BAB
12
ETIKA DAN MODAL
DALAM ILMU PENGETAHUAN
A. PENDAHULUAN
Socrates, seorang filsur besar Yunani, telah berbicara
pada abad sebelum masehi. kenalilah dirimu sendiri, demikianlah kurang lebih
pesan yang ingin di sampaikan. Manusia ialah makhluk berpikir yang dengan itu
menjadikan dirinya ada R.F. Beerling, seorang professor Belanda mengemukakan
teorinya tentang manusia bahwa manusia itu ialah makhluk yang suka bertanya,
manusia menjelajahi pengembangannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian
lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal ini yang menyangkut asal mula
atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan
manusia sebagai makhluk yang sedikit berbeda dengan hewan.
Sebagaimana Aristoteles, filsuf Yunani yang lain mengemukakan
bahwa manusia ialah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang
berbicara berdasarkan akal pikiran (the
animal that reason). W.E. Hacking, dalam bukunya What is an, menulis bahwa:
“tiada cara penyampaian yang menyakinkan mengenai apa yang dipikirkan olh
hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berpikir
dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis
sejarah, “William P. Tolley, dalam bukunya Preface
Philosophy a Tex Book, mengemukakan bahwa
“our question are andless, what is
a man, what is a nature, what is a justice, what is a god?”. Berbeda dengan
hewan, manusia sangat concer mengenai asal mulanya akhirnya, maksud dan
tujuannya, makna dan hakikat kenyataan.
Mungkin saja ia merupakan anggota marga satwa, namun ia juga merupakan warga
dunia idea dan nilai. Dengan
menempatkan manusia sebagai hewan yang berpikir, intelektual, dan budaya, maka
dapat disadari kemudian bila pada kenyatan manusialah yang memiliki kemampuan
untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan
pikirannya mengembara akhirnya bertanya. Berpikir yaitu bertanya, bertanya
yaitu mencari jawaban, mencari jawaban mencari kebenaran, mencari jawaban
tentang alam dan Tuhan yaitu mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari
proses tersebut lahirlah pengetahuan,
teknologi, kepercayaan, atau agama.
B. HAKIKAT ETIKA
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara, hingga
pergaulan hidup tingkat internasional, diperlukan suatu sistem yang mengatur
bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan itu menjadi
saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata karma,
protokoler, dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga
kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang tentram,
terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar. Perbuatannya
yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasannya yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan hak-hak asasi mumumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh
kembangnya etika di masyarakat kita. Untuk itu perlu kiranya bagi kita
mengetahui tentang pengetikan etika serta macam-macam etika dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pengertian etika (etimologi) berasal bahasa Yunani,
yaitu “ethos”, yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom).
Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah
dari bahasa Latin, yaitu “mos” dan
dalam bentuk jamaknya” mores,” yang berarti juga adat kebiasaan atau cara
hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang bai (kesusilaan), dan
menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama
pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu
moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika
yaitu untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah yang identik
dengan etika, yaitu : usila (Sanskerta), lebih menunjukan kepada dasar-dasar,
prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Dan yang kedua yaitu akhlak
Arab), berarti moral, dan etika berarti
ilmu akhlak.
Menurut K. Bertens (2001), dalam filsafat Yunani etika
dipakai untuk menunjukan filsafat moral
seperti yang acap ditemukan dalam konsep filsuf besar Aristoteles. Etika
berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dengan memakai istilan modern, dapat dikatakan juga bahwa membahas tentang
konvensi social yang ditemukan dalam masyarakat.
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia,. etika diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sementara itu,
Bertens (1993:6) mengartikan etika sejalan dengan arti dalam kamus tersebut.
Pertama, etika diartikan sebagai
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan kata lain, etika disini
diartikan sebagai sistem nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat dan
sangat me memengaruhi tingkah lakunya. Sebagai contoh, etika Hindu, etika
Protestan, dan etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, atau
biasa disebut kode etik. Sebagai
contoh etika kedokteran, kode etik jurnalistik dank ode etik guru. Etika
merupakan ilmu apabila asas atau nilai-nilai etis yang berlaku begitu saja
dalam masyarakat dijadikan bahan refleksi atau kajian secara sistematis dan
metodis.
Magnis Suseso (1987) memahami etika harus dibedakan dengan ajaran moral. Morak
dipandang sebagai ajaran, wejangan, khotbah, patokan , entah lisan atau
tulisan, tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana harus hidup
dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral
yaitu orang-orang dalam berbagai kedudukan, seperti orang tua dan guru, para
pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak.
Sumber dasar ajaran yaitu tradisi dann adat istiadat,
ajaran agama atau ideology tertentu. Adapun etika bukan suatu sumber tambahan
bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika yaitu suatu ilmu, bukan
suatu ajaran. Jadi, etika yaitu ajaran moral yang tidak berada pada tingkat yang
sama.
Selanjutnya Magnis Suseno mengatakan, bagaimana kita
harus hidup bukan etika, melainkan ajaran moral. Pendapat Magnis bahwa etika
merupakan ilmu yaitu sama dengan Bertens. Sebagaimana dikatakan Bertens, bahwa
etika yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Namun menurut Bertens, pengertian etika selain ilmu juga mencakup
moral, baik arti nilai-nilai moral, norma-norma moral, maupun kode etik. Adapun
pendapat Magnis yang menyatakan etika sebagai filsafat juga sesuai dengan
pandangan umum yang menempatkan etika sebagai salah satu dari enam cabang filsafat, yakni metafisikal,
epitemologi, metodologi, logika, etika dan estetika.
Bahkan oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384-322
SM), etika sudah diginakan dalam pengertian
filsafat moral. Etika sebagai ilmu biasa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu etika deskriptif,
etika normative, dan meta-etika deskriptif mempelajari tingkah laku moral dalam
arti luas, seperti adat kebiasaan, pandangan tentang baik dan buruk, perbuatan
yang diwajibkan, dibolehkan, atau dilarang dalam suatu masyarakat, lingkungan
budaya, atau periode sejarah
Koetjaraningrat (1980) mengatakan, etika dskriptif
tugasnya, sebatas menggambarkan atau memeprkenalkan dan sama sekali tidak
memberikan penilaian moral. Pada masa sekarag objek kajian etika deskriptif
lebih banyak dibicarakan oleh antropologi budaya, sejarah, atau sosiologi.
Karena sifatnya yang empiris, maka etika deskriftif lebih tepat dimasukkan ke
dalam bahasa ilmu pengetahuan dan bukan filsafat.
K. Bertes (2011) menjelaskan lebih jauh, etika
normative bertujuan merumuskan prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional dan dapat diterapkan dalam perbuatan nyata. Berbeda dengan
etika deskriptif, etika normative tidak bersifat netral tetapi memberikan
penilaian terhadap tingkah laku moral berdasarkan norma-norma tertentu. Etika
normatif tidak sekedar mendeskriptifkan atau menggambarkan melainkan bersifat
preskriptif atau memberi petunjuk mengenai baik atau tidak baik, boleh atau tidak
bolehnya suatu perbuatan. Untuk itu di dalamnya dikemukakan argument atau
diskusi yang mendalam, dan etika normatif merupakan bagian penting dari etika.
Ada juga matematika yang dikenal secara popular, dia
tidak membahas persoalan moral dalam arti baik atau buruknya suatu tingkah
laku, tetapi membahas bahasa moral. Sebagai contoh, jika suatu perbuatan
dianggap baik, maka pertanyaan antara lain : apakah arti baik dalam perbuatan
itu, apa ukuran atau syaratnya disebut baik, dan sebagainya. Pertanyaan semacam
itu dapat juga dikemukakan secara kritis dan mendalam tentang makna dan ukuran
adil, beradab, manusiawi, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, keadilan, kesejahteraan, dan daripada perilaku etis,
dengan bergerak pada taraf bahasa etis (meta artinya melebihi atau melampaui).
Pandangan lain dikemukakan Sussanto (2011), yang
mengatakan atika merupakan kajian tentang hakikat moral dan keputusan
(kegiatan menilai). Etika juga merupakan
prinsip atau standar perilaku manusia yang kadang-kadang disebut dengan moral. Kegiatan menilai telah dibangun
berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti tanpa
toleransi. Terdapat spesifikasi tentang
toleransi yang dapat dicapai. Di alam ilmu yang berkembang langkah demi selangkah, pertukaran informasi antarmanusia
selalu merupakan permainan tentang toleransi. Ini berlaku dalam ilmu eksakta
maupun bahasa, ilmu social, religi, ataupun politik, bahkan juga bagi setiap
bentuk pikiran yang akan menjadi dogma. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip
toleransi. Hal ini dikarenakan hasil penelitian dari suatu pengetahuan ilmiah
sering tidak lama dengan sifat objek penelitian atau hasil penelitian
pengetahuan ilmiah yang lain, terutama apabila pengetahuan itu tergolong dalam
kelompok disiplin ilmu yang berbeda.
Disamping itu, ditinjau secara filosofi, sangat sukar
untuk mengatakan sesuatu itu sebagai hal yang objektif. Sebab boleh dikatakan
segala sesuatu mengenai hampir semua
kebenaran di alam ini merupakan hasil dari kesempatan, yang dipelopori oleh
individu atau kelompok yang di pandang
memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh masyarakat
luas. Meskipun demikian, dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu pengetahuan pada
umumnya universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti: Pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia, Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan
hal-hal kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya.
Adapun estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang
dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif atau subjektif sangat tergantung
dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai ini akan menjadi
subjektif apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia
menjadi tolok ukur segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat fisik atau psikis. Dengan demikian, nilai subjektif akan
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan, intelektual, dan hasil subjektif selalu akan mengarah kepada
suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya
pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan
pada tolok ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar
secara realitas benar-benar ada sesuai dengan objek sesungguhnya.
C. HAKIKAT MORAL VERSUS ILMU
Menurut K. Bertens (2011), secara etimologis kata
moral sama dengan etika, meskipun kata asalnya beda. Pada tataran lain, jika
kata moral dipakai sebagai kata sifatnya artinya sama dengan etis, jika dipakai
sebagai kata benda artinya sama dengan etika. Moral yaitu nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Ada lagi istilah moralitas yang mempunyai arti sama
dengan norma (dari sifat Latin moralis),
artinya suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas yaitu sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Secara
etimologis, kata moral berasal dari kata mos
dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya tata cara atau adat istiadat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
moral artinya sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis,
terdapat berbagai rumusan pengertian moral yang dari segi substantif
materialnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985) menyatakan, bahwa moral adalah
ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan
kelakuan (akhlak). Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan
kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa
manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara
mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Sementara
itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986), merumuskan
pengertian moral secara lebih komperehensif rumusan formalnya sebagai berikut :
- Moral sebagai perangkat ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
- Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
- Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
Agar diperoleh pemahaman yang jelas, perlu diberikan
ulasan bahwa substansi materiek dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda,
yaitu tentang tingkah laku. Akan tetapi bentuk formal ketiga batasan tersebut
berbada. Batasan pertama dan kedua hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang
tingkah laku dan ajaran tentang tingkah laku. Adapun batasan moral belum terwujud
tingkah laku, melainkan masih merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan
pertama, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral.
Ada[pun batasan ketiga, moral dapat dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan,
atau sikap moral. Namun demikian, semua batasan tersebut tidak salah, sebab
dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih sebagai
seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kokret
dari itu, moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan,
sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang
berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berpikir.
Selanjutnya berbicara tentang ilmu istilah yang
berasal dari bahasa Yunani yaitu scientia,
atau dalam kaidah bahasa Arab berasal dari kata “ilm’. Ilmu atau sains adalah
pengkajian sejumlah pernyataan yang terbukti dengan fakta dan ditinjau yang
disusun secara sistematis dan terbentuk menjadi hukum umum. Ilmu akan
melahirkan kaidah umum yang dapat
diterima oleh semua pihak.
Dari definisi diatas, kita bisa menarik kesimpulan
bahwa ilmu adalah pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis, dapat diterima
oleh akal melalui pembuktian empiris. Istilah empiris memang sering memunculkan
persoalan, yaitu harus didasarkan fakta yang dapat dilihat. Empiris tentu tidak
harus demikian, sebab banyak faktor keilmuan yang tidak dapat dilihat, tetapi
ada. Kaidah yang mempelajari fakta ilmu
yang tidak tampak itu patut digai dengan aturan yang mapan. Di sisi lain ada
suatu kategori, yaitu pseudo-ilmu. Secara garis besar pseudo-ilmu adalah
pengetahuan atau praktik metodologis yang diklaim sebagai pengetahuan. Namun
berbada dengan ilmu, pseudo-ilmu tidak memenuhi persyaratan yang disyaratkan
oleh ilmu.
Keberadaan ilmu timbul karena adanya penelitian pada
objek yang sifatnya empiris. berbeda halnya dengan pseudo-ilmu yang lahir dan
timbul dari penelaan objek yang abstrak. Landasan dasar yang dipakai dalam
pseudo-ilmu yaitu keyakinan atau kepercayaan. Hal semacam ini sering memunculkan pandangan
metafisika dalam filsafat ilmu. Perbedaan keduanya dapat diketahui dari
penampakan yang menjadi objek penelitian masing-masing bidang. Atau dengan kata
lain, perbedaan itu ada pada sisi epistemologisnya. Perbedaan juga dapat
dilihat dari aspek fungsinya.
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku
manusia menjadi sentral persoalan. Etika itu sejajar artinya dengan moral.
Etika keilmuan merupakan etika yang normatif yang merumuskan prinsip-prinsip
etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan
dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan yaitu yang b aik dan yang menghindarkan
dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu
kepada “elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan bertanggung jawab
nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini
yaitu penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan
perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan
yaitu nilai dan orma nilai. Lalu apa yang menjadi criteria pada nilai dan norma
moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau
menjadi seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama,
hukum, dan budaya; yang paling utama dalam nilai moral yang berkaitan dengan
tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik
ataukah buruk dari sudur etis.
Dibidang etika, tanggung jawab seorang ilmu bukan lagi
memberi informasi melainkan harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif,
terbuka, menerima kritik dan menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Berdasarkan
sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tetapi harus bergerak
pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia
atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksitensi ilmu
pengetahuan bukan “melulu” untuk mendesak kemanusiaan, melainkan kemanusiaan
yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk
kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa
perbedaan pendapat antara filsuf dan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri
merupakan tujuan pokok bagi prang yang menekuninya, dan mereka yngkapkan hal
ini dengan ungkapan ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni,
sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Teknologi jelas sangat dibutuhkan
oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan sandang,
pangan, energi, dan kesehatan. Adapun pendapat yang lainnya cenderung
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan dan kemajuan umat
manusia secara keseluruhan.
Perkembangan ilmyu tidak pernah lepas dari
ketersinggunganya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu sangat
dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral para penggunannya. Peledakan bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan suatu contoh
penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada zamannya.
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan
dari tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat
berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa
perkembangannya, ilmu sering kali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini
oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang
dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu, seperti
Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss dan Galileo Galilei.
Selain itu ada pula beberapa kejadian di mana ilmu
harus didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal itu
bersumber dari pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama). Karena
berbagai sebab di atas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otonomi
dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan, setelah pertarungan
ideology selama kurun waktu ratusan tahun, akhirnya para ilmuwan mendapat
kebebasan dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat
dogmatik.
Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mjulai berani
mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah
yang dikonkretkan dalam bentuk teknik. Yang dimaksud teknik di sini yaitu
penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan bukan saja
untuk memlepajari dan memahami berbagai faktor yangberkaitan dengan masalah
manusia, melainkan berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah manusia,
melainkan juga untuk mengontrol dan
mengarahkannya. hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu
dengan moral.
Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan
masalah moral yang berbeda, yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan
ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa penggunaan teknologi yang justru merusak
kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan
terbagi menjadi dua pandangan.
Kelompok pertama memandang bahwa ilmu harus bersifat
netral dan terbatas dari berbagai masalah yang dihadapi pengguna. Dalam hal ini
tugas ilmuwan yaitu meneliti dan menemukan pengetahuan dan itu kepada orang
lain akan menggunankan pengetahuan tersebut atau tidak , atau digunakan untuk
tujuan yang baik atau tidak.
Kelompok kedua memandang bahwa netralitas ilmu hanya pada proses penemuan ilmu saja,
dan tidak pada hal penggunaannya. Bahkan pada pemilihan bahan peneliti, seorang
ilmuwan harus berlandaskan pada nilai-nilai moral. Kelompok ini memandang bahwa
sejarah telah membuktikan, bahwa ilmu dapat digunakan sebagai alat penghancur
peradaban, hal ini dibuktikan dengan banyaknya peran yang menggunakan teknologi keilmuan. Alasan
lain yaitu bahwa ilmu telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih
mengetahui akibat yang mungkin terjadi serta
pemecahannya, bila terjadi penyalahgunaan. Berdasarkan pertimbangan di
atas, maka kelompok kedua berpendapat.
bahwa ilmu secara moral harus ditunjukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia.
Perihal ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing
lagi, keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya yaitu tidak bermoral atau
paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan
menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,
tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan demikian, kekuasaan ilmu
ini mengharuskan seorang ilmuwan yang
memiliki landasann moral yang kuat, ia harus tetap memegang ideology dalam
mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman
terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuwan bida menjadi monster yang
setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat
terjadi. kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan
membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi
menuais. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa
terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan, merupakan kenyataan yang
tidak bisa dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu.
Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk
membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Ilmu tidak hanya menjadi
berkah dan menyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia, namun kemudian digunakan untuk
hal-hal yang bersifat negative yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu
sendiri, seperti bom dan terjadi di Bali.
Disini ilmu harus diletakan secara proposional dan
memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak
berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi yaitu bencana dan malapetaka.
etiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep
ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis, baik yang berupa perangkat
keras (haedware) maupun perangkat
lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam
untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dalam gejala itu untuk mengontrol dan mengarahkan
proses dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul
kembali, namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap
kontemplasi moral berkaitan dengan metafisika, maka dalam tahap manipulasi ini
masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pengetahuan. Atau, secara
filsafat dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi
aksiologi keilmuan.
Nilai moral berkaitan dengan tanggung jawab dan
hati nurani. Nilai bersikap mewajibkan dan formal. Nilai merupakan
fenomena psikis manusia yang menganggap sesuatu hal bermanfaat dan berharga
dalam kehidupannya, sehingga seseorang
dengan sukarela terlibat fisik dan mental ke dalam fenomena itu. Ada
beberapa jenis nilai, misalnya nilai moral, nilai religius, nilai ekonomi,
nilai keindahan, dan nilai psikologis.
Norma adalah aturan atau kaidah yang dipakai untuk
tolok ukur dalam menilai sesuatu. Ada tiga jenis norma umum, yaitu norma
kesopanan atau etiket, norma hukum, dan norma moral. Etiket hanya mengukur
apakah suatu situasi sopan atau tidak. Norma moral menentukan perilaku
seseorang baik atau buruk dari segi etis. Norma moral yaitu norma tertinggi
yang tidak dapat dikalahkan untuk kepentingan norma yang lain. Norma moral
bertugas menilai norma-norma lainnya.
Norma moral
bersifat objektif dan universal. Norma moral hendaknya mampu mengajak manusia
untuk menjunjung martabat sesamanya. Norma moral bersifat absolut, tidak
relatif, norma moral bersifat ya dan tidak, atau boleh dan tidak boleh.
Ketegasan terhadap norma moral menyebabkan seseorang memiliki ketetapan hati
yang kuat, tidak mudah menyerah kepada perbuatan amoral dan menuntut ilmuwan
untuk menunaikan panggilan tugasnya, yaitu
membuat kemaslahatan dan kemajuan bagi dunia, manusia dan kemanusiaan.
Kajian cabang aksiologi yang memaparkan etika dan
estetika juga harus memperhitungkan motivasi seseorang dalam mempelajari
dan menerapkan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan terus berkembang seiring dengan terus berkembangnya
teknologi. Di sisi lain, banyak kekhawatiran akan perkembangan ilmu dan
teknologi ini. Kekhawatiran itu beragam, mulai dari adanya kerusakan fisik
Bumi, biologis, kerusakan budaya, kerusakan sistem sosial dan mental manusia.
Kekhawatiran ini sebenarnya sudah berkembang semenjak
awal abad modern, di mana terjadi permasalahan dengan ditemukannya teori yang membutuhkan kenyakinan saintis sebelumnya.
Walupun kemudian dikisahkan selanjutnya sebagai bentuk pertentangan yang
bermotif teologis, namun sebenarnya semua itu hanyalah pertentangan antara kemapanan.
lama dan usaha untuk memperjuangkan kemapanan baru.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi identik dengan sesuatu yang baru, sekaligus lama.
Sebagai sesuatu yang baru yang dihasilkan dari pengembangan i1mu. suatu
pengetahuan dan teknologi selalu berpijak pada bentuk ilmu pengetahuan lama dan kehadiran sesuatu yang benar-benar baru, namun
merupakan suatu hasil revisi dari konsep lama, atau merupakan bentuk
gabungan beberapa konsep yang sebelumnya sudah ada.
Sejak awal pertumbuhannya, ilmu sudah terkait
dengan masalah moral. Dari interaksi ilmu dan moral itu timbul konflik
yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan
inkuisisi Galileo. Dalam tahap manipulasi,
masalah moral muncul kembali. Kalau
dalam tahap kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka dalam tahap
manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah,
atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi
itu sendiri merupakan teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Erliana Hasan (2011) memahami ilmu merupakan
pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri. Pengetahuan
mempunyai berbagai cabang pengetahuan, dan ilmu merupakan salah satu cabang pengetahuan
itu. Karakteristik keilmuan itulah yang mencirikan hakikat keilmuan dan
sekaligus membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan lainnya, atau
dengan perkataan lain karakteristik keilmuan menjadikan ilmu merupakan suatu
pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Pengetahuan diartikan secara lugas, yang mencakup
segenap apa yang kita tahu tentang objek tertentu. Pengetahuan yaitu
terminologi generik yang mencakup segenap
cabang pengetahuan, seperti seni, moral, dan ilmu. Manusia mendapatkan
pengetahuan berdasarkan kemampuannya selaku makhluk yang mampu untuk berpikir,
merasa, dan mengindera. Secara garis besar, pengetahuan dapat digolongkan
menjadi tiga kategori utama. Pertama, pengetahuan tentang apa yang baik
dan buruk (etika). Kedua, pengetahuan tentang apa yang indah dan jelek
(estetika). Ketiga, pengetahuan apa yang benar dan salah (Logika).
Ilmu merupakan
pengetahuan yang termasuk ke dalam kategori ketiga, yakni logika. Logika di
sini diartikan secara luas, sebab terdapat pengertian dari logika yang lebih
sempit, yakni cara berpikir menurut suatu aturan tertentu. Aturan cara berpikir
tersebut dalam kegiatan keilmuan dipatuhi
dengan penuh kedisiplinan yang menyebabkan ilmu dikenal sebagai disiplin
pengetahuan yang relatif teratur dan terorganisasikan. Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu dalam arti luas, yakni suatu kemampuan yang tidak diberikan
Tuhan kepada makhluk lainnya, dan secara analitis kemampuan untuk
mengetahui segala sesuatu.
Lebih jauh
Erliana (2011) mengatakan ada tiga kemampuan besar manusia. Pertanza, kemampuan
kognitif, yakni kemampuan untuk mengetahui
dalam arti kata yang lebih dalam berupa mengerti, memahami, menghayati, dan mengingat apa yang diketahui itu.
Landasan kognitif yaitu rasio atau
akal dan kemampuan ini bersifat netral. Kedua, kemampuan afektif,
yakni kemampuan untuk merupakan tentang apa yang diketahuinya, yaitu rasa cinta dan rasa indah. Bila kemampuan kognitif bersifat netral, maka kemampuan afektif tidak
bersifat netral lagi. Rasa cinta dan rasa indah, keduanya merupakan
kontinum yang berujung pada sifat poller.
Landasan afeksi yaitu rasa atau kalbu atau disebut jugs hati nurani. Ketiga, kemampuan konatif, yaitu
kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu. Konasi antara lain
kemauan, keinginan, hasrat, yakni daya dorong untuk mencapai atau
menjauhi segala apa yang didiktekan oleh
rasa. Rasalah yang memutuskahn apakah sesuatu itu dicintai atau dibenci, dinyatakan indah atau dinyatakan
buruk, dan menjadi sifat manusia
untuk menginginkan atau mendekati yang dicintainya dan yang dinyatakan
indah dan sebaliknya, membuang atau menjauhi yang dibencinya dan dinyatakan
buruk. Kemampuan, kemauan, dan kekuatan manusia
untuk bergerak mendekati atau menjauhi sesuatu inilah yang disebut
dengan kemampuan konatif. Dengan perkataan lain, kemampuan konatif yaitu kemampuan yang mengedepankan kekuatan
fisik dalam bentuk aksi.
Dari ketiga kemampuan manusia tersebut, ternyata
kemampuan afektiflah yang menjadi titik
sentralnya, dan pada bidang kemampuan afektif
inilah terutama manusia mendapat petunjuk yang saling bertentangan inilah yang akan
mengantarkan manusia sampai pada
pemilikan ilmu pengetahuan, apakah manusia memutuskan untuk mendengar
bujukan setan atau akan tetap bertahan dengan tetap tegar berada pads jalan
yang diridhai Tuhan, terserah kepada pilihan manusia itu sendiri. Daya dorong
inilah yang menentukan nasib manusia, keagungan atau kenistaan. sementara
kemampuan kognitif hanya mengiringi apa yang ditetapkan oleh rasa manusia.
D. ASPEK DAN SIFAT MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
1. Moralitas Versus legalitas dalam Ilmu
Pengetahuan
Menurut Immanuel Kant dalam Tjahjadi (1991),
filsafat Yunani dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu fisika, etika, dan logika. Logika bersifat apriori, maksudnya tidak membutuhkan pengalaman
empiris. Logika sibuk dengan pemahaman dan rasio itu sendiri, dengan
hukum pemikiran universal. Fisika, di samping memiliki unsur apriori juga
memiliki unsur empiris atau aposteriori,
sebab sibuk dengan hukum alam yang berlaku bagi alam sebagai objek pengalaman. Demikian pula halnya dengan etika,
di samping memiliki unsur apriori juga memiliki unsur empiris, sebab sibuk
dengan hukum tindakan manusia yang dapat diketahui darn pengalaman. Tindakan manusia dapat kita tangkap
melalui indra kita, akan tetapi prinsip yang mendasari tindakan itu tidak dapat
kita tangkap dengan indra kita. Menurut Kant, filsafat moral atau etika
yang murni justru yang bersifat apriori itu. Etika apriori ini disebut
metafisika kesusilaan.
Pemahaman tentang
moralitas yang didistingsikan dengan legalitas ditemukan dalam filsafat moral
Kant. Menurut pendapatnya, moralitas adalah
kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang oleh Kant dipandang sebagai
"kewajiban." Ada-pun legalitas adalah kesesuaian sikap dan
tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian ini belum bernilai
moral, sebab tidak didasari dorongan batin. Moralitas akan tercapai jika dalam
menaati hukum lahiriah bukan karena takut pada akibat hukum lahiriah itu,
melainkan karena menyadari bahwa tact pads hukum itu merupakan kewajiban.
Dengan demikian, kata Tjahjadi (1991), nilai moral baru akan
ditemukan di dalam moralitas. Dorngan batin itu tidak dapat ditangkap dengan
indra, sehingga orang tidak mungkin akan menilai moral secara mutlak. Kant
dengan tegas mengatakan, hanya Tuhan yang mengetahui bahwa dorongan batin seseorang bernilai moral. Kant memahami moralitas masih dibedakan menjadi dua, yaitu moralitas
heteronoln dan moralitas
otonom. Dalam moralitas heteronom
suatu kewajiban ditaati, tapi bukan
karena kewajiban itu sendiri melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak orang itu sendiri, misalnya
karena adanya imbalan tertentu atau
karena takut pada ancaman orang lain. Adapun dalam moralitas otonom, kesadaran manusia akan kewajibannya
yang harus ditaati sebagai sesuatu yang is kehendaki, karena diyakini
sebagai hal yang baik.
Dalam hal ini, seseorang yang mematuhi hukum
lahiriah bukan karena takut pada sanksi melainkan sebagai kewajiban
sendiri, karena mengandung nilai kebaikan.
Prinsip moral semacam ini disebutnya sebagai otonomi moral, yang
merupakan prinsip tertinggi moralitas.
Jika dihubungkan dengan teori perkembangan penalaran
moralnya Kohlberg, kesesuaian sikap dan tindakan semacam ini sudah memasuki
tahapan perkembangan yang ke-6 atau tahapan
tertinggi, yakni orientasi prinsip etika universal.
Di bagian lain, Kant
mengemukakan adanya dua macam prinsip yang mendasari
tindakan manusia, yaitu maksim (inaxime) dan kaidah objektif. Maksim adalah prinsip yang berlaku secara
subjektif, yang dasarnya yaitu pandangan subjektif dan menjadikannya
sebagai dasar bertindak. Meskipun memiliki budi, akan tetapi manusia sebagai
subjek merupakan makhluk yang tidak
sempurna, yang juga memiliki nafsu, emosi, selera, dan lain-lain. Oleh karena itu, manusia memerlukan
prinsip lain yang memberinya pedoman
dan menjamin adanya "tertib hukum" di dalam dirinya sendiri, yaitu yang disebut kaidah
objektif tadi. Kaidah ini tidak dicampuri
pertimbangan unsur atau rugi, menyenangkan atau menyusahkan.
Dalam kaidah objektif
tersebut terkandung suatu perintah atau imperatif yang wajib dilaksanakan, yang disebut im-peratif kategoris. Im-peratif kategoris yaitu perintah mutlak, berlaku
umum, Berta tidak berhubungan dengan
suatu tujuan yang ingin dicapai atau tanpa syarat apa pun. Imperatif kategoris ini memberikan
perintah yang harus dilaksanakan sebagai suatu kewajiban. Menurut Kant,
kewajiban merupakan landasan yang paling utama dari tindakan moral.
Suatu perbuatan akan mempunyai nilai moral
apabila hanya dilakukan demi kewajiban itu sendiri. Di samping imperatif kategoris, juga dikenal apa yang disebutnya
imperatif hipotetis, yaitu perintah bersyarat, yang dilakukan karena dipenuhinya
syarat-syarat untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana yang telah
dikemukakan.
Pandangan Kant
tentang moralitas yang didasari kewajiban itu tampaknya tidak berbeda dengan
moralitas Islam (akhlak), yang berkaitan dengan
"niat." Di sini berlaku suatu prinsip/ajaran bahwa nilai suatu perbuatan
itu sangat tergantung pada niatnya. jika niatnya baik, maka perbuatan itu
bernilai kebaikan. Perbuatan yang dimaksudkan di sini sudah tentu perbuatan yang baik, bukan perbuatan yang
buruk. Dengan demikian, niat yang baik tidak berlaku untuk perbuatan
yang buruk.
2. Moralitas
Objektivistik Versus Relativistik dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Kurtines dan
Gerwitz (1992), timbulnya perbedaan pandangan tentang sifat moral sebagaimana
dikemukakan itu tak terlepas dari sejarah perkembangan intelektual Barat yang
dibagi dalam tiga periode, yaitu zaman
Abad Klasik, Abad Pertengahan, dan Abad Modern. Sejarah ide dunia
Barat dimulai sejak zaman Yunani Kuno sekitar abad ke-5 SM, dengan ahli pikirnya yang sangat terkenal, yaitu Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Ketiga pemikir terbesar Abad Klasik ini
berpandangan bahwa prinsip moral itu bersifat objektivistik, naturalistik, dan
rasional. Maksudnya, meskipun bersifat objektif sebagaimana yang telah dikemukakan,
akan tetapi moral itu merupakan bagian dari kehidupan duniawi (natural) dan
dapat dipahami melalui proses penalaran atau penggunaan akal budi (rasional).
Socrates yang meninggal pads 399 SM, meskipun
tidak meninggalkan karya tulis, ia
mengajarkan tentang adanya kebenaran yang bersifat mutlak. Untuk mempunyai
pengetahuan yang objektif tentang kebenaran itu merupakan sesuatu yang
sangat mungkin bagi manusia, melalui penalaran
atau akal budi. Plato (427-347 SM), pencipta istilah ide, mengatakan bahwa ide itu memiliki eksistensi
yang nyata dan objektif. Pendapat ini sekaligus untuk menyanggah kaum sofisme
yang mengatakan bahwa tidak mungkin terdapat suatu pengetahuan dan juga moral
yang bersifat objektif, sedangkan dunia itu sendiri terus-menerus berubah.
Menurut Plato,
pengetahuan maupun moral yangbersifat objektif itu sangat mungkin, meskipun tidak di dunia fisik. Ia
mengemukakan adanya dunia, yaitu dunia fisik dan dunia ide. Dunia fisik
itu terns berubah, sementara dunia ide atau dunia cita itu merupakan dunia
yang abadi. Lagi pula, dunia ide itu lebih
tinggi daripada dunia fisik, sebab dunia ide tidak rusak dan tidak
berubah, tidak seperti halnya dunia fisik. Bagi realisme Plato, dunia ide itu merupakan realitas yang
sesungguhnya dan lebih nyata dibanding dengan dunia indriawi. Untuk
mencapai pengetahuan tentang kebenaran atau realitas yang lain tidak mungkin
dicapai melalui pengalaman indra yang sifatnya terbatas. Hanya melalui akal
budi atau penalaran, sebagai kekuatan khas
yang hanya dimiliki manusia, seseorang akan mampu memahami dunia ide
itu. Sebagaimana halnya Plato, Aristoteles
(384-322 SM) ialah seorang penganut realisme yang metafisik, namun
terdapat perbedaan penting di antara keduanya.
Menurut Aristoteles,
materi lebih pokok dibanding dengan bentuk. Dalam
bukunya yang berjudul The Nicoinacheali Ethics, dikemukakan bahwa
kebenaran merupakan tujuan yang ingin kita raih dan untuk meraihnya itu melalui kegiatan yang kita lakukan. Lagi
pula, kebenaran itu sifatnya
bertingkat-tingkat, dalam arti bahwa ada 11 jenis kebenaran yang lebih
baik dari kebenaran lainnya. Hal ini sekaligus menimbulkan pertanyaan, apakah
dengan demikian tidak berarti bahwa kebenaran itu sifatnya relatif? Pertanyaan lain yang dikemukakan, adakah
kebenaran yang ingin kita raih demi
kebenaran yang lebih tinggi? Sekiranya ada, maka kebenaran tertinggi
itulah yang merupakan kebenaran mutlak. Untuk
itu, manusia perlu mempunyai pengetahuan tentang kebenaran itu guna
menjadi acuan dalam perilaku hidupnya. Menurut Aristoteles, kebenaran yang
mutlak itu yaitu kebahagiaan dan berperilaku baik. Kebahagiaan itu yaitu
sesuatu yang tuntas dan merupakan tujuan akhir. Kita mencapai sesuatu itu demi kebahagiaan, bukan mencapai kebahagiaan demi
sesuatu yang lain. Konsepsi Aristoteles tentang moralitas tersebut lebih
duniawi, lebih empiris, atau lebih aktual dibanding konsepsi Plato.
Selanjutnya dikatakan
Aristoteles, hidup secara baik merupakan aktualisasi
fungsi moral yang khas insani. Dalam dunia intelektual, moralitas itu
tampil dalam proses pencarian kebenaran. Abad Pertengahan berlangsug selama
seribu tahun, sejak runtuhnya Romawi pada abad ke-5 hingga Renaisans di abad
ke-15, sering disebut sebagai abad kepercayaan. Sepanjang zaman itu, sejarah
pemikiran Barat dipengaruhi oleh kepercayaan yang kukuh akan kebenaran wahyu
Kristiani. Dalam masa seribu tahun lamanya,
persoalan moralitas dan bahkan realitas alam ditempatkan dalam suatu
kerangka pikir yang lebih didasarkan pada kepercayaan dibanding penalaran.
Jawaban atas persoalan moral yang lebih bersumber dari
kepercayaan itu dipandang
sebagai jawaban yang mutlak dan objektif. Alam pikiran Abad Pertengahan
dibangun atas dasar asimilasi antara kepercayaan dan penalaran, antara doktrin Kristiani dan doktrin rasional dan sekuler
dari para filsuf Abad Klasik. Agustinus (345-430), pemikir Abad Pertengahan
yang karya-karyanya dipandang memiliki otoritas yang hampir sebanding dengan
kitab suci, berpenclapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang mutlak dan
objektif dapat dicapai melalui mistik tentang kebenaran Ilahi yang diterima
secara langsung.
Lebih jauh Kurtines
dan Gerwitz (1992) mengatakan, pandangan Agustinus menjadi paradigma berpikir
Abad Pertengahan hingga munculnya mazhab pikir Thomisme. Thomas Aquinas
(1225-1274) ialah filsuf besar kedua di Abad Pertengahan, yang antara lain
berpandangan bahwa manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan
penalaran, itu semua berada dalam kesatuan
Ilahi. Secara garis besar, konsepsi moral abad pertengahan berbeda
dengan konsepsi Abad Klasik. Agustinus dan Thomas Aquinas mendasarkan pandangan
moralnya yang bersifat spiritualistik dan
terarah pada dunia kelak. Adapun pandangan moral Plato dan Aristoteles
bersifat naturalistik, sekuler, rasional, dan terpusat pads dunia kini. Namun
demikian, antara Abad Klasik dan Abad Pertengahan terdapat persamaan, yaitu sama-sama berpandangan akan adanya standar
moral yang objektif. Dengan demikian, perbedaannya terletak pada persoalan epistemologi, yakni sumber pengetahuan
atau cara memperoleh pengetahuan tentang kebenaran objektif tersebut.
Abad Pertengahan
berakhir pada abad ke-15, yang disusul dengan bangkitnya ajaran, pandangan, dan
budaya barn yang serba sekuler, yang dikenal
sebagai zaman Renaisans (dari bahasa Perancis yang berarti "kelahiran
kembali"). Dalam zaman ini, manusia seakan-akan dilahirkan kembali dari
tidur yang panjang dan statis di Abad Pertengahan.
Zaman Renaisans ini telah menandai jatuhnya otoritas gereja
dalam bidang spiritual dan intelektual yang telah berlangsung lima belas abad.
Zaman Renaisans yang berlangsung pada abad ke-15 dan ke-16 telah menandai
peralihan Abad Pertengahan ke Abad Modern. Dengan semangat sekuler dan corak
yang sangat antroposentris, akal budi atau zaman
fajar-budi sangat optimis dengan mengira bahwa berkat rasio, semua persoalan
dapat dipecahkan. Hal ini tentu saja berimplikasi pada persoalan moral,
di mana moralitas modern kemudian lebih mendasarkan
pada pertimbangan rasional, sebagaimana yang akan dibicarakan kemudian.
Abad Pencerahan merupakan suatu masa yang ditandai dengan berbagai kemajuan dan
perubahan yang revolusioner. Abad ini mempersembahkan
lahirnya ilmu pengetahuan modern, penemuan baru di bidang sains yang
mencapai puncaknya di tangan Isaac Newton (16421727) yang termasyhur dengan
hukum gravitasinya.
Dengan temuannya itu,
Newton seakan telah memecahkan rahasia alam
semesta dan sekaligus telah meruntuhkan mitos dan pandangan dunia Barat
yang dipercayai sepanjang Abad Pertengahan tentang alam semesta. Adapun
sebelumnya, Galileo Galilei (1564-1642) telah dipaksa untuk mengingkari
penemuannya yang telah menggugurkan mitos yang telah lama dipercayai bahwa Bumi
sebagai pusat alam. semesta.
Sains modern memiliki
karakteristik yang sangat mendasar, yaitu pertains, landasan
metafisiknya bersifat naturalistik. Berbagai fenomena yang menjadi objek
penelitian dipandang sebagai produk dari berbagai proses kekuatan alam belaka,
tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat spiritual
maupun supranatural. Pandangan naturalistik sains modern ini
membedakannya dengan pemikiran Abad Pertengahan yang bersifat spiritualistik. Namun pandangan naturalistik ini
juga merupakan ciri utama pemikiran Abad Klasik. Kedua, terkait
dengan sifatnya yang naturalistik, yaitu sifat empiris. Teori saintifik
senantiasa bertopang pada pengalaman empiris
yang didukung oleh data. sebagaimana ciri yang pertama, ciri kedua ini
membedakannya dengan pemikiran Abad Pertengahan
yang mendasarkan pada kepercayaan (wahyu), namun ciri ini juga dimiliki
oleh pemikiran Abad Klasik. Ketiga, sifat rasionalitas atau mengandalkan
pada kekuatan akal budi, yang hal ini juga menjadi ciri pemikiran Abad Klasik.
Akan tetapi, meskipun sama-sama bersifat rasional, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara rasionalitas Abad Modern
dan rasionalitas Abad Klasik.
Bagi alam pikiran abad klasik, akal budi atau rasionalitas
merupakan kekuatan rohani manusia untuk
mendapatkan pengetahuan tentang dunia. Kemampuan akal budi itu tidak
terbatas pada pengalaman indriawi, tetapi juga mampu menangkap kebenaran
universal. Kebenaran rasional merupakan kebenaran yang mutlak, objektif, dan
pasti. Hal itu berbeda dengan sains modern
yang secara terang-terangan menolak kemungkinan diperolehnya kebenaran
yang objektif dan pasti. Lagi pula, kebenaran rasional ditempatkan di bawah
kebenaran empiris.
Kebenaran relatif dari suatu hipotesis keilmuan
yang didasarkan pada kerangka teoretis dan kerangka berpikir rasional
dapat dan biasa digugurkan oleh temuan data
empiris. Demikian pula setiap teori, hukum, atau dalil keilmuan
senantiasa bersifat tentatif (sementara, dapat berubah) dan dapat dikoreksi
oleh temuan-temuan baru. jadi, kebenaran empiris yang ditempatkan di atas
kebenaran rasional itu pun merupakan kebenaran
yang probabilistik dan relativistik. Dengan demikian, sains modern memberikan peranan yang terbatas kepada akal
budi dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang dunia.
Sains modern
didasarkan pada paradigma yang bersifat naturalistik, rasional-empiris, dan relativistik. Paradigma sains modern ini berimplikasi dan berpengaruh terhadap pemikiran
moralitas, sehingga persoalan moral
tidak jarang disikapi oleh pemikiran modern dengan pendekatan
naturalistik, rasional empiris, dan relativistik. Dengan pendekatan naturalistik, persoalan moral dipandang sebagai
persoalan duniawi, terkait dengan kebutuhan hidup kini dan lain
sebagainya.
Dengan pendekatan rasional empiris, persoalan moral
disikapi dengan lebih mengedepankan
pertimbangan rasional, untung-rugi, dengan menunjuk berbagai kenyataan
empiris, realitas sosial, dan lain sebagainya. Konsekuensi dari kedua
pendekatan tersebut, maka persoalan moral pun menjadi bersifat relativistik.
Baik dan buruk menjadi sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti
tergantung pada konteksnya, situasinya,
Tatar belakangnya, pertimbangan yang digunakan, bahkan tidak
mengherankan jika tegantung pada masing-masing individu. Kelemahan yang paling nyata dari pemikiran moralitas
modern yaitu tidak adanya kepastian
moral, tidak jelasnya standar moral, atau dapat juga berupa kaburnya
nilai-nilai moral.
3. Sifat
Moral dalam Perspektif Objektivistik Versus Relativistik
Pembicaraan tentang moral
seperti yang telah dikemukakan terdapat perbedaan pandangan yang menyangkut
pertanyaan, apakah moral itu sifatnya objektivistik atau relativistik?
Pertanyaan yang hamper objektivistik, baik dan buruk itu bersifat pasti atau
tidak berubah. Suatu perilaku yang dianggap
baik akan tetap baik, bukan kadang baik dan kadang tidak baik. Senada dengan pandangan objektivistik, yaitu pandangan absolut yang menganggap bahwa baik dan
buruk itu bersifat mutlak, sepenuhnya, dan tanpa syarat.
Menurut pandangan ini perbuatan mencuri itu
sepenuhnya tidak baik, sehingga orang tidak boleh mengatakan bahwa dalam
keadaan terpaksa, mencuri itu bukan perbuatan yang jelek. Demikian pula halnya
dengan pandangan yang universal, prinsip moral itu berlaku di mana saja dan
kapan saja. Prinsip moral itu bebas dari batasan ruang dan waktu. Sebaliknya,
pandangan yang menyatakan bahwa persoalan moralitas itu sifatnya relatif, baik
dan buruknya suatu perilaku itu sifatnya "tergantung" dalam arti konteknya, kulturalnya, situasinya,
atau bahkan tergantung pada masing-masing individu.
Dari dimensi ruang,
apa yang dianggap baik bagi lingkungan masyarakat tertentu belum tentu
dianggap baik oleh masyarakat yang lain. Dari dimensi waktu, apa yang dianggap
baik pada masa sekarang belum tentu dianggap baik pada masa-mass yang lalu.
Salah satu kelemahan literatur tentang moral
atau etika, terutama yang bersumber dari literatur Barat, yaitu kurang
adanya klasifikasi moral, etika pada umumnya tidak membedakan secara jelas
antara kesusilaan dan kesopanan. Dua pandangan yang Baling dipertentangkan itu sesungguhnya dapat diterima semua, dalam arti ada prinsip etik atau moral yang bersifat
objektivistik-universal dan ada pula prinsip etik atau moral yang
bersifat relativistik-kontekstual.
Prinsip moral yang bersifat objektivistik-universal
yang dimaksudkan yaitu prinsip moral secara objektif dapat diterima
oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun jugs. Sebagai contoh, sifat atau
sikap kejujuran, kemanusiaan, kemerdekaan, tanggung jawab, keikhlasan,
ketulusan, persaudaraan, dan keadilan. Adapun prinsip moral yang bersifat
relativistikkontekstual sifatnya "tergantung atau sesuai dengan
konteks," misalnya tergantung pada
konteks kebudayaan atau kultur, sehingga bersifat kultural. Demikian
seterusnya, sifat relativistik-kontekstual itu pengertiannya bisa
berarti nasional, komunal, tradisional, situasional, kondisional,
multikultural, atau bahkan individual.
Sebagaimana dikenal dalam kajian tentang macam-macam norma,
dikenal adanya empat macam norma, yaitu norma keagamaan, norma lebih bersumber
pada prinsip etis dan moral yang bersifat objektivistikuniversal. Adapun norma,
kesopanan itu bersumber pada prinsip etis dan moral yang bersifat
relativistik-kontekstual.
Sejalan dengan hal ini, Widjaja (1985) mengemukakan
bahwa persoalan moral dihubungkan dengan etik membicarakan tentang tata susila
dan tata sopan santun. Tata susila mendorong untuk berbuat baik, karena hati
kecilnya mengatakan baik, yang dalam hal ini bersumber dari hati nuraninya,
lepas dari hubungan dan pengaruh orang lain. Tata sopan santun mendorong untuk
berbuat baik, terutama bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani,
untuk sekadar menghargai orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian, tata
sopan santun lebih terkait dengan konteks lingkungan sosial, budaya, adat
istiadat dalam satu sistuasi sosial.
E. HAKIKAT
ILMU PENGETAHUAN DAN KEMANUSIAAN
Menurut Jhon G.
Kemeny dalam The Liang Gie (2005) mengatakan, ilmu
adalah seluruh pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah (all
knowledge collected by means of the scientific method. Terlepas berbagai
makna dari pengertian ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas dan metode itu bila
ditinjau lebih mendalam sesungguhnya tidak bertentangan bahkan sebaliknya, hal
ini merupakan kesatuan logis yang mesti ada
secara berurutan. Ilmu tidak harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan
dengan metode tertentu, dan akhirnya
aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Ilmu pengetahuan merupakan warisan bersama umat
manusia, bukan milik pribadi dari orang-orang tertentu. Permulaannya dimulai
dengan permulaan umat manusia.
Ketika budaya intelektual Eropa mencapai kedewasaan yang memadai, yang
sebagian besarnya dicapai melalui prestasi negara-negara selain-Eropa lainnya,
ilmu eksperimental secara khusus telah matang bagi perkembangan baru menyeluruh
melalui Renaisans, Abad Kebangkitan.
Sejatinya ilmu pengetahuan yaitu mengarahkan kecerdasan
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat tanpa
mengharapkan keuntungan materi, melakukan pengkajian tak kenal lelah
dan terperinci tentang alam semesta untuk menemukan kebenaran mutlak yang
mendasarinya, dan mengikuti metode yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu,
maka ketiadaan hal-hal ini memiliki arti bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat
memenuhi harapan kita. Meskipun biasanya dikemukakan
sebagai pertikaian antara Kristen dan ilmu pengetahuan, pertikaian zaman
Renaisans terutama antara ilmuwan dan Gereja. Copernicus, Galileo, dan Bacon (dikemukakan sebagai) anti-agama. Kenyataannya,
dapat kita katakan bahwa ketaatan mereka terhadap agama telah
memunculkan cinta dan pemikiran untuk menemukan kebenaran.
Sebelum
Kristen, Islam ialah pembawa obor pengetahuan ilmiah. Pemikiran agama yang memancar dari kebahagiaan akhirat dan cinta serta semangat yang muncul dari pemikiran itu, yang
disertai rasa kefakiran dan ketidakberdayaan di hadapan Pencipta Mahakekal,
berada di balik kemajuan ilmiah besar selama 500 tahun yang tersaksikan
di dunia Islam hingga akhir abad kedua belas. Gagasan ilmu pengetahuan berdasarkan
wahyu Ilahi, yang mendorong penelitian ilmiah di dunia Islam, dipersembahkan
nyaris sempurna oleh tokoh terkemuka zaman itu, yang tenggelam dalam pikiran
tentang kebahagiaan akhirat, meneliti alam semesta tanpa kenal lelah untuk
mencapai kebahagiaan akhirat. Ketaatan mereka kepada wahyu Ilahi menyebabkan
kecerdasan yang berasal dari wahyu itu memancarkan cahaya yang memunculkan
gagasan baru ilmu pengetahuan di dalam jiwa manusia.
Jika gagasan ilmu pengetahuan yang diterima dan
dimanfaatkan oleh masyarakat seolah merupakan bagian dari risalah Ilahi,
dan yang dipelajari dengan semangat ibadah,
tidak pernah terkena serangan Mongol yang menghancurkan serta terpaan
Perang Salib yang tak berbelas kasih dari Eropa, maka dunia hari ini akan lebih
tercerahkan, memiliki kehidupan intelektual
yang lebih kaya, teknologi yang lebih sehat, dan ilmu pengetahuan yang
lebih menjanjikan. Gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan
keinginan mencapai kebahagiaan akhirat, cita-cita
akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih
ridha Allah.
Cinta akan
kebenaran mengarahkan penelitian ilmiah sejati. Ini berarti mendekati alam semesta tanpa pertimbangan
keuntungan materi dan balasan duniawi, dan mengamati dan mengenalinya sebagaimana
kenyataan sebenarnya. Sementara mereka yang dilengkapi dengan cinta seperti itu dapat mencapai tujuan akhir dari
penelitian mereka, mereka yang terkena syahwat duniawi, cita-cita
materi, prasangka ideologis, dan taklid buta terhadapnya, serta tidak mampu
mengembangkan rasa cinta akan kebenaran apa pun, akan gagal, atau lebih buruk
lagi, mengalihkan alannya penelitian ilmiah
dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai senjata mematikan untuk
digunakan melawan kemampuan terbaik umat manusia.
Tiada kegiatan intelektual yang muncul dari dan
diarahkan oleh hasrat duniawi dan kepentingan pribadi yang dapat
benar-benar mendatangkan hasil bermanfaat
bagi kemanusiaan. jika hasrat yang mengotori jiwa serta perilaku tidak tepat
seperti itu digabungkan dengan fanatisme dan prasangka ideologis, hal
ini pasti akan menempatkan rintangan tak teratasi di jalan menuju kebenaran dan
menuju penggunaan hasil kajian ilmiah agar bermanfaat bagi kemanusiaan. Oleh
karena itu, cendekiawan, lembaga pendidikan,
dan media massa harus bekerja untuk mengeluarkan penelitian ilmiah modern dari
atmosfer yang tercemar mematikan akibat cita-cita materialistis dan
fanatisme ideologis, dan mengarahkan ilmuwan menuju nilai-nilai kemanusiaan
sejati. Langkah pertama yaitu membebaskan pikiran dari takhayul dan fanatisme
ideologis dan membersihkan jiwa dari
keinginan mendapatkan balasan dan keuntungan duniawi. Ini juga merupakan
prasyarat pertama untuk memastikan kebebasan sejati dalam berpikir dan
menghasilkan ilmu pengetahuan yang baik.
Setelah memerangi "kependetaan" dan gagasan keliru yang dibangun
atas nama agama, dan setelah menyalahkan mereka atas kemunduran, kepicikan,
dan fanatisme, ilmuwan harus bekerja keras agar senantiasa bebas dari menjadi
sasaran tuduhan serupa.
Tidak ada perbedaan antara penindasan intelektual dan
ilmiah yang timbul dari hasrat kepentingan
dan kekuasaan dengan fanatisme ideologis
dan pemikiran sempit yang didasarkan pads gagasan agama yang keliru dan
menyimpang serta dipegangnya kendali kekuasaan oleh kaum agamawan. Nama asli
dari agama yang diturunkan Allah senantiasa ialah Islam, yang berarti kedamaian, keselamatan, dan ketaatan kepada Allah. Hal
ini benar, apakah itu diajarkan oleh Musa atau Ica, atau disampaikan oleh
Muhammad. Islam mendakwahkan dan menyebarkan sopan santun, hormat terhadap nilai-nilai kemanusiaan, cinta,
toleransi, dan persaudaraan. Banyak ayat Al-Qur'an mendorong pengkajian
alam semesta, yang dipandangnya sebagai tempat pameran karya-karya Ilahi.
Selain itu, Al-Qur'an meminta orang merenungkan penciptaan dan ciptaan, dan
menggunakannya secara bertanggung jawab,
bukan dengan cara jahat dan merusak. Ketika mempelajarinya dengan
pikiran terbuka, kita memahami bahwa Al-Qur'an menganjurkan mencintai ilmu
pengetahuan dan kemanusiaan, keadilan dan ketertiban. Pada tataran relatif
lebih kecil berupa pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan hasilnya demi meraih kekuasaan dan cita-cita duniawi dengan menindas orang lemah, sebagian orang telah
menggunakan Al-Qur'an untuk membenarkan kebencian dan permusuhan nurani gelap
mereka. Sayangnya, di tangan orang-orang yang ingin menghabisi Islam, sikap
tersebut telah digunakan untuk menggambarkan Islam sebagai agama kebencian,
permusuhan, dan dendam.
Islam secara
harfiah berarti perdamaian dan keselamatan. Nabi Muhammad SAW mengartikan
Muslim sebagai seseorang yang dengannya orang
lain merasa aman dan selamat akibat perbuatan tangan dan lidahnya
mukmin (orang beriman). Sebagai seorang yang beriman, tentu meyakini dan memberikan jaminan keamanan,
ketertiban, keadilan, cinta, dan
pengetahuan. Melalui cahaya yang dipancarkan Islam, banyak orang telah
membaktikan hidup mereka untuk kebahagiaan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi, dan banyak yang lainnya telah membulatkan diri membimbing umat manusia menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.
F. ETIKA
DAN MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
Sebagai
makhluk yang diciptakan Tuhan dalam sebaik-baik ciptaan, maka manusia memiliki
kelebihan yang istimewa, yaitu kemampuannya dalam menalar, merasa, dan
mengindra. Melalui kelebihan ini manusia mampu
mengembangkan ilmu pengetahuannya, dan hal inilah yang secara prinsip menjadi furgan (pembeda)
manusia dengan makhluk lainnya, bahkan pembeda kualitas antarmanusia itu
sendiri. Atas kemampuan yang dimiliki manusia itu, diharapkan dapat
berimplikasi terhadap peningkatan taraf kehidupan manusia.
Kemampuan manusia
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan telah melahirkan temuan-temuan baru
yang belum ada sebelumnya, atas penemuan itu manusia mendapatkan manfaat secara
langsung. Namun selain memberikan manfaat
bagi kehidupan manusia, ditemukannya halhal baru itu telah melahirkan kesadaran akan adanya beragam karya sebagai
olah pikir dan rasa manusia. Pada Abad Kuno, telah banyak karya cipta yang
dihasilkan masyarakat saat itu. Karya cipta yang dihasilkan dianggap sebagai
hal biasa dari eksistensinya, dan tidak ada perlindungan khusus atas mereka.
Namun demikian, mereka dapat mempertahankan idenya sebagai ilmuwan. Bahkan ada
di antara mereka yang mengorbankan nyawanya untuk mempertahankan ide dan
gagasannya yang telah menyatu dengan sejati dirinya.
Dalam sejarah dikenal nama Corpus Juris sebagai orang
yang pertama kali menyadari dan memperakasai etika moral dalam karya ilmu
pengetahuan, baik berupa hak milik dalam bentuk tulisan maupun lukisan di atas
kertas. Namun demikian, pendapatnya belum sampai kepada pembeda antara benda
nyata (materielles eigentum) dan
benda tidak nyata (immaterielles eigentum)
yang merupakan produk kreativitas manusia. Istilah immaterielles eigetum ialah yang sekarang disebut dengan “intellectual property righ (IPR). yang
merupakan terjemahan dari kata “geistiges eigentum,: atau hak kekayaan
intelektual ilmu pengetahuan.
Dalam perspektif sejarah hukum, juga dikenal nama Hugo
de Groot (Grotius) orang yang pertama memakai hukum alam atau hukum kodrat yang
berasal dari pikiran hal-hal kenegaraan, dia mengemas teorinya sebagai berikut
: Pertama, pada dasarnya manusia
mempunyai sifat mau berbuat baik kepada sesame manusia, Kedua, manusia mempunyai “appetitus
societies” yang dimaknai hasrat
kemasyarakatan. Atas dasar appetitus societaties ini manusia bersedia
mengorbankan jiwa dan raganya untuk
kepentingan orang lain, golongan, dan masyarakat. Ada empat macam hidup dalam
masyarakat menurut teori hukum kodrat :
- Abstinentia alieni (hindarkan diri dri milik orang lain).
- Ablagatio implendorum promissorum (penuhilah janji).
- Dammi culpa dati reparation (bayarlah kerugian yang disebabkan kesalahan sendiri).
- Poenae inter humanies meratum (berilah hukum yang setimpal).
Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang suatu konsep negara hukum yang
semula dipelopori A.V. Dicey dengan sebutan “Rule of Law,” yang menekankan pada tiga tolok ukur atau unsur utama
dalam teori hukum, yaitu :
- Supremasi hukum atau supremacy of low.
- Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law.
- Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.
Menurut Aristoteles, negara hukum yaitu negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar daripada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi
warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara
bukanlah manusia yang sebenarnya melainkan pikiran yang adil, sedangkan
penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan.
Berdasarkan teori negara hukum (rechstaas) tersebut, berarti dalam penerapan pelindungan hukum
terhadap hak cipta lagu atau musik harus senantiasa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun pembentukan hukum positif itu haruslah
berangkat dari hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu, khususnya atas hak
ekonomi pencipta terhadap karya yang telah diciptakannya.
Sejalan dengan hal tersebut, di dalam konsep walfer state atau lazim disebut sebagai
negara sejahtera yang menjungjung kebebasan individu merupakan gagasan ideal
bagaimana suatu negara melaksanakan tugasnya dalam rangka untuk melayani warga
negara menuju tatanah kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Dalam hal ini
berangkat dari hak-hak individu sebagai bagian yang integral dalam suatu
negara, maka negara harus dapat mengakomodasi hal-hal tersebut ke dalam hukum
positif dan dapat diberlakukan secara merata di negara itu. Dalam hal ini hukum
harus dilihat sebagai lembaga yang berfungsi memenuhi kebutuhan social dan
dapat dijalankan pada penerapannya di dalam masyarakat, jadi hukum bukan
sekedar “law in a books” melainkan
juga “law in action.”
Hukum sebagai landasan etika moral ilmuwan haruslah
dijabarkan dan diimplementasikna dalam realitas kemasyarakatan dan siste
kenegaraan. Terlebih ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sepeti saat ii, semua orang bebas mengembangkan atau menimati teknologi dengan
tanpa memeprhatikan etika moral keilmuan, dan
hanya mengedepankan aspek atau financial, atau untuk kepentingan pribadi
saja.
Jadi, etika moral harus mengikat para pihak, baik
ilmuwan, pemakai atau pengguna, maupun produsen atau pihak dunia industri yang
menghasilkan prouk ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat penting,
karena ilmu pengetahuan dan teknologi harus maslahat bagi kehidupan manusia,
bukan justru untuk kemudaratan dan memusnahkan budaya, peradaban, dan kehidupan
manusia.
Sumber Buku : Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.)
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete