BERFIKIR KRITIS:
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN
dibawakan dalam
Temu Ilmiah ke-3 Asosiasi
Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI)
Jakarta, 8 Februari 2014
Oleh:
Prof. S. Hartati R-Suradijono,
M.A. Ph.D.
Pendahuluan
Berfikir
merupakan bentuk kegiatan dari fungsi mental yang ada pada manusia. Menurut
Vygotsky (1978) manusia mempunyai dua tingkatan fungsi mental yaitu yang fungsi
mental dasar (elementary mental functions)
dan fungsi mental luhur (higher mental
functions). Fungsi mental dasar di kontrol oleh stimulus dari luar seperti
ketika persepsi dan perhatian terpicu oleh objek yang secara fisik berada
diluar. Fungsi mental luhur tampil dalam bentuk kemampuan manusia untuk
melakukan berfikir logis dan abstrak yang tidak tergantung dari dipicu atau
tidaknya oleh stimulus dari luar. Di tingkat fungsi mental dasar inilah manusia
memiliki kemampuan mental yang sama dengan hewan. Sedangkan manusia berbeda
dengan hewan bila ia melakukan berfikir logis dan abstrak.
Vygotsky
(1978) lebih lanjut mengemukakan manusia dapat mengembangkan fungsi mental
luhurnya (berfikir logis dan abstrak) melalui interaksi dengan lingkungannya.
Beberapa hasil budaya (artifacts) yang sangat berperan dalam meningkatkan
kemampuan fungsi luhur ini antara lain adalah sistem bahasa, sistem berhitung,
tulisan, simbol/tanda yang telah disepakati, diagram, peta, serta hasil budaya
lain. (psychological tools).
“… any higher intellectual
functions appears twice, or on two planes… It appears first between people as
an intermental category, and then within the child as an intramental category.
This is equally true with regards to voluntary attention, logical memory, the
formation of concepts, and the development of will”
(Vygotsky dalam Miller, 1993, hal. 385).
Dengan
demikian, segala bentuk interaksi manusia dengan lingkungannya menjadi sangat
penting serta menentukan dalam manusia menjalankan dan mengembangkan fungsi
mental luhurnya. Pertanyaannya sekarang adalah: “Apakah manusia sudah maksimal
mengggunakan psychological tools --- sistem bahasa, sistem berhitung, tulisan,
dsb. --- agar dapat berperilaku sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang
lebih tinggi dari makhluk hidup yang lain di ciptakan oleh Allah s.w.t.?”
Bila,
menurut Vygotsky, kualitas interaksi individu dengan lingkungannyaberperan
sangat besar dalam pengembangan berfikir manusia, maka menurut John Dewey
(1933, dalam Ritchhart 2002) ada faktor lain dalam diri individu yang
berperan, yaitu “desire.”
“… knowledge of methods alone will
not suffice; there must be the desire, the will to employ them. This desire is
an affair of personal disposition.”
Di
tahun 1992, oleh Tishman, Jay dan Perkins (1992) “desire” tersebut dikembangkan menjadi “… abiding tendencies to explore, to inquire, to seek clarity, to take
intellectual risks, to think critically and imaginatively.” Tendensi ini
disebut sebagai suatu disposisi dalam berfikir (thinking disposition) sebab dia berperan memberi arah terhadap
terbentuknya perilaku intelektual manusia (Perkins, Jay, & Tishman, 1993).
Seperti halnya Tisman dkk.,
Ritchhart (2002) juga melihat perilaku intellectual itu sebagai hasil dari
karakter intelektual yang dibentuk oleh disposisi berfikir yang dimiliki
individu.
“…
thinking dispositions represents characteristics that animate, motivate, and
direct our abilities toward good and productive thinking and recognize in the
pattern of our frequently exhibited, voluntary behavior.” (hal.21).
Disposisi Berfikir
Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan disposisi berfikir atau thinking disposition?
Menurut Tishman, Jay dan Perkins (1992) disposisi berfikir (thinking
disposisitions) memiliki 3 elemen kemampuan (abilities) , sensitifitas / kepekaan (sensitivess) dan
kecendrungan ( incilinations) . Kemampuan
(abilites) disini berhubungan
dengan semua kemampuan dan keterampilan
yang dibutuhkan untuk terjadinya perilaku tersebut. Sensitifitas / kepekaan
(sentiveness) di artikan sebagai
“…alertness to appropriate occasions for exhibiting the behaviour.” Contohnya
adalah kepekaan seseorang terhadap semua kesempatan dalam situasi tertentu
untuk melakukan berfikir yang terencana disertai strategi yang baik. Kecendrungan
(inclinations) di artikan sebagai
“... the tendency to actually behave in a
certain way.” Tishman dkk (1992) mengemukakan tujuh macam kecendrungan (tendencies): “... to be broad and adventurous toward sustained intellectual curiosity, to
clarify and seek understanding, to plan and be
strategic, to be intellectually carefull, to seek and evaluate reason, dan be metacognitive.” Dengan perkataan
lain, menurut Tishman dkk. (1992), bila seseorang hanya memiliki dua dari tiga
elemen diatas misalnya ada kemampuan (abilities)
dan peka (sensitive), akan tetapi
tidak memiliki tendensi (inclination) untuk mengaktualisasikan dalam bentuk prilaku berfikir (“EGP”) maka akan
tidak berguna.
