsuf besar kedua di Abad Pertengahan, yang antara lain berpandangan bahwa manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan penalaran, itu semua berada dalam kesatuan Ilahi. Secara garis besar, konsepsi moral abad pertengahan berbeda dengan konsepsi Abad Klasik. Agustinus dan Thomas Aquinas mendasarkan pandangan moralnya yang bersifat spiri­tualistik dan terarah pada dunia kelak. Adapun pandangan moral Plato dan Aristoteles bersifat naturalistik, sekuler, rasional, dan terpusat pads dunia kini. Namun demikian, antara Abad Klasik dan Abad Pertengahan terdapat persamaan, yaitu sama-sama berpandangan akan adanya stan­dar moral yang objektif. Dengan demikian, perbedaannya terletak pada persoalan epistemologi, yakni sumber pengetahuan atau cara memper­oleh pengetahuan tentang kebenaran objektif tersebut.
Abad Pertengahan berakhir pada abad ke-15, yang disusul dengan bangkitnya ajaran, pandangan, dan budaya barn yang serba sekuler, yang dikenal sebagai zaman Renaisans (dari bahasa Perancis yang berarti "kelahiran kembali"). Dalam zaman ini, manusia seakan-akan dilahirkan kembali dari tidur yang panjang dan statis di Abad Pertengahan.
Zaman Renaisans ini telah menandai jatuhnya otoritas gereja dalam bidang spiritual dan intelektual yang telah berlangsung lima belas abad. Zaman Renaisans yang berlangsung pada abad ke-15 dan ke-16 telah me­nandai peralihan Abad Pertengahan ke Abad Modern. Dengan semangat sekuler dan corak yang sangat antroposentris, akal budi atau zaman fajar-budi sangat optimis dengan mengira bahwa berkat ra­sio, semua persoalan dapat dipecahkan. Hal ini tentu saja berimplikasi pada persoalan moral, di mana moralitas modern kemudian lebih men­dasarkan pada pertimbangan rasional, sebagaimana yang akan dibicara­kan kemudian. Abad Pencerahan merupakan suatu masa yang ditandai dengan berbagai kemajuan dan perubahan yang revolusioner. Abad ini mempersembahkan lahirnya ilmu pengetahuan modern, penemuan baru di bidang sains yang mencapai puncaknya di tangan Isaac Newton (1642­1727) yang termasyhur dengan hukum gravitasinya.
Dengan temuannya itu, Newton seakan telah memecahkan rahasia alam semesta dan sekaligus telah meruntuhkan mitos dan pandangan dunia Barat yang dipercayai sepanjang Abad Pertengahan tentang alam semesta. Adapun sebelumnya, Galileo Galilei (1564-1642) telah dipaksa untuk mengingkari penemuannya yang telah menggugurkan mitos yang telah lama dipercayai bahwa Bumi sebagai pusat alam. semesta.
Sains modern memiliki karakteristik yang sangat mendasar, yaitu pertains, landasan metafisiknya bersifat naturalistik. Berbagai fenomena yang menjadi objek penelitian dipandang sebagai produk dari berbagai proses kekuatan alam belaka, tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat spiritual maupun supranatural. Pandangan naturalistik sains modern ini membedakannya dengan pemikiran Abad Pertengahan yang bersifat spiritualistik. Namun pandangan naturalistik ini juga merupakan ciri utama pemikiran Abad Klasik. Kedua, terkait dengan sifatnya yang na­turalistik, yaitu sifat empiris. Teori saintifik senantiasa bertopang pada pengalaman empiris yang didukung oleh data. sebagaimana ciri yang pertama, ciri kedua ini membedakannya dengan pemikiran Abad Perte­ngahan yang mendasarkan pada kepercayaan (wahyu), namun ciri ini juga dimiliki oleh pemikiran Abad Klasik. Ketiga, sifat rasionalitas atau mengandalkan pada kekuatan akal budi, yang hal ini juga menjadi ciri pe­mikiran Abad Klasik. Akan tetapi, meskipun sama-sama bersifat rasional, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara rasionalitas Abad Mo­dern dan rasionalitas Abad Klasik.
