Monday, August 18, 2014

Berfikir Kritis

BERFIKIR KRITIS:
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN
dibawakan dalam
Temu Ilmiah ke-3 Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI)
Jakarta, 8 Februari 2014
Oleh:
Prof. S. Hartati R-Suradijono, M.A. Ph.D.
Pendahuluan

Berfikir merupakan bentuk kegiatan dari fungsi mental yang ada pada manusia. Menurut Vygotsky (1978) manusia mempunyai dua tingkatan fungsi mental yaitu yang fungsi mental dasar (elementary mental functions) dan fungsi mental luhur (higher mental functions). Fungsi mental dasar di kontrol oleh stimulus dari luar seperti ketika persepsi dan perhatian terpicu oleh objek yang secara fisik berada diluar. Fungsi mental luhur tampil dalam bentuk kemampuan manusia untuk melakukan berfikir logis dan abstrak yang tidak tergantung dari dipicu atau tidaknya oleh stimulus dari luar. Di tingkat fungsi mental dasar inilah manusia memiliki kemampuan mental yang sama dengan hewan. Sedangkan manusia berbeda dengan hewan bila ia melakukan berfikir logis dan abstrak.

Vygotsky (1978) lebih lanjut mengemukakan manusia dapat mengembangkan fungsi mental luhurnya (berfikir logis dan abstrak) melalui interaksi dengan lingkungannya. Beberapa hasil budaya (artifacts) yang sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan fungsi luhur ini antara lain adalah sistem bahasa, sistem berhitung, tulisan, simbol/tanda yang telah disepakati, diagram, peta, serta hasil budaya lain. (psychological tools).

“… any higher intellectual functions appears twice, or on two planes… It appears first between people as an intermental category, and then within the child as an intramental category. This is equally true with regards to voluntary attention, logical memory, the formation of concepts, and the development of will” (Vygotsky dalam Miller, 1993, hal. 385).

Dengan demikian, segala bentuk interaksi manusia dengan lingkungannya menjadi sangat penting serta menentukan dalam manusia menjalankan dan mengembangkan fungsi mental luhurnya. Pertanyaannya sekarang adalah: “Apakah manusia sudah maksimal mengggunakan psychological tools --- sistem bahasa, sistem berhitung, tulisan, dsb. --- agar dapat berperilaku sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang lebih tinggi dari makhluk hidup yang lain di ciptakan oleh Allah s.w.t.?”

Bila, menurut Vygotsky, kualitas interaksi individu dengan lingkungannyaberperan sangat besar dalam pengembangan berfikir manusia, maka menurut John Dewey (1933, dalam Ritchhart 2002) ada faktor lain dalam diri individu yang berperan, yaitu “desire.

“… knowledge of methods alone will not suffice; there must be the desire, the will to employ them. This desire is an affair of personal disposition.”

Di tahun 1992, oleh Tishman, Jay dan Perkins (1992) “desire” tersebut dikembangkan menjadi “… abiding tendencies to explore, to inquire, to seek clarity, to take intellectual risks, to think critically and imaginatively.” Tendensi ini disebut sebagai suatu disposisi dalam berfikir (thinking disposition) sebab dia berperan memberi arah terhadap terbentuknya perilaku intelektual manusia (Perkins, Jay, & Tishman, 1993).

            Seperti halnya Tisman dkk., Ritchhart (2002) juga melihat perilaku intellectual itu sebagai hasil dari karakter intelektual yang dibentuk oleh disposisi berfikir yang dimiliki individu.

            “… thinking dispositions represents characteristics that animate, motivate, and direct our abilities toward good and productive thinking and recognize in the pattern of our frequently exhibited, voluntary behavior.” (hal.21).

Disposisi Berfikir 

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan disposisi berfikir atau thinking disposition? Menurut Tishman, Jay dan Perkins (1992) disposisi berfikir  (thinking disposisitions) memiliki 3 elemen kemampuan (abilities) , sensitifitas / kepekaan (sensitivess) dan  kecendrungan  ( incilinations) . Kemampuan (abilites)  disini berhubungan dengan semua kemampuan  dan keterampilan yang dibutuhkan untuk terjadinya perilaku tersebut. Sensitifitas / kepekaan (sentiveness) di artikan sebagai “…alertness to appropriate occasions for exhibiting the behaviour.” Contohnya adalah kepekaan seseorang terhadap semua kesempatan dalam situasi tertentu untuk melakukan berfikir yang terencana disertai strategi yang baik. Kecendrungan (inclinations) di artikan sebagai “... the tendency to actually behave in a certain way.” Tishman dkk (1992) mengemukakan  tujuh macam kecendrungan (tendencies): “... to be broad and adventurous toward sustained intellectual curiosity, to clarify and seek understanding, to plan and be  strategic, to be intellectually carefull, to seek and evaluate reason, dan be metacognitive.” Dengan perkataan lain, menurut Tishman dkk. (1992), bila seseorang hanya memiliki dua dari tiga elemen diatas misalnya ada kemampuan (abilities) dan peka (sensitive), akan tetapi tidak memiliki tendensi (inclination) untuk mengaktualisasikan dalam  bentuk prilaku berfikir (“EGP”) maka akan tidak berguna.

Peran movitasi internal dalam memunculkan proses berfikir yang tajam sangat besar. Adanya unsur motivasi dalam proses berfikir disini berarti individu harus mempunyai “thinking as goal” bukan sebagai “by product.” Dengan “berfikir” sebagai tujuan maka individu akan memulai berfikir itu dengan tingkat kesungguhan  (intentionality) yang tinggi dimana akan berakibat pada adanya usaha mental (mental effort) yang besar dari individu dalam memproses informasi (Bereiter dan Scardamalia, 1989). Usaha mental yang di keluarkan individu dalam mengolah informasi tersebut berkaitan erat dengan jenis strategi berfikir yang digunakan (Suradijono, 1988; Chan, 1987). Dalam beberapa studi yang dilakukan penulis terhadap anak-anak Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) (Suradijono 1988; 1999; 2001) ditemukan bahwa anak-anak yang menggunakan strategi berfikir yang tinggi dalam membaca berkorelasi secara nyata (signifikan) dengan usaha mental yang mereka tampilkan. Lebih lanjut kesungguhan (intentionally) yang ditampilkan individu akan menjadi wadah untuk berbentuk kondisi mental (mental state) yang sangat  mendukung pelaksanaan dari ketiga elemen dari disposisi berfikir diatas, yaitu ability, sensitiveness dan inclination. Flavell & Wellman (1977) menyebutkan sikap kesungguhan dalam berfikir ini sebagai suatu kemampuan untuk “active monitoring, consequent regulation and orchestration of cognitive processes” atau di kenal pula dengan sebutan metacognition.

Sebelum masuk pembahasan perihal berfikir kritis perlu diketahui terlebih dahulu bahwa ada enam (6) elemen berfikir yang menurut Paul & Elder (2002) harus terjadi dalam proses berfikir, yaitu purpose, question at issue, information, interpretation & inference, concepts, assumptions, implications & consequences, and point of view. Dalam menjalankan keenam elemen tersebut, agar terjadi hasil berfikir yang tajam, individu harus setiap saat melakukan pemantauan terhadap tujuh aspek, yaitu : kejelasan (clarity), keakuratan (accuracy), ketepatan (precision), relevansi (a), kedalaman (breadth), logis (logic), signifikansi (significance), dan keadilan (fairness) (Paul & Elder, 2002).

Berfikir Kritis

Banyak definisi untuk berfikir kritis diberikan oleh para pakar, akan tetapi dalam paparan ini saya akan menggunakan 2 definisi yaitu dari R.H. Ennis (1987) dan D.F. Halpern (2004).

Menurut Ennis, R.H. (1987) berfikir kritis adalah : “. . . mode of thinking-about any subject, content or problem in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully analyzing, assessing, and reconstructing it.” Disisi lain Diane Halpen mengatakan : “Critical thinking is the use of those cognitive skills or strategies that increase the probability of a desirable outcome. It is used to describe thinking that is purposeful, reasoned, and goal directed.” Kedua definisi tersebut jelas mendukung pemahaman tentang disposisi berfikir seperti yang telah dijelaskan diatas. Thinking critically, atau berfikir secara kritis adalah sesuatu yang harus muncul sebagai suatu “desire” sehingga sifatnya internally driven.

Dalam Harvard Project Zero-nya, Ritchhart (2002) kemudian, menarik “benang merah” dan mengajukan enam disposisi berfikir yang dilihat dari tiga dimensi  : berfikir kreatif, berfikir reflektif, dan berfikir kritis.

Berfikir Kreatif: (Creative thinking):

a.       Open-minded: terbuka terhadap ide baru, menghasilkan dan menjelaskan berbagai alternatif (kemungkinan) yang ada, serta senantiasa melihat jauh melebihi apa yang terberi dapat diharapkan. Seseorang dengan sikap yang open-minded ini umumnya senantiasa mampu melihat suatu fenomena dari berbagai perspektif (sudut pandang), baik itu dalam sikapnya maupun perilaku berfikirnya.

b.      Curious: rasa ingin tahu yang mendorong individu untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia sekelilingnya, bertanya, dan berfikir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada. Oleh sebab itu rasa ingin tahu sering disebut sebagai "the engine for thinking." Ia berperan bukan sebagai hasil akhir (tujuan) dari kegiatan berfikir melainkan sebagai permulaan dari suatu proses dalam menemukan (discovery) sesuatu atau pemecahan masalah.

Berfikir Reflectif (Reflective Thinking)

Metacognitive : dikenal sebagai “thinking about one’s thinking” atau “awareness and control about ones’ own cognitive processes” (Flavell& Wellman, 1977). Ia terdiri dari kegiatan-kegiatan pemantauan, pengaturan, evaluasi, serta pengarahan yang datang dalam diri individu terhadap proses berfikir dirinya sendiri. Untuk dapat menunjukkan perilaku metakognitif seseorang harus memiliki pengetahuan metakognitif, pengalaman metakognitif, sejumlah strategi metakognitif, serta tujuan yang ingin dicapai. Keterampilan metakognitif bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir (innate), akan tetapi harus dipelajari (acquired). Oleh karena itu perbedaan antar individu dalam hal “kekayaan” dari keterampilan metakognitif ini sangat besar.

Berpikir Kritis : (Critical Thinking) :
a.       Seeking truth and understanding : kebenaran bukanlah “sesuatu” yang dapat disampaikan seseorang pada orang lain. Melainkan ia merupakan sesuatu yang mencakup keaktifan individu sendiri dalam proses berpikirnya dengan berlandaskan pada bukti-bukti yang ada. Kegiatan utama yang dilakukan umumnya dimulai dari menimbang bukti/fakta, mempelajari kesahihannya (validity), mempelajari berbagai hubungan yang ada antar bukti/fakta untuk membentuk suatu teori, serta akhirnya menguji teori tersebut terhadap bukti/fakta lainyang tidak mendukung untuk dicari penjelasannya.

b.      Strategic : berpikir yang strategic sifatnya akan membawa individu kearah berpikir yang efisien. Mengapa? Berpikir yang strategic umumnya akan padat dengan muatan perencanaan, antisipasi, mengikuti aturan/metoda tertentu, dan hati-hati (tidak asal saja).

c.       Skeptical : bersikap skeptic disini tidak berarti memiliki perasaan curiga atau tidak mau percaya terhadap fakta yang ada. Menurut Ritchhart (2002) skeptic disini adalah “… probing below the surface of things, looking for proof and evidence, and not accepting things at face value.”

Kesimpulan

Merujuk pada definisi berpikir kritis yang diberikan oleh Ennis dan Halpem diatas, dapat disimpulkan bahwa :

1.       Kemampuan berpikir kritis harus mulai dikembangkan sejak anak usia sekolah;
2.       Dalam mengembangkan berpikir kritis, harus dimulai dengan mengembangkan disposisi berpikir, khususnya bagi anak-anak yang belum masuk ke tingkat formal (Piaget).
3.       Disposisi berpikir ini merupakan suatu sikap dasar yang akan menjadi modal utama agar anak termotivasi secara internal untuk berpikir secara kritis.
4.       Pendidikan, dalam bentuk apapun, harus menyediakan berbagai sarana yang dapat mengoptimalkan interaksi peserta didik dengan lingkungan, termasuk produk budaya (artifak).

Daftar Pustaka :

Bereiter, C., & Scardamalia, M. (1989). Intentional learning as a goal of instruction. Dalam L.B. Resnick (Ed.), Knowing, learning, and instruction: Essays in honor of Robert Glaser (hal.361-392). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Chan, C. (1987). Levels of constructive effort in children's learning from texts. Disertasi Doktoral. University of Toronto, OSIE. Toronto, Canada.

Ennis,R.H.(1987). A taxonomy of critical thinking dispositions and abilities. Dalam J.B.

Flavell, J. H. & Wellman, H. M. (1977). Metamemory. Dalam R.V. Kail dan J. W. Haheb (eds.). Perspectives on the development of memory and cognition. Hillsdale, NJ: Erlbaum

Halpern, Dlane. F. (2004). Thought & Knowledge: An Introduction To Crtitical Thinking. 4th Edition, London: Lawrence Erlbraum Associates Publisher.

Miller, P. H. (1993). Theories of development psychology. New York: W.H. Freeman & Company.

Paul, R.W. & Linda E. (2002). Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Professional and Personal Life. Financial Times Prentice Hall.

Ritchhart, R. (2002). Intellectual character: What it is, why it matters and how to get? San Fransisco: Jossey-Bass

Suradijono, S. H. (1988). The relation of self-reported knowledge lacks to understanding. Tesis tingkat Magister (MA). University of Toronto, OISE. Toronto, Canada.

Suradijono, S. H. (1999) Laporan penelitian “The Impact of ICAI Cognitive Strategy Based on the Development of Self-Directed Learning capability from Junior & Senior High School Students. URGE (University Research for Graduate Education) World Bank Grant, Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, R.I.

Suradijono, S. H. (2001) Laporan Penelitian “Intelligent Collaborative Learning Environment: The Teacher Module. URGE (University Research for Graduate Education) Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional R.I

Tishman, S., Jay, E., & Perkins, D.N. (1992). Teaching thinking dispositions: from transmission to enculturation. Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Vygotsky,L.S. (1978). Mind in society. Cambridge,MA: Harvard University Press.


No comments:

Post a Comment