Peran
movitasi internal dalam memunculkan proses berfikir yang tajam sangat besar.
Adanya unsur motivasi dalam proses berfikir disini berarti individu harus
mempunyai “thinking as goal” bukan
sebagai “by product.” Dengan
“berfikir” sebagai tujuan maka individu akan memulai berfikir itu dengan
tingkat kesungguhan (intentionality) yang tinggi dimana akan
berakibat pada adanya usaha mental (mental
effort) yang besar dari individu dalam memproses informasi (Bereiter dan
Scardamalia, 1989). Usaha mental yang di keluarkan individu dalam mengolah
informasi tersebut berkaitan erat dengan jenis strategi berfikir yang digunakan
(Suradijono, 1988; Chan, 1987). Dalam beberapa studi yang dilakukan penulis
terhadap anak-anak Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Umum (SMU)
(Suradijono 1988; 1999; 2001) ditemukan bahwa anak-anak yang menggunakan
strategi berfikir yang tinggi dalam membaca berkorelasi secara nyata
(signifikan) dengan usaha mental yang mereka tampilkan. Lebih lanjut
kesungguhan (intentionally) yang
ditampilkan individu akan menjadi wadah untuk berbentuk kondisi mental (mental state) yang sangat mendukung pelaksanaan dari ketiga elemen dari
disposisi berfikir diatas, yaitu ability,
sensitiveness dan inclination. Flavell & Wellman
(1977) menyebutkan sikap kesungguhan dalam berfikir ini sebagai suatu kemampuan
untuk “active monitoring, consequent
regulation and orchestration of cognitive processes” atau di kenal pula
dengan sebutan metacognition.
Sebelum
masuk pembahasan perihal berfikir kritis perlu diketahui terlebih dahulu bahwa
ada enam (6) elemen berfikir yang menurut Paul & Elder (2002) harus terjadi
dalam proses berfikir, yaitu purpose,
question at issue, information, interpretation & inference, concepts,
assumptions, implications & consequences, and point of view. Dalam
menjalankan keenam elemen tersebut, agar terjadi hasil berfikir yang tajam,
individu harus setiap saat melakukan pemantauan terhadap tujuh aspek, yaitu :
kejelasan (clarity), keakuratan (accuracy), ketepatan (precision), relevansi (a), kedalaman (breadth), logis (logic),
signifikansi (significance), dan
keadilan (fairness) (Paul &
Elder, 2002).
Berfikir Kritis
Banyak
definisi untuk berfikir kritis diberikan oleh para pakar, akan tetapi dalam
paparan ini saya akan menggunakan 2 definisi yaitu dari R.H. Ennis (1987) dan
D.F. Halpern (2004).
Menurut
Ennis, R.H. (1987) berfikir kritis adalah : “. . . mode of thinking-about any subject, content or problem in which the
thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully analyzing,
assessing, and reconstructing it.” Disisi lain Diane Halpen mengatakan
: “Critical thinking is the use of those
cognitive skills or strategies that increase the probability of a desirable
outcome. It is used to describe thinking that is purposeful, reasoned, and
goal directed.” Kedua definisi tersebut jelas mendukung pemahaman tentang
disposisi berfikir seperti yang telah dijelaskan diatas. Thinking critically, atau berfikir secara kritis adalah sesuatu
yang harus muncul sebagai suatu “desire”
sehingga sifatnya internally driven.
Dalam
Harvard Project Zero-nya, Ritchhart (2002) kemudian, menarik “benang merah” dan
mengajukan enam disposisi berfikir yang dilihat dari tiga dimensi : berfikir
kreatif, berfikir reflektif, dan berfikir
kritis.
Berfikir Kreatif: (Creative thinking):
a. Open-minded: terbuka terhadap ide baru,
menghasilkan dan menjelaskan berbagai alternatif (kemungkinan) yang ada, serta
senantiasa melihat jauh melebihi apa yang terberi dapat diharapkan. Seseorang
dengan sikap yang open-minded ini umumnya senantiasa mampu melihat suatu
fenomena dari berbagai perspektif (sudut pandang), baik itu dalam sikapnya
maupun perilaku berfikirnya.
b. Curious: rasa ingin tahu yang mendorong
individu untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia sekelilingnya, bertanya, dan
berfikir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada. Oleh sebab itu rasa ingin
tahu sering disebut sebagai "the engine for thinking." Ia berperan
bukan sebagai hasil akhir (tujuan) dari kegiatan berfikir melainkan sebagai
permulaan dari suatu proses dalam menemukan (discovery) sesuatu atau pemecahan
masalah.
Berfikir Reflectif (Reflective
Thinking)
Metacognitive
: dikenal sebagai “thinking about
one’s thinking” atau “awareness and
control about ones’ own cognitive processes” (Flavell& Wellman, 1977).
Ia terdiri dari kegiatan-kegiatan pemantauan, pengaturan, evaluasi, serta
pengarahan yang datang dalam diri individu terhadap proses berfikir dirinya
sendiri. Untuk dapat menunjukkan perilaku metakognitif seseorang harus memiliki
pengetahuan metakognitif, pengalaman metakognitif, sejumlah strategi
metakognitif, serta tujuan yang ingin dicapai. Keterampilan metakognitif bukan
merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir (innate),
akan tetapi harus dipelajari (acquired).
Oleh karena itu perbedaan antar individu dalam hal “kekayaan” dari
keterampilan metakognitif ini sangat besar.
Berpikir Kritis : (Critical Thinking) :
a.
Seeking
truth and understanding : kebenaran bukanlah “sesuatu” yang dapat
disampaikan seseorang pada orang lain. Melainkan ia merupakan sesuatu yang
mencakup keaktifan individu sendiri dalam proses berpikirnya dengan
berlandaskan pada bukti-bukti yang ada. Kegiatan utama yang dilakukan umumnya
dimulai dari menimbang bukti/fakta, mempelajari kesahihannya (validity), mempelajari berbagai hubungan
yang ada antar bukti/fakta untuk membentuk suatu teori, serta akhirnya menguji
teori tersebut terhadap bukti/fakta lainyang tidak mendukung untuk dicari
penjelasannya.
b.
Strategic
: berpikir yang strategic sifatnya akan membawa individu kearah berpikir
yang efisien. Mengapa? Berpikir yang strategic umumnya akan padat dengan muatan
perencanaan, antisipasi, mengikuti aturan/metoda tertentu, dan hati-hati (tidak
asal saja).
c.
Skeptical
: bersikap skeptic disini tidak berarti memiliki perasaan curiga atau tidak
mau percaya terhadap fakta yang ada. Menurut Ritchhart (2002) skeptic disini
adalah “… probing below the surface of things, looking for proof and evidence,
and not accepting things at face value.”
Kesimpulan
Merujuk
pada definisi berpikir kritis yang diberikan oleh Ennis dan Halpem diatas,
dapat disimpulkan bahwa :
1.
Kemampuan berpikir kritis harus mulai
dikembangkan sejak anak usia sekolah;
2.
Dalam mengembangkan berpikir kritis, harus
dimulai dengan mengembangkan disposisi berpikir, khususnya bagi anak-anak yang
belum masuk ke tingkat formal (Piaget).
3.
Disposisi berpikir ini merupakan suatu sikap
dasar yang akan menjadi modal utama agar anak termotivasi secara internal untuk
berpikir secara kritis.
4.
Pendidikan, dalam bentuk apapun, harus
menyediakan berbagai sarana yang dapat mengoptimalkan interaksi peserta didik
dengan lingkungan, termasuk produk budaya (artifak).
Daftar Pustaka :
Bereiter, C., & Scardamalia, M. (1989). Intentional learning as a goal of
instruction. Dalam L.B. Resnick (Ed.), Knowing, learning, and
instruction: Essays in honor of Robert Glaser (hal.361-392).
Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Chan, C. (1987). Levels of constructive effort in
children's learning from texts. Disertasi Doktoral. University of Toronto,
OSIE. Toronto, Canada.
Ennis,R.H.(1987). A taxonomy of critical thinking dispositions and
abilities. Dalam J.B.
Flavell, J. H. & Wellman, H. M. (1977). Metamemory. Dalam R.V. Kail dan J.
W. Haheb (eds.). Perspectives on the development of memory and
cognition. Hillsdale, NJ: Erlbaum
Halpern, Dlane. F. (2004). Thought & Knowledge: An Introduction To
Crtitical Thinking. 4th Edition, London: Lawrence Erlbraum
Associates Publisher.
Miller, P. H. (1993). Theories of development psychology. New York:
W.H. Freeman & Company.
Paul, R.W. & Linda E. (2002). Critical Thinking: Tools for Taking
Charge of Your Professional and Personal Life. Financial Times Prentice Hall.
Ritchhart, R. (2002). Intellectual character: What it is, why
it matters and how to get? San Fransisco: Jossey-Bass
Suradijono, S. H. (1988). The relation of self-reported knowledge
lacks to understanding. Tesis tingkat Magister (MA). University of Toronto,
OISE. Toronto, Canada.
Suradijono, S. H. (1999) Laporan penelitian “The Impact of ICAI
Cognitive Strategy Based on the Development of Self-Directed Learning
capability from Junior & Senior High School Students. URGE (University
Research for Graduate Education) World Bank Grant, Direktorat Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, R.I.
Suradijono, S. H. (2001) Laporan Penelitian “Intelligent Collaborative
Learning Environment: The Teacher Module. URGE (University Research for
Graduate Education) Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional R.I
Tishman, S., Jay, E., & Perkins, D.N. (1992). Teaching thinking
dispositions: from transmission to enculturation. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Vygotsky,L.S. (1978). Mind in society. Cambridge,MA: Harvard
University Press.
No comments:
Post a Comment