Bagi alam pikiran abad klasik, akal budi atau rasionalitas merupakan kekuatan rohani manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang du­nia. Kemampuan akal budi itu tidak terbatas pada pengalaman indriawi, tetapi juga mampu menangkap kebenaran universal. Kebenaran rasional merupakan kebenaran yang mutlak, objektif, dan pasti. Hal itu berbeda dengan sains modern yang secara terang-terangan menolak kemungkin­an diperolehnya kebenaran yang objektif dan pasti. Lagi pula, kebenaran rasional ditempatkan di bawah kebenaran empiris.
Kebenaran relatif dari suatu hipotesis keilmuan yang didasarkan pada kerangka teoretis dan kerangka berpikir rasional dapat dan biasa digugurkan oleh temuan data empiris. Demikian pula setiap teori, hu­kum, atau dalil keilmuan senantiasa bersifat tentatif (sementara, dapat berubah) dan dapat dikoreksi oleh temuan-temuan baru. jadi, kebenaran empiris yang ditempatkan di atas kebenaran rasional itu pun merupakan kebenaran yang probabilistik dan relativistik. Dengan demikian, sains modern memberikan peranan yang terbatas kepada akal budi dalam upa­ya memperoleh pengetahuan tentang dunia.
Sains modern didasarkan pada paradigma yang bersifat naturalistik, rasional-empiris, dan relativistik. Paradigma sains modern ini berim­plikasi dan berpengaruh terhadap pemikiran moralitas, sehingga persoal­an moral tidak jarang disikapi oleh pemikiran modern dengan pendekat­an naturalistik, rasional empiris, dan relativistik. Dengan pendekatan naturalistik, persoalan moral dipandang sebagai persoalan duniawi, ter­kait dengan kebutuhan hidup kini dan lain sebagainya.
Dengan pendekatan rasional empiris, persoalan moral disikapi de­ngan lebih mengedepankan pertimbangan rasional, untung-rugi, de­ngan menunjuk berbagai kenyataan empiris, realitas sosial, dan lain se­bagainya. Konsekuensi dari kedua pendekatan tersebut, maka persoalan moral pun menjadi bersifat relativistik. Baik dan buruk menjadi sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti tergantung pada konteksnya, situasinya, Tatar belakangnya, pertimbangan yang digunakan, bahkan tidak mengherankan jika tegantung pada masing-masing individu. Kelemahan yang paling nyata dari pemikiran moralitas modern yaitu tidak adanya kepastian moral, tidak jelasnya standar moral, atau dapat juga berupa kaburnya nilai-nilai moral.

3.   Sifat Moral dalam Perspektif Objektivistik Versus Relativistik
Pembicaraan tentang moral seperti yang telah dikemukakan terda­pat perbedaan pandangan yang menyangkut pertanyaan, apakah moral itu sifatnya objektivistik atau relativistik? Pertanyaan yang hamper objektivistik, baik dan buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah. Suatu perilaku yang dianggap baik akan tetap baik, bukan kadang baik dan kadang tidak baik. Senada dengan pandangan objektivistik, yaitu pan­dangan absolut yang menganggap bahwa baik dan buruk itu bersifat mutlak, sepenuhnya, dan tanpa syarat.
Menurut pandangan ini perbuatan mencuri itu sepenuhnya tidak baik, sehingga orang tidak boleh mengatakan bahwa dalam keadaan ter­paksa, mencuri itu bukan perbuatan yang jelek. Demikian pula halnya dengan pandangan yang universal, prinsip moral itu berlaku di mana saja dan kapan saja. Prinsip moral itu bebas dari batasan ruang dan waktu. Se­baliknya, pandangan yang menyatakan bahwa persoalan moralitas itu si­fatnya relatif, baik dan buruknya suatu perilaku itu sifatnya "tergantung" dalam arti konteknya, kulturalnya, situasinya, atau bahkan tergantung pada masing-masing individu.
Dari dimensi ruang, apa yang dianggap baik bagi lingkungan masya­rakat tertentu belum tentu dianggap baik oleh masyarakat yang lain. Dari dimensi waktu, apa yang dianggap baik pada masa sekarang belum tentu dianggap baik pada masa-mass yang lalu. Salah satu kelemahan literatur tentang moral atau etika, terutama yang bersumber dari literatur Barat, yaitu kurang adanya klasifikasi moral, etika pada umumnya tidak membe­dakan secara jelas antara kesusilaan dan kesopanan. Dua pandangan yang Baling dipertentangkan itu sesungguhnya dapat diterima semua, dalam arti ada prinsip etik atau moral yang bersifat objektivistik-universal dan ada pula prinsip etik atau moral yang bersifat relativistik-kontekstual.
Prinsip moral yang bersifat objektivistik-universal yang dimaksud­kan yaitu prinsip moral secara objektif dapat diterima oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun jugs. Sebagai contoh, sifat atau sikap kejujuran, kemanusiaan, kemerdekaan, tanggung jawab, keikhlasan, ketulusan, per­saudaraan, dan keadilan. Adapun prinsip moral yang bersifat relativistik­kontekstual sifatnya "tergantung atau sesuai dengan konteks," misalnya tergantung pada konteks kebudayaan atau kultur, sehingga bersifat kul­tural. Demikian seterusnya, sifat relativistik-kontekstual itu pengertian­nya bisa berarti nasional, komunal, tradisional, situasional, kondisional, multikultural, atau bahkan individual.
Sebagaimana dikenal dalam kajian tentang macam-macam norma, dikenal adanya empat macam norma, yaitu norma keagamaan, norma lebih bersumber pada prinsip etis dan moral yang bersifat objektivistik­universal. Adapun norma, kesopanan itu bersumber pada prinsip etis dan moral yang bersifat relativistik-kontekstual.
Sejalan dengan hal ini, Widjaja (1985) mengemukakan bahwa per­soalan moral dihubungkan dengan etik membicarakan tentang tata su­sila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong untuk berbuat baik, karena hati kecilnya mengatakan baik, yang dalam hal ini bersumber dari hati nuraninya, lepas dari hubungan dan pengaruh orang lain. Tata sopan santun mendorong untuk berbuat baik, terutama bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani, untuk sekadar menghargai orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian, tata sopan santun lebih terkait dengan kon­teks lingkungan sosial, budaya, adat istiadat dalam satu sistuasi sosial.


E. HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN DAN KEMANUSIAAN
Menurut Jhon G. Kemeny dalam The Liang Gie (2005) mengatakan, ilmu adalah seluruh pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah (all knowledge collected by means of the scientific method. Terlepas berbagai makna dari pengertian ilmu sebagai pengetahuan, ak­tivitas dan metode itu bila ditinjau lebih mendalam sesungguhnya tidak bertentangan bahkan sebaliknya, hal ini merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu tidak harus diusahakan dengan aktivi­tas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Ilmu pengetahuan merupakan warisan bersama umat manusia, bu­kan milik pribadi dari orang-orang tertentu. Permulaannya dimulai de­ngan permulaan umat manusia. Ketika budaya intelektual Eropa menca­pai kedewasaan yang memadai, yang sebagian besarnya dicapai melalui prestasi negara-negara selain-Eropa lainnya, ilmu eksperimental secara khusus telah matang bagi perkembangan baru menyeluruh melalui Re­naisans, Abad Kebangkitan.
Sejatinya ilmu pengetahuan yaitu mengarahkan kecerdasan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat tanpa mengharapkan keuntungan ma­teri, melakukan pengkajian tak kenal lelah dan terperinci tentang alam semesta untuk menemukan kebenaran mutlak yang mendasarinya, dan mengikuti metode yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, maka ke­tiadaan hal-hal ini memiliki arti bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat

memenuhi harapan kita. Meskipun biasanya dikemukakan sebagai perti­kaian antara Kristen dan ilmu pengetahuan, pertikaian zaman Renaisans terutama antara ilmuwan dan Gereja. Copernicus, Galileo, dan Bacon (dikemukakan sebagai) anti-agama. Kenyataannya, dapat kita katakan bahwa ketaatan mereka terhadap agama telah memunculkan cinta dan pemikiran untuk menemukan kebenaran.
