1.Pembagian
(penggolongan)
Pembagian
(penggolongan) ialah sesuatu kegiatan akal budi yang tertentu. Dalam kegiatan
itu akal budi menguraikan “membagi”, “menggolongkan”, dan menyusun
pengertian-pengertian dan barang-barang tertentu. Penguraian dan penyusunan itu
diadakan menurut kesamaan dan perbedaannya.
1.1
Ada bermacam-macam cara untuk mengadakan
pembagian (penggolongan), yaitu :
1.
Pembagian (penggolongan) itu harus lengkap. Artinya,
kalau kita membagi-bagikan suatu hal, maka bagian-bagian yang diperincikan
harus mencakup semua bagiannya.
2.
Pembagian (penggolongan) itu harus
sungguh-sungguh memisahkan. Artinya, bagian yang satu tidak boleh memuat bagian
yang lain.
3.
Pembagian (penggolongan) itu hartus menggunakan
dasar, prinsip yang sama. Artinya, dalam satu pembagian (penggolongan) yang
sama tidak boleh digunakan dua atau lebih dari dua dasar prinsip sekaligus.
4.
Pembagian (penggolongan) itu harus sesuai dengan
tujuan yang mau dicapai.
1.2
Ada beberapa kesulitan yang dapat timbul, yaitu
:
1.
Apa yang benar untuk keseluruhan, juga benar
untuk bagian-bagiannya. Tetapi apa yang benar untuk bagian-bagian, belum pasti
juga benar untuk keseluruhannya.
2.
Adanya keraguan-raguan tentang apa atau siapa yang
sebenarnya masuk kedalam kelompok tertentu.
3.
Karena tidak berpikir panjang, orang cenderung
mengambil jalan pintas. Jalan pintas itu sering kali berbentuk : menggolongkan
barang, benda, dan orang hanya atas dua golongan saja. Artinya, orang
mengadakan penggolongan yang hitam putih saja.
2. Definisi
Kata “definisi”
berasal dari kata “definitio” (bahasa Latin), yang berarti “pembatasan”.
Definisi berarti suatu susunan kata yang tepat, jelas, dan singkat untuk
menentukan batas pengertian tertentu.
2.1 Ada dua
macam definisi. Yang pertama disebut definisi nominal. Definisi ini merupakan
suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan menguraikan arti katanya.
2.2 Definisi ini
dapat dinyatakan dengan beberapa cara, yaitu :
1.
Dengan menguraikan asal-usul (etimologi) kata
atau istilah yang tertentu. Kata “filsafat”, akhir-akhirnya berasal dari kata
Yunani. Dalam bahasa Yunani kata tersebut merupakan kata majemuk. Sebagai kata
majemuk terdiri atas kata “philein” (mencintai)
atau “philos” (pencinta) dan kata “Sophia” (kebijaksanaan). Atas dasar
kata “filsafat” lalu berarti “mencintai” (pencinta) kebijaksanaan”.
2.
Menurut asal-usul, kata “lokomotif”, misalnya,
berarti sesuatu yang dapat bergerak dari tempat yang satu ketempat yang lain.
Padahal dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W. Y. S. Poerwadarminta) kata itu
berarti : induk atau kepala kereta api (mesin penarik kereta api).
3.
Definisi ini juga dapat dinyatakan dengan
menggunakan sinonim.
2.3 Definisi
yang lain itu disebut definisi real. Definisi ini selalu majemuk. Artinya,
definisi itu terdiri atas dua bagian. Bagian yang pertama menyatakan unsur yang
menyerupakan hal (benda), dan bagian yang kedua menyatakan unsur yang
membedakan dari sesuatu yang lainnya.
2.4 Definisi
real ini dapat dibedakan menjadi, yaitu :
1.
Definisi hakiki (esensial). Definisi ini
sungguh-sungguh menyatakan hakekat sesuatu. Hakekat sesuatu adalah suatu
pengertian yang abstrak, yang hanya mengandung unsur-unsur pokok yang
sungguh-sungguh perlu untuk memahami suatu golongan (species) yang lain,
sehingga sifat-sifat golongan (spesies) tersebut tidak termasuk ke dalam
hakekat sesuatu itu.
2.
Definisi gambaran (lukisan). Definisi ini
menggunakan cirri-ciri khas sesuatu yang akan didefinisikan. Ciri-ciri khas
adalah ciri-ciri yang selalu dan tetap terdapat pada setiap benda tertentu.
3.
Definisi yang menunjukkan maksud tujuan sesuatu.
Definisi ini umumnya dipakai untuk alat-alat teknik dan dapat mendekati
definisi hakiki.
4.
Sering kali definisi diadakan hanya dengan
menunjukkan sebab-musabab sesuatu. Misalnya, gerhana bulan terjadi karena bumi
berada diantara bulan dan matahari.
2.5 Ada beberapa
peraturan yang perlu ditepati untuk suatu definisi. Aturan-aturan itu ialah :
1.
Definisi harus dapat dibolak-balikkan dengan hal
yang didefinisikan. Artinya, luas keduanya haruslah sama.
2.
Definisi tidak boleh negatif, kalau dapat
dirumusklan secara positif.
3.
Apa yang didefinisikan tidak boleh masuk ke
dalam definisi. Kalau hal itu terjadi, kita jatuh dalam bahaya yang disebut
“circulus in definiendo”. Artinya, sesudah berputar-putar beberapa lamanya,
akhirnya kita dibawa kembali ke titik pangkal oleh definisi itu.
Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa
yang kabur, kiasan atau mendua arti. Kalau hal itu terjadi, definisi itu tidak
mencapai tujuannya.Sumber : Lanur, Alex. (1983). Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius.
Terimakasih kak :)
ReplyDelete