Sebelum Kristen, Islam ialah pembawa obor pengetahuan ilmiah. Pemikiran agama yang memancar dari kebahagiaan akhirat dan cinta serta semangat yang muncul dari pemikiran itu, yang disertai rasa kefa­kiran dan ketidakberdayaan di hadapan Pencipta Mahakekal, berada di balik kemajuan ilmiah besar selama 500 tahun yang tersaksikan di dunia Islam hingga akhir abad kedua belas. Gagasan ilmu pengetahuan ber­dasarkan wahyu Ilahi, yang mendorong penelitian ilmiah di dunia Islam, dipersembahkan nyaris sempurna oleh tokoh terkemuka zaman itu, yang tenggelam dalam pikiran tentang kebahagiaan akhirat, meneliti alam se­mesta tanpa kenal lelah untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Ketaatan mereka kepada wahyu Ilahi menyebabkan kecerdasan yang berasal dari wahyu itu memancarkan cahaya yang memunculkan gagasan baru ilmu pengetahuan di dalam jiwa manusia.
Jika gagasan ilmu pengetahuan yang diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat seolah merupakan bagian dari risalah Ilahi, dan yang dipelajari dengan semangat ibadah, tidak pernah terkena serangan Mo­ngol yang menghancurkan serta terpaan Perang Salib yang tak berbelas kasih dari Eropa, maka dunia hari ini akan lebih tercerahkan, memiliki kehidupan intelektual yang lebih kaya, teknologi yang lebih sehat, dan ilmu pengetahuan yang lebih menjanjikan. Gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan keinginan mencapai kebahagiaan akhirat, cita-cita akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih ridha Allah.
Cinta akan kebenaran mengarahkan penelitian ilmiah sejati. Ini ber­arti mendekati alam semesta tanpa pertimbangan keuntungan materi dan balasan duniawi, dan mengamati dan mengenalinya sebagaimana kenyataan sebenarnya. Sementara mereka yang dilengkapi dengan cinta seperti itu dapat mencapai tujuan akhir dari penelitian mereka, mereka yang terkena syahwat duniawi, cita-cita materi, prasangka ideologis, dan taklid buta terhadapnya, serta tidak mampu mengembangkan rasa cinta akan kebenaran apa pun, akan gagal, atau lebih buruk lagi, mengalihkan alannya penelitian ilmiah dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai senjata mematikan untuk digunakan melawan kemampuan terbaik umat manusia.
Tiada kegiatan intelektual yang muncul dari dan diarahkan oleh hasrat duniawi dan kepentingan pribadi yang dapat benar-benar menda­tangkan hasil bermanfaat bagi kemanusiaan. jika hasrat yang mengotori jiwa serta perilaku tidak tepat seperti itu digabungkan dengan fanatisme dan prasangka ideologis, hal ini pasti akan menempatkan rintangan tak teratasi di jalan menuju kebenaran dan menuju penggunaan hasil kajian ilmiah agar bermanfaat bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, cendekiawan, lembaga pendidikan, dan media massa harus bekerja untuk mengeluar­kan penelitian ilmiah modern dari atmosfer yang tercemar mematikan akibat cita-cita materialistis dan fanatisme ideologis, dan mengarahkan ilmuwan menuju nilai-nilai kemanusiaan sejati. Langkah pertama yaitu membebaskan pikiran dari takhayul dan fanatisme ideologis dan mem­bersihkan jiwa dari keinginan mendapatkan balasan dan keuntungan duniawi. Ini juga merupakan prasyarat pertama untuk memastikan ke­bebasan sejati dalam berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan yang baik. Setelah memerangi "kependetaan" dan gagasan keliru yang di­bangun atas nama agama, dan setelah menyalahkan mereka atas kemun­duran, kepicikan, dan fanatisme, ilmuwan harus bekerja keras agar se­nantiasa bebas dari menjadi sasaran tuduhan serupa.
Tidak ada perbedaan antara penindasan intelektual dan ilmiah yang timbul dari hasrat kepentingan dan kekuasaan dengan fanatisme ideolo­gis dan pemikiran sempit yang didasarkan pads gagasan agama yang ke­liru dan menyimpang serta dipegangnya kendali kekuasaan oleh kaum agamawan. Nama asli dari agama yang diturunkan Allah senantiasa ialah Islam, yang berarti kedamaian, keselamatan, dan ketaatan kepada Allah. Hal ini benar, apakah itu diajarkan oleh Musa atau Ica, atau disampaikan oleh Muhammad. Islam mendakwahkan dan menyebarkan sopan santun, hormat terhadap nilai-nilai kemanusiaan, cinta, toleransi, dan persauda­raan. Banyak ayat Al-Qur'an mendorong pengkajian alam semesta, yang dipandangnya sebagai tempat pameran karya-karya Ilahi. Selain itu, Al-Qur'an meminta orang merenungkan penciptaan dan ciptaan, dan meng­gunakannya secara bertanggung jawab, bukan dengan cara jahat dan merusak. Ketika mempelajarinya dengan pikiran terbuka, kita memahami bahwa Al-Qur'an menganjurkan mencintai ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, keadilan dan ketertiban. Pada tataran relatif lebih kecil berupa pemanfaatan ilmu pengetahuan dan hasilnya demi meraih kekuasaan dan cita-cita duniawi dengan menindas orang lemah, sebagian orang telah menggunakan Al-Qur'an untuk membenarkan kebencian dan per­musuhan nurani gelap mereka. Sayangnya, di tangan orang-orang yang ingin menghabisi Islam, sikap tersebut telah digunakan untuk menggam­barkan Islam sebagai agama kebencian, permusuhan, dan dendam.
Islam secara harfiah berarti perdamaian dan keselamatan. Nabi Mu­hammad SAW mengartikan Muslim sebagai seseorang yang dengannya orang lain merasa aman dan selamat akibat perbuatan tangan dan li­dahnya mukmin (orang beriman). Sebagai seorang yang beriman, tentu meyakini dan memberikan jaminan keamanan, ketertiban, keadilan, cin­ta, dan pengetahuan. Melalui cahaya yang dipancarkan Islam, banyak orang telah membaktikan hidup mereka untuk kebahagiaan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi, dan banyak yang lainnya telah membulatkan diri membimbing umat manusia menuju kebahagia­an dunia dan akhirat.

F.   ETIKA DAN MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan dalam sebaik-baik ciptaan, maka manusia memiliki kelebihan yang istimewa, yaitu kemampuannya dalam menalar, merasa, dan mengindra. Melalui kelebihan ini manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuannya, dan hal inilah yang se­cara prinsip menjadi furgan (pembeda) manusia dengan makhluk lain­nya, bahkan pembeda kualitas antarmanusia itu sendiri. Atas kemam­puan yang dimiliki manusia itu, diharapkan dapat berimplikasi terhadap peningkatan taraf kehidupan manusia.
Kemampuan manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan telah melahirkan temuan-temuan baru yang belum ada sebelumnya, atas penemuan itu manusia mendapatkan manfaat secara langsung. Namun selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, ditemukannya hal­hal baru itu telah melahirkan kesadaran akan adanya beragam karya se­bagai olah pikir dan rasa manusia. Pada Abad Kuno, telah banyak karya cipta yang dihasilkan masyarakat saat itu. Karya cipta yang dihasilkan di­anggap sebagai hal biasa dari eksistensinya, dan tidak ada perlindungan khusus atas mereka. Namun demikian, mereka dapat mempertahankan idenya sebagai ilmuwan. Bahkan ada di antara mereka yang mengorbankan nyawanya untuk mempertahankan ide dan gagasannya yang telah menyatu dengan sejati dirinya.
Dalam sejarah dikenal nama Corpus Juris sebagai orang yang pertama kali menyadari dan memperakasai etika moral dalam karya ilmu pengetahuan, baik berupa hak milik dalam bentuk tulisan maupun lukisan di atas kertas. Namun demikian, pendapatnya belum sampai kepada pembeda antara benda nyata (materielles eigentum) dan benda tidak nyata (immaterielles eigentum) yang merupakan produk kreativitas manusia. Istilah immaterielles eigetum ialah yang sekarang disebut dengan “intellectual property righ (IPR). yang merupakan terjemahan dari kata “geistiges eigentum,: atau hak kekayaan intelektual ilmu pengetahuan.
Dalam perspektif sejarah hukum, juga dikenal nama Hugo de Groot (Grotius) orang yang pertama memakai hukum alam atau hukum kodrat yang berasal dari pikiran hal-hal kenegaraan, dia mengemas teorinya sebagai berikut : Pertama, pada dasarnya manusia mempunyai sifat mau berbuat baik kepada sesame manusia, Kedua, manusia mempunyai “appetitus societies”  yang dimaknai hasrat kemasyarakatan. Atas dasar appetitus societaties ini manusia bersedia mengorbankan  jiwa dan raganya untuk kepentingan orang lain, golongan, dan masyarakat. Ada empat macam hidup dalam masyarakat menurut teori hukum kodrat :
  1. Abstinentia alieni (hindarkan diri dri milik orang lain).
  2. Ablagatio implendorum promissorum (penuhilah janji).
  3. Dammi culpa dati reparation (bayarlah kerugian yang disebabkan kesalahan sendiri).
  4. Poenae inter humanies meratum (berilah hukum yang setimpal).

Di negara-negara Anglo-Saxon  berkembang suatu konsep negara hukum yang semula dipelopori A.V. Dicey dengan sebutan “Rule of Law,” yang menekankan pada tiga tolok ukur atau unsur utama dalam teori hukum, yaitu :
  1. Supremasi hukum atau supremacy of low.
  2. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law.
  3. Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.

Menurut Aristoteles, negara hukum  yaitu negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia yang sebenarnya melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan.
Berdasarkan teori negara hukum (rechstaas) tersebut, berarti dalam penerapan pelindungan hukum terhadap hak cipta lagu atau musik harus senantiasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun pembentukan hukum positif itu haruslah berangkat dari hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu, khususnya atas hak ekonomi pencipta terhadap karya yang telah diciptakannya.
Sejalan dengan hal tersebut, di dalam konsep walfer state atau lazim disebut sebagai negara sejahtera yang menjungjung kebebasan individu merupakan gagasan ideal bagaimana suatu negara melaksanakan tugasnya dalam rangka untuk melayani warga negara menuju tatanah kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Dalam hal ini berangkat dari hak-hak individu sebagai bagian yang integral dalam suatu negara, maka negara harus dapat mengakomodasi hal-hal tersebut ke dalam hukum positif dan dapat diberlakukan secara merata di negara itu. Dalam hal ini hukum harus dilihat sebagai lembaga yang berfungsi memenuhi kebutuhan social dan dapat dijalankan pada penerapannya di dalam masyarakat, jadi hukum bukan sekedar “law in a books” melainkan juga “law in action.”
Hukum sebagai landasan etika moral ilmuwan haruslah dijabarkan dan diimplementasikna dalam realitas kemasyarakatan dan siste kenegaraan. Terlebih ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepeti saat ii, semua orang bebas mengembangkan atau menimati teknologi dengan tanpa memeprhatikan etika moral keilmuan, dan  hanya mengedepankan aspek atau financial, atau untuk kepentingan pribadi saja.

Jadi, etika moral harus mengikat para pihak, baik ilmuwan, pemakai atau pengguna, maupun produsen atau pihak dunia industri yang menghasilkan prouk ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat penting, karena ilmu pengetahuan dan teknologi harus maslahat bagi kehidupan manusia, bukan justru untuk kemudaratan dan memusnahkan budaya, peradaban, dan kehidupan manusia.

Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)

1 